Hapsoro mengantarkan minuman jahe panas ke senthong atau kamar Ki Mahesa, dan terlihat singkong rebus dan pisang kapok rebus ikut menemani cangkir tersebut. Perlahan menggunakan tangan kanannya, Hapsoro mengetuk pintu senthong.
“Masuklah.., pintu tidak aku kunci!” terdengar suara tegas Ki Mahesa mempersilakan masuk.
“Baik Tuan..” masih dengan menggunakan tangan kanannya, Hapsoro dengan pelan mendorong pintu ke dalam.
Tampak Ki Mahesa sedang rebahan di atas ranjang, tapi melihat kedatangan abdi dalem yang sudah sangat lama mengabdi padanya, laki-laki paruh baya itu segera bangun dan duduk dengan menggantungkan kedua kakinya di atas ranjang.
“Minumlah dulu Tuan.., saya yakin badan Tuan akan segera Kembali segar dan pulih!” dengan senyum Hapsoro memberikan cangkir pada Ki Mahesa.
“Terima kasih.”
Ki Mahesa menerima cangkir yang diulurkan Hapsoro, kemudian langsung meminumnya beberapa teguk kemudian
meletakkan kembali cangkir Gembreng atau cangkir yang terbuat dari besi kaleng itu ke meja kecil yang terletak di samping tempat tidur.
“Bagaimana perasaan Tuan sekarang, apakah sudah menjadi lebih baik?”
“Sebenarnya aku tidak apa-apa Hap. Tetapi ingat akan almarhum istriku, yang waktu itu berbincang-bincang dengan keluarga dari Klan Suroloyo, yang akhirnya berakhir dengan pertunangan antara Wisanggeni dengan Nimas Niken Kinanthi. Aku seperti gagal menjaga amanah darinya.” tampak tatapan kosong di dalam mata Ki Mahesa.
“Saya dapat memahami perasaan Tuan. Tetapi bagaimana lagi, tampaknya Den Wisang bisa menerima keputusan tadi, dan bahkan Aden sendiri yang langsung menyetujui dan menyampaikan tadi di pendhopo utama.”
“Iya Haps.., aku juga langsung menyetujuinya karena melihat tanggapan dari putraku. Sekarang ada dimana Wisang?”
“Aden tadi langsung keluar dan berjalan ke pinggir desa. Biasanya Aden hanya duduk-duduk di punthuk tengah sawah Tuan. Dan tadi sepertinya Nimas Rengganis menyusul Den Wisang kesana. Apakah Tuan mau bertemu Aden? Jika ya, saya akan segera memanggilnya untuk menemui Tuan.”
“Tidak perlu Haps.., jika Wisang saat ini sedang bersama Rengganis, aku tidak perlu untuk mengkhawatirkannya.
Gadis itu memiliki latar belakang yang bukan sembarangan, tidak akan ada orang yang bisa berhasil mengganggunya.”
“Iya Tuan.., kenapa orang-orang yang memiliki hubungan dengan Den Ayu semuanya dari tokoh-tokoh persilatan dengan kemampuan tinggi ya Tuan? Hanya sayang.., Den Ayu sendiri tidak berumur Panjang.” Hapsoro menghela nafas.
“Kamu jangan pernah menyesali apa yang pernah terjadi Hapsoro! Kamu pikir, hanya dengan upaya mudah saat aku akan memenangkan hati dari ibunya Wisang? Saat itu aku harus dihajar oleh anak buah dari keluarga Anggito, dan juga dari banyak anak muda lainnya saat harus mendekati gadis itu.” Tersenyum Ki Mahesa menceritakan awalnya mendekati ibunya Wisanggeni.
“Tetapi untungnya karena kesabaran dan ketekunanku, ibunya Wisang akhirnya memilihku untuk menjadi pasangan hidupnya. Semoga hal baik yang sama, akan juga terjadi pada hidup putra dan putriku.” Lanjutnya lagi.
