"Kamu tidak apa-apa?"
Aku tidak menjawab, "Kamu punya loker proyek?" tanyaku mengalihkan topik.
Juni langsung menjawab, "Perusahaan omku sedang ada pembangunan hotel Grand Sani bintang 4 di Pati. Kamu mau join?"
Aku mengangguk mantap, "Perdana, ya?"
"Iya, ini hotel bintang 4 pertama di Pati."
Aku pun setuju. Aku lalu mengeluarkan kotak makan berwarna merah. Kuberinya dia sushi untuk berterimakasih.
***
Lagi-lagi aku resign, betul-betul minta maaf pada Pak bos, beliau juga memakluminya. Dan ini memang terakhir kalinya. Aku hanya butuh suasana baru untuk menghapusnya dari memoriku. Saat di kantor pun, aku mengenangnya. Dan aku harus pergi jauh!
Aku menatap ke bawah. Anginnya cukup kencang, Kini aku berada paling atas kontruksi bangunan. Ada beberapa kolom-kolom beton yang menjuntai, ducting, balok, yang belum difinishing tentunya, juga scafolding, dan material yang berhamburan. Kolom ini akan menjadi penopang lantai berikutnya. Aku melihat lagi ke bawah. Tinggi sekali bangunan ini. Kalau aku jatuh dari sini, berapa puluh detik aku sampai ke bawah? Rasa sakinya apa seperti ini? Lalu apa yang dirasakan Natan?
Bodoh! Aku lagi-lagi mengingatnya! Jangan ingat seseorang yang belum tentu mengenangmu juga, buang-buang waktu!
Pikiranku berkeliaran sampai aku tak sadar sambil menuruni tangga konstruksi yang belum difinishing dan dilengkapi pengaman sempurna. Lalu---
Tubuhku seperti melayang di udara. Mendarat ditarik oleh gravitasi. Semuanya mulai gelap. Sayup-sayup kudengar teriakan banyak orang. Dan tubuhku terangkat. Semuanya pun hitam.
Ruangan itu putih. Ada belalai infus yang menggigit di tanganku. Dan kulihat teman-teman kantorku yang dulu, dan teman-teman proyek tampak khawatir lalu tersenyum cerah ketika aku bangun.
"Aku kenapa, ya?" tanyaku mengingat-ingat kejadian.
"Jatuh dari konstruksi tangga," sahut salah seorang teman proyek.
"Oh, syukurlah." Aku tersenyum.
"Lha?" Tampang Yunita, dan Lila jadi berkerut.
"Kukira aku bunuh diri." Aku tertawa getir.
Mereka pun tampak kaku. Kulirik di pojok sana, Juni duduk melirikku. Juni? Aku menghela napas. Mereka pun tertawa ceria, menghibur.
"Kamu hampir dua hari gak sadar."
"Oh, ya? Aduh!" Aku menepuk jidat.
"Kenapa?" tanya Lila khawatir.
"Harusnya kemarin aku sudah makan seblak, kasihan masnya nungguin aku seharian."
Mereka pun tertawa, "Kamu ini, kukira apaan! Tapi, kami senang kamu kembali."
Aku mengangguk. Aku harap kepura-puraan ini membuat mereka berhenti mengkhawatirkan kemalanganku. Cukuplah rumah tanggaku yang harus diamputasi! Aku ingin kembali!
Ya. Aku, kecelakaan. Aku lemah!
Dulu, kamu bilang di luar sana bahaya. Kamu takut aku terluka. Dan sekarang, kamulah yang membuatku paling terluka. Natan.
Bahkan memikirkanmu adalah kemalanganku.
Hari mulai gelap. Teman-teman kantorku pun pamit, sedang teman-teman proyek sudah sedari tadi pulang. Aku juga menyuruh Juni pulang. Aku mengatakan baik-baik saja. Dan akan ada perawat yang menjaga.
Tubuhku terasa sakit. Lelah, dan rasanya tidak ingin bangun lagi. Aku mengalami diskolasi atau pergeseran tulang di bagian kaki, tapi sakitnya, sampai ke tulang ekor, dan punggung saat digerakkan, dan butuh waktu sekitar beberapa minggu untuk memulihkannya.
