Aku berseru bahagia. Mengucap syukur. Menatap layar ponselku. Natan pun penasaran.
"Kamu ingat, teman-teman organisasiku di kampus dan beberapa masyarakat yang pernah aku kasih donasi? Nah, katanya mereka ingin bekerja sama dengan perusahaan kita, terus ada juga yang mau sponsorin, dan membantu kita dengan tanpa syarat, mereka percaya kita." Aku menutup mulut. Lalu menangis. Aku terharu. Kebaikan yang dahulu kukerjakan, kini dibalas dengan kebaikan pula.
Wajah Natan tidak percaya, "Apa ada manusia jenis itu? Dia tidak takut rugi?"
Aku menggeleng, "Ini balasan kita yang dulu, kita pernah menolong mereka. Kini mereka sukses. Salah satunya karena bantuan kita. Seperti simbiosis mutualisme." Aku tertawa syahdu.
Natan sulit percaya. Baginya, dunia bisnis itu hanya soal untung rugi.
***
Satu setengah tahun berlalu. Di pertengahan tahun 2017. Aku telah lulus menjadi sarjana Arsitektur. Dan Natan berhasil menghidupkan perusahaannya. Aku lagi-lagi berhenti dari perusahaan website--bosku ternyata begitu baik,
bisa mengijinkanku keluar masuk, dengan alasan sebenarnya. Lalu aku membantu Natan. Menaikkan rating SEO produk perusahaan melalui website dan sosial media. Juga desain logo, menulis artikel, dan copy writing. Perusahaan Natan, perusahan kuliner dan bisnis butik yang tersebar di beberapa area kampus negeri dan swasta di Jawa Tengah, dan pusatnya di Bandung, milik Papanya. Kami kompak dan saling mendukung. Menikmati proses bersama.
Dan kami bersyukur, hidup kami pun akhirnya kembali seperti dulu, bahkan lebih makmur. Rumah kami kembali, mobil, motor, dan berbagai aset. Setelah semua kembali sedia kala. Natan lalu memintaku tinggal di rumah. Berhenti bekerja. Aku pun dilema.
Apa akan kembali seperti dulu?
"Istirahat, ya, di rumah, kamu sudah banyak bekerja di luar." Dia memperbaiki anak rambutku. Lagi-lagi mengeluarkan jurus mautnya. "Aku lihat. Para karyawan begitu memperhatikanmu. Aku takut mereka punya niat jahat. Kamu tahu, kan, pikiran laki-laki?"
"Kamu, kan, juga laki-laki."
"Tapi aku suamimu."
"Aku tahu." Aku mengangguk malas. "Baik. Aku akan berhenti bekerja. Tapi aku minta ijin ingin jalan-jalan, semisal ke Jogja, Surabaya, atau Bandung."
Air muka Natan tampak khawatir. Dia pun berat hati mengangguk, "Aku--"
"Sendirian! Aku mau sendirian."
"Se-sendirian?"
"Iya." Aku memelas. "Ya-ya?"
"Berbahaya."
"Sudah sejak kecil, sampai sekarang aku selalu pergi sendirian. Bahkan ke kebun bertemu ular, anjing galak, monyet, aku tidak takut. Aku bahkan ke pulau Jawa ini juga sendiri. Masak karena sudah punya suami, aku jadi manja begini?"
"Bahaya."
"Natan? Ya?" Aku berakting manja. Jurus melumpuhkan pertahanan lawan yang kokoh memakai intonasi yang diimut-imutkan.
Natan masih diam. Natan memang hampir tidak pernah melarangku secara langsung, tapi selalu menggunakan kata-kata tersirat, untuk menyuarakan keberatannya.
Aku pun menggoncangkan tubuhnya, "Ayolah. Selama ini, aku seperti anak bebek dalam sangkar emas."
Natan berbalik, "Apa iya? Kamu merasa seperti itu?" Natan pun kaget.
Ups. Aku kecoplosan. Lalu tertawa. Menggaruk kepala. Natan masih tidak percaya. Mungkin yang dilakukannya selama ini sudah maksimal, tapi menurutku itu sebuah penyiksaan, atau aku yang kurang bersyukur?
"Aku janji. Aku tidak akan bertemu dengan Juni." Kalau itu yang kamu khawatirkan. Batinku.
Natan mengangkat wajah. Menatapku lamat seperti akan berpisah dalam waktu lama. Ia pun mengangguk pasrah. Dan mempercayaiku.
