Lolo, Si Anak Bajo

Tahun 2019. Roda waktu berputar tak terasa, juga pengabdian ke masyarakat, kini project kami berada di perkampungan Bajo. Dan menjadi lokasi penyuluhan kakakku. Kami, berbagi tugas untuk memberdayakan mereka. Ada yang jadi penyuluh, mendampingi dari sisi lingkungan, dan membantu dari segi ekonomi, sedang tugasku adalah menghibur mereka--bukan wanita penghibur, memberikan motivasi hidup untuk mengenyam pendidikan tinggi dan bermimpi.

Sedang penyuluh, memberikan penyuluhan tentang cara menangkap hewan laut dengan tidak merusak ekosistem, tahun 2018, berbeda dengan jaman dulu, dari beberapa nelayan ada yang menggunakan alat berbahaya semisal bom ikan, racun potas, obat bius, pukat harimau, dan macam-macam yang berbahaya. Bahkan bom ikan sudah ada sejak tahun 65. Juga karena ada program pemerintah, dengan bantuan perahu Motor Tempel menjadi on progress untuk pendampingan, dan pelaporan.

Aku pun keluar dari rumah milik Bu Sama untuk melihat arsitektur bangunan ini, mengamati jembatan kayu yang terhubung satu sama lain. Jembatan ini dibangun di atas air, bermaterialkan kayu bakau, begitupun rumah-rumah mereka. Tipologi rumah mereka berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang dengan atap lima san atau pelana, bermaterialkan seng atau rumbia.

Rumah-rumah ini dibuat terapung, dengan batu karang mati sebagai pondasi, lalu dihubungkan kolom-kolom kayu bakau untuk menopang bangunan. Aku pun mengamati tiang penopang yang tingginya sekitar 4 meter,  sedang air laut saat pasang kurang lebih 3,5 meter. Sedang kata salah seorang pemuka di suku bajo ini, jika meninggikan rumah lebih dari 4 meter, saat air laut surut, penduduk akan kesulitan untuk beraktifitas, rumah akan terasa sangat tinggi, dan tidak nyaman.

Tidak ergonomis, kata mantan dosen mata kuliah Ergonomiku.

Aku begitu tertarik memandangi view di sekelilingku, meski aku dibesarkan di dekat pesisir juga. Tapi rumahku termasuk di kabupaten yang tidak sepi dari pemukiman. Aku pun sambil berjongkok melihat pondasi bangunan yang tampak dari atas, karena airnya sangat bening, berwarna hijau kebiruan, jadi pondasi itu bisa terlihat meski di dalam air.

Andai Natan bisa melihat perkampungan menakjubkan ini!

Aku pun menepuk-nepuk dada. Apa yang telah aku pikirkan? Sudah 2 tahun, tapi masih saja dia timbul di permukaan. Kenapa dia tidak tenggelam saja, seperti tsunami di Palu? Ironis!

Lalu dari arah bersamaan aku melihat perahu. Mamakku menyebutnya katinting. Perahu nelayan. Mamak suka cerita, dahulu kakek menggunakan itu untuk menafkahi keluarga. Ia bisa mengarungi lautan sampai berhari-hari tidak pulang. Sedang, nenek, saat itu, mencari kepiting dan kerang di pesisir. Atau berkebun menunggu kakek pulang. Begitu romantis mereka. Ada keharuan saat menyambut kakek pulang. Pantas, aku tidak bisa hidup ala-ala barat bersama Natan.

Aku masih memandangi perahu yang dicat biru itu. Ada seseorang di atasnya. Aku baru sadar, dia ternyata dari tadi memandangku. Aku pun kikuk dibuatnya lalu segera melihat pemandangan lain.

Aku pun kembali ke rumah Bu Sama. Salah seorang tokoh yang berpengaruh di sini. Kami pun bercengkrama. Membahas tentang program kami. Tak lama kemudian. Satu sosok masuk. Dia sopan menyapa.

Dia adalah sosok yang kudapati berada di atas katinting sekitar setengah jam lalu. Anak itu pun menangkap sinar mataku. Lantas tersenyum kikuk. Aku hanya bisa memandang aneh.

Bu Sama pun memperkenalkan anaknya bernama Lolo, dia laki-laki bertampang cukup manis, berkulit sawo matang, dan berambut keriting khas orang Bajo, usianya setingkat SMA