Aku dulu tidak pernah memikirkan ini, saat aku batuk, Natan langsung mendatangkan dokter pribadi ke rumah. Sekarang, siapa yang akan membayar biaya rumah sakit?
Aku sakit. Sendiri. Dan kesepian. Tidak pernah aku merasakan sesedih ini. Orang-orang di rumah pun memintaku segera pulang selepas aku sehat. Dan aku belum memutuskan. Untuk sekarang, aku hanya ingin menjadi yang dulu. Ceria dan suka tertawa. Bukan si sendu perenung dan suka merundung.
Aku pun jatuh tertidur. Berhari-hari di rumah sakit. Teman-teman kantor pun juga kadang menjenguk selepas kerja sampai magrib, barulah Lila, sendirian yang biasanya menemaniku. Juga kadang ada Juni yang berjaga di luar.
Aku harus sehat. Aku harus sembuh. Sembuh dari masa lalu. Sampai kapan harus sakit seperti ini? Rasanya sakit di hati lebih kronis, dari sekujur tubuhku.
Hari sudah malam, aku tertidur dan bermimpi, Natan menjengukku. Dia memperbaiki selimutku. Menyentuh tanganku dengan jemarinya yang halus. Lalu mengelus pipiku. Aku terbangun. Lalu kudapati sosok itu. Dia berdiri persis di samping kasurku.
Aku tersenyum meraih tangannya yang mengelus pipiku. Dia adalah Natan. Sosok yang kurindukan.
Ini bukan mimpi?
Aku memastikan dengan meraih wajahnya. Dia pun menunduk. Wajahnya sendu. Benar. Ini nyata!
Dan aku lupa. Aku lupa. Aku melupakan sesuatu.
Aku menepis tangannya, lalu terisak. Aku lupa. Lupa. Lupa kalau kami tidak bersama lagi. Dia sudah punya dunia baru. Aku malu, dan sangat sedih. Aku menarik selimut. Berbalik memunggunginya. Berharap dia segera menghilang dari duniaku selamanya.
Aku ini begitu menyedihkan! Aku harus menunjukkan aku baik-baik saja, dan tidak akan mati karenanya. Sejak saat itu. Aku makan banyak dan minum obat teratur. Aku ingin hidupku yang dulu.
Akan aku tunjukkan pada dunia, kalau aku tidak akan mati karenanya!
"Aku senang, bisa keluar dari rumah sakit. Bisa sembuh secepat ini. Dokter pun kaget melihatku yang tahu-tahu sembuh." Aku menunjukkan ototku yang kurus. Lila tertawa. "Biar Mba Lila gak kurus gara-gara jagain aku."
Mba Lila tersenyum. Kulirik dia kebingungan, seperti ada yang ingin dikatakan. Tapi, ditahannya. Dia ragu-ragu.
"Aku minta maaf sebelumnya, tapi kamu harus baik-baik saja, setelah tahu ini, ya," pintanya.
Aku mengangguk mantap.
"Sebenarnya sejak hari pertama kamu masuk rumah sakit, uhm ... aku rasa, nih, seperti melihat Natan. Dia sembunyi-sembunyi. Apa kamu sempat menemuinya? Dia kayaknya ingin menjengukmu."
Aku menggeleng, "Itu cuma halusinasi Mba Lila."
Lila mengangguk, "Alhamdulillahnya, seluruh biaya perawatan ditanggung proyek." Perempuan berkacamata itu tersenyum. Aku mengucap syukur, bahkan aku dapat bonus dari proyek.
Mba Lila pun tidak melanjutkan halusinasinya, dan aku tidak ingin membahasnya. Malam itu, aku sempat menerawang sinar mata Natan, dan kutemukan dia ... aku berhenti memikirkan itu. Tidak ada gunanya!
"Yakin mau lanjut di proyek ini?" Nadanya begitu khawatir. Alisnya mengkerucut. Seolah-olah ingin menghentikanku.