***
Akan aku berikan hadiah untuk Natan. Hadiah saat ia bisa naik sepeda, motor, dan mobil. Aku sampai lupa menghadiahkannya, bahkan dia pun tak meminta. Meski aku rasa dia pasti ingat. Betapa pikunnya aku! Hampir 2 tahun aku lupa.
Seperti burung yang dikurung. Aku bisa terbang dan bernapas. Aku menaiki bus ekonomi, sengaja untuk bernostalgia, menjadi kere itu ternyata bikin rindu.
Ada tiga tujuan, semuanya berbau sejarah, biasanya aku lebih suka fiksi. Apalagi, hidupku sekarang seperti dalam dunia fiksi, tapi nyata. Seperti kisah seorang raja yang menyukai gadis nelayan. Karena itu, aku jadi mencoba untuk menyukai sejarah. Belajar dari peristiwa yang pernah terjadi.
Kecelakaan pesawat Mama Natan dan orangtua Juni, membuatku tertarik ke Museum Dirgantara Mandala, banyak replika pesawat di sini, juga sejarah penerbangan, dan dunia aviasi di Indonesia. Bangunan museum ini malah bekas pabrik gula, lalu berahlih fungsi menjadi hanggar pesawat tempur dan pesawat angkut yang pernah dimiliki
TNI angkatan udara, pada awalnya museum ini berada di Jakarta, karena Jogja merupakan kota kelahiran TNI AU akhirnya dipindahkan, berbicara tentang kendaraan, kendaraan yang paling membuat kita dalam bahaya memang pesawat terbang dan mengingatkan kita tentang mati.
Aku bisa mengetuk-ngetuk badan pesawat ini. Keras. Dan cukup mulus. Di sini ada 10.000 buah koleksi, 36 pesawat terbang, 1000 foto, 28 dioroma, lukisan-lukisan, tanda kehormatan, pakaian dinas, dan sejumlah koleksi buku yang disimpan di perpustakaan.
Setelah itu aku ke Kraton atau Istana Raja, bagi orang Bugis sepertiku, budaya Jawa cukup menarik, fakta menarik dari bangunan histori yang kukunjungi di siang hari ini ialah Raja Jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono X bersama keluarganya di Kraton ini masih menjadi tempat tinggal mereka. Menarik sekali. Imajinasiku pun bermain, andai bisa melihat wajah Sultan secara langsung tanpa harus melihatnya lewat google.
Sayangnya aku terlambat, aku tidak bisa menyaksikan aneka pertunjukan seni seperti Mapacat, Gamelan, Wayang Orang, Wayang Golek Menak, Wayang Kulit, dan Tari Srimpi yang digelar di Bangsal Manganti, karena pertunjukan ini diadakan pagi sekitar jam 09.00 WIB.
Akhirnya aku hanya melihat koleksi Kraton berupa berbagai lukisan, mobil, kendaraan antik, dan koleksi benda-benda milik keluarga kerajaan.
Banyak tradisi kuno yang begitu interest bagi WNA juga wisatawan Indo. Di sini aku tiba-tiba berpikir tentang selir-selir jaman dulu, raja yang memiliki puluhan selir, menjadi yang kedua, rasanya seperti selir. Karena itu mindset kita, "Pertama memang selalu menjadi yang terbaik dan selalu dikenang". Dan indahnya, raja Jogja begitu setia, hanya memiliki satu permaisuri.
Setelah itu aku ke benteng Vredeburg, aku makan siang di mobil online yang aku pesan sambil menikmati hiruk pikuk Jogja. Di sini aku pernah kerja praktek selama 40 hari, di perusahan real estat dan property, tepatnya di
area Monumen Jogja Kembali. Aku pun lagi-lagi memposting perjalananku.
Di benteng Vredeburg, semula bernama Rustenburg berarti benteng peristirahatan, lalu berubah menjadi Vredeburg artinya perdamaian, ada diorama-diorama yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia. Benteng ini dibangun tahun 1765 oleh Belanda, untuk menahan serangan dari Kraton Jogja. Kini aku seperti berada di tempat musuh. Benteng ini berbentuk segi empat yang memiliki menara pengawas di keempat sudutnya, fungsinya untuk berjalan, berkeliling, sambil berjaga, dan melepas tembakan jika darurat.