“Iya Tuan.., semoga. Saya pamit kembali ke belakang ya Tuan. Sambil melihat-lihat, siapa tahu Aden sudah kembali ke kamarnya.”
******************
Wisanggeni berjalan beriringan dengan Rengganis di pinggir jalan desa. Berkali-kali laki-laki muda itu tampak sedikit menjauh, saat gadis di sampingnya itu tanpa malu menyandarkan kepalanya di bahunya. Wisanggeni berusaha menjaga nama baik ayahndanya dari penilaian buruk masyarakat di situ.
“Kang Wisang…, lihat gunung yang ada di sebelah selatan itu? Anis pingin pergi kesana, apakah Akang mau menemaniku?” dengan manja Rengganis menunjukkan gunung yang terlihat jauh berada di sisi selatan.
“Diperlukan kekuatan tinggi untuk dapat mencapai gunung itu Rengganis, sepertinya kekuatanku saat ini tidak akan cocok untuk membawamu kesana.” Menyadari bagaimana kekuatan yang dimilikinya saat ini, Wisanggeni langsung menjawab pertanyaan gadis itu.
“Kenapa Akang menjadi putus asa, kan tidak harus sekarang Akang? Anis yakin, suatu saat kekuatan Akang akan muncul kembali, dan bersama denganku, kita akan menunjukkan wilayah timur, barat, selatan secara bersama-sama. Aku akan menunggu kesempatan itu Akang.”
“Baiklah Anis.., suatu saat jika aku sudah memiliki kekuatan, aku pasti akan membawamu bersama ke gunung itu. Ayoo.., sudah saatnya kita pulang! Aku tidak mau Ayahnda mengirimkan orang untuk mencariku.”
“Terima kasih Kang Wisang, Akang sudah berjanji untuk membawaku kemanapun.” Rengganis memeluk Wisanggeni, dan setelah membalas pelukan gadis itu kemudian laki-laki itu melepaskannya.
Untuk mempercepat langkah, Anis langsung menggandeng tangan Wisanggeni kemudian dengan sekali hentakan
mereka sudah sampai di halaman belakang padhepokan. Melihat itu, Wisanggeni hanya tersenyum dengan kelakuan nakal gadis itu.
“Kalau para sesepuh tahu kelakuan licikmu, kamu akan mendapatkan hukuman Anis.” tersenyum Wisanggeni mengingatkan gadis itu.
“Asalkan bersamamu Kang, hukuman apapun akan Anis terima.”
****************
Di malam yang sunyi, semua orang di padhepokan sudah terlelap dalam mimpinya. Tetapi hal itu tidak berlaku di kamar Wisanggeni. Raut wajah kecewa yang tampak di wajah ayahnda tadi sore saat mendengarkan para tamu dari Klan Suroloyo memutuskan pertunangan, masih jelas terlihat di mata laki-laki muda itu. Perlahan laki-laki
itu bangkit, kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Dia memandang bungkusan yang sudah dia siapkan tadi sesudah senja berganti malam, dan dia kembali meyakinkan hatinya.
“Aku harus pergi dari padhepokan ini, itu jika aku mau berhasil meningkatkan kekuatanku.”
“Apakah kamu tidak sadar akan kekuatanmu Wisang? Bagaimana kamu bisa mengarungi dunia ini, jika kekuatanmu saja masih berada di level dasar. Kalau kamu sadar, kamu bisa mengalahkan Wisnuadji itu bukan dari kekuatanmu sendiri.”
“Makanya kamu harus segera pergi, jika tidak, ya akan seperti itu terus kekuatanmu!”
“Apakah kamu tidak malu, setiap hari ejekan.., cemoohan menjadi makananmu sehati-hari. Bangun Wisang…, cepat tinggalkan padhepokan ini!”
Berbagai pikiran banyak bergelut di otak laki-laki itu. Tapi kemudian dia mengambil daun lontar, dan segera menulis sebuah surat untuk ayahndanya, dan sebuah surat yang dia tujukan untuk Rengganis. Setelah surat tertulis semuanya, dia letakkan surat di atas meja, kemudian dia merapikan tempat tidurnya.