"Kenapa tidak? Aku sudah berdarah-darah di sini, apa yang menghalangiku? Jangan loyo begitu! Ayok semangat!" Aku berseru.
Juni pun tersenyum. Kami lalu berkeliling di proyek. Entah sejak kapan Juni menyukai dunia ini. Dunia keras penuh dengan orang-orang stres yang dikejar deadline, kehidupan tukang dan kenek yang penuh debu, si kepala tukang berkordinasi dengan mandor, mandor yang selalu memantau mereka, dan berkordinasi oleh kontraktor, dan subkon, kontraktor yang kadang suka mengambil hati Manajemen Kontruksi, MK yang selalu laporan progres ke owner.
9 bulan aku mengikuti proyek hotel di bagian struktur ini. Akhirnya berhasil dirampungkan juga. Meski tidak tepat waktu. Dan itu adalah hal yang biasa.
"Kamu serius akan pulang?" tanyanya sendu.
"Iya." Aku berkomentar pendek.
"Kenapa tidak tinggal di sini?" Kulihat sorot mata Juni begitu tertekan.
"Aku rindu mamakku. Tapi, aku janji, akan kembali. Dengan aku yang baru." Aku tersenyum menghibur. Merasa bersalah pada Juni. Dan Juni selalu ada selama ini.
Aku lalu mengecek pesan di androidku. Wajahku berkerut. Teman-teman yang dulu membantu perusahaan Natan memutuskan untuk mengakhiri kontraknya. Karena mereka akhirnya tahu masalah aku dan Natan. Kata mereka, dulu mereka bekerjasama bukan karena Natan, tapi karena aku. Mereka mempercayaiku. Aku baru tahu masalah pribadi mempengaruhi urusan pekerjaan. Mereka bisa tahu, mungkin karena mereka melihat Mimi bersama Natan. Natan dan Mimi seperti permen karet.
Aku pun langsung menemui mereka. Aku bisa saja balas dendam. Dengan menyetujui harapan mereka. Tapi biarlah, harta itu bukanlah kebahagiaan. Aku hanya ingin melepas semua, dan ingin kejelasan.
Setelah itu, aku pun bertemu Natan hari ini, sebelum aku menghilang dari pulau ini.
"Kenapa tidak menandatangani surat itu?"
Natan diam. Tampak kaku. Aku mengembus napas, "Kamu senang membuat hidupku terkatung-katung. Tidak jelas. Menurut hukum aku masih istrimu, tapi aku pikir, itu hanya status ****," kataku terkesan santai.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya mengalihkan topik. Lagi-lagi wajah penuh kesungguhan yang disuguhkannya. Dan aku muak melihat aktingnya.
"Masih Survive."
"Kamu akan pulang?"
"Ya, tidak ada alasan aku di kota ini. Saat aku di sana, aku harap semoga kamu menyelesaikan urusan kita di pengadilan agama. Biar aku bisa segera kawin lagi." Aku tersenyum sinis.
"Apa?!" Natan tampak syok.
Aku tertawa dingin. Berhasil menipunya.
"Ambillah sebagian hartaku. Itu milikmu. Kalo kamu mau juga semua asetku."
Aku tersenyum getir. Lalu menggeleng, "Kalo kamu kere, aku ragu, wanitamu masih bisa bertahan di sisimu." Aku terdiam. "Dan, aku tidak butuh harta. Juni sudah kaya." Aku tersenyum tajam. Lalu diam. Andai kamu tahu, Harta yang sesungguhnya dinantikan perempuan adalah teman hidup setia!
Wajah Natan saat itu tampak tidak karuan, juga khawatir. Aku berhasil mengelabuinya. Aku pun berlalu, lalu terhenti. Dan mengatakan hal yang bodoh, "Nat, jangan minum lagi! Kamu bisa mati!"
"Kalau aku tidak minum, kamu akan kembali?"
Aku menatapnya tajam, "Gak!"
Aku pun pergi. Dari kejauhan aku melambai tangan. Berlagak kuat. Padahal sedari tadi mataku sudah berkaca-kaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Fleur Liu
lanjut ttt
2020-07-05
0
retno wulansari
seru
2020-06-16
0