Museum ini luasnya kurang lebih 2100 meter persegi. Bangunan bersejarah ini dipugar sesuai bentuk aslinya, juga ada dioroma-dioroma perjuangan pribumi sebelum proklamasi hingga orde baru, koleksi benda bersejarah, lukisan perjuangan, patung prajurit Indonesia, tentara belanda, dan bangunan-bangunan antik.
Aku berdiri di atas benteng, menikmati sentuhan bangunan kuno ini, lalu imajinasi liarku membawaku menjadi seorang pribumi yang berada di dalam benteng, dan Natan menjadi kompeni. Lalu, Juni, sang pemuda Indonesia dengan bambu runcingnya datang menyelamatkan kami, anak buruh tani.
Aku berlari, turun dari anak tangga benteng, lalu menyusuri koridor tua bangunan bertingkat dua ini.
Lalu terhenti. Deja vu. Aku berbalik. Aku seperti pernah melihat salah seorang wisatawan yang berdiri melihat minirama tentang sejarah proklamasi kemerdekaan di ruang diorama ini.
"Astaga! Dia?" Aku pun ingin menyapanya. Lalu kuurungkan. Aku bergerak cepat, keluar dari dioroma ini, dan mencari toilet, hendak bersembunyi. Toiletnya pun terkesan angker. Dengan lampu kelap-kelip, antara bohlamnya rusak, atau listriknya belum dibayar, atau ada uka-uka, aku tertawa ngeri, toiletnya aneh, memanjang, dan wcnya berada di ujung. Bekas toilet kompeni.
Kenapa dia ada di sini? Bumi ini rasanya sempit sekali. Kalau Natan tahu bagaimana? Aku bisa dikurungnya seumur hidup di rumah?
Setelah setengah jam berada di kamar mandi angker. Lalu kuputuskan keluar. Aku sengaja memilih tempat di pojok. Ada sebuah taman bermain. Aneh memang. Juga aku melirik ada semacam frame kaca berisi tulisan pancasila, dan R.A Kartini beserta suaminya yang berada di samping ayunan. Lalu aku bermain ayunan sendirian. Dan memakai masker untuk bersembunyi.
Aku tertunduk. Sepatu kets hitam itu berhenti di depanku. Aku memanjat melihat pemiliknya. Dan betul dugaanku. Padahal presentasi pertemuan kami tidak bisa dibilang 100%, apa ini takdir yang konyol? Kenapa baru sekarang? Dulu saja dia selalu menghilang. Kini dia selalu ada, di saat aku ingin menghapus jejaknya dalam memoriku!
"Nariswari?"
Aku menyapanya khawatir. Dia pun bertanya kenapa aku terlihat aneh. Aku pun berbasa-basi. Lalu dia duduk di sampingku. Ikut bermain ayunan dengan gayanya yang kaku. Aku kaget.
Kami pun terdiam.
Bagaimana, ya? Apakah sopan kalau terburu-buru pergi? Aku menghela napas. Lalu berdiri, "Maaf, ya, Juni, aku... aku masih mau melihat-lihat lagi."
"Biar aku temani."
Aku kikuk. Kulihat dia berdiri juga. Masih memegangi hpnya. Aku lalu menghentikan dia. Mengangkat tangan persis di wajahnya. Entah apa yang kulakukan, "Jangan! Aku lagi pengen pergi sendiri!"
"Kamu kenapa?"
Aku menggeleng kaku.
"Karena Natan?" tanyanya dingin.
"Hah?"
Juni melihat jari manisku. Tersemat cincin emas bertuliskan nama Natan. Ya, Natan selalu memintaku memakai ini, kalau aku tidak melakukannya ia akan merengut sepanjang hari.
"Kamu menjauh begini karena Natan?" Sorot mata Juni begitu dingin. "Dia lagi-lagi mengekangmu."
"Bukan begitu. Aku, kan, sudah menikah. Kamu lupa?!" Aku berseru tipis. Kamu sendiri, kan, dulu yang menghilang? Aku sudah menolak Natan berkali-kali, dan menunggumu. Tapi, kamu tidak datang! Sekalipun telat. Sudah terlambat!
"Mimi. Kalau dia kembali. Kamu mau ke mana?"
Aku terdiam. Juni tiba-tiba menghunjamku dengan pertanyaan yang menyesakkan hati. Itu yang kadang aku pikirkan. Menjadi yang kedua selalu serba salah! Aku pun melangkah pergi.
"Aku akan menunggu--"
Hah? Juni? Maksudnya, dia?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
retno wulansari
next
2020-06-16
0
Suci Hardianti
lanjut thorr
2020-04-22
0