“Maafkan Wisang ayah.., Wisang tidak memiliki kemampuan untuk berpamitan langsung pada ayah. Hanya dengan surat ini, Wisang berani untuk berpamitan dengan ayahnda.” gumam Wisanggeni.
Sesaat Wisanggeni menatap ke sekeliling kamarnya, kemudian mengambil bungkusan pakaian dan beberapa makanan kering yang sudah dia siapkan tadi. Perlahan Wisanggeni jongkok, dan menarik sebuah kotak dari kolong tempat tidur.
“Ibu.., aku akan membawa barang yang pernah ibu berikan kepadaku saat masih kecil.” bisik lirih Wisanggeni saat dia membuka kotak tersebut.
Setelah kotak besar tersebut terbuka, Wisanggeni mengambil selendang dan kotak kecil yang berisi sebilah pisau belati. Laki-laki itu mencium harum selendang yang tidak pernah hilang aromanya, meskipun sudah berada di dalam kotak itu selama bertahun-tahun. Saat laki-laki itu merindukan pelukan ibunya, dia akan mengambil selendang itu kemudian menciumnya. Setelah beberapa saat dia mencium harum selendang itu, kemudian melipatnya dan memasukkan ke dalam bungkusan kain, dan menyelipkan pisau belati di pinggangnya.
Perlahan setelah memastikan semua perlengkapan sudah berada di tangannya. Wisanggeni perlahan membuka pintu kamar. Angin dingin menerpa tubuhnya saat dia sudah berada di luar kamar, kemudian dia berjalan dengan mengendap-endap menuju gerbang keluar padhepokan.
“Sarjo…, kamu tunggu gerbang sebentar ya! Aku mau buang air kecil dulu.” terdengar teriakan dari gardu ronda untuk penjagaan gerbang masuk.
“Ya.., sana segera pergi!” tampak laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Sarjo berjalan di depan gerbang penjagaan. Matanya diedarkan ke sekeliling, dan karena merasa tidak ada sesuatu yang mencurigakan, laki-laki itu kembali duduk di gardu.
Wisanggeni menyembunyikan dirinya di balik pohon gayam besar yang tumbuh di dekat pos penjagaan tersebut.
“Aku harus mengelabui Sarjo, agar tidak melihat aku keluar dari gerbang ini.” ucap Wisanggeni lirih.
“Tapi.., dengan cara apa ya, agar Sarjo dapat mudah terkecoh?” pikirnya lagi.
Setelah mengitarkan pandangannya, Wisanggeni tersenyum melihat ada selembar seng yang sudah berkarat teronggok di sisi yang agak lumayan jauh dari pos penjagaan. Wisanggeni jongkok mengambil sebuah batu yang lumayan besar, kemudian melemparkan batu tersebut ke arah seng.
“Klang..,” terdengar suara keras dari seng yang terkena lemparan batu dari Wisanggeni.
“Hei siapa disana? Wiyono… cepat kesini!” sambil teriak memanggil Wiyono, Sarjo berlari mendatangi seng tersebut.
Melihat Sarjo berlari dan juga terlihat Wiyono ikut menghampiri sumber suara, secepatnya Wisanggeni berlari keluar dari gerbang, dan tanpa henti dia terus berlari.
**************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 495 Episodes
Comments
Nusa thotz
zaman kapan ini ..??? koq segala ada seng mangkrak di kebon....?? habis ini ada yang treak treak..."mbengggg...rombenggg!!!"
2024-10-17
0
Choirudin Sinwan
critanya di padepokan brajamusti Aa Gathot Sukabumi...he he he...
santai saja Thor...lanjut terus..
critanya oke..
lebih afdolnya memang sesuaikan dengan zamannya termasuk juga dalam percakapannya...
2023-07-01
0
Dewa Dek
fight break sphere yg hanya nama tokoh2nya saja yg di ganti
2023-06-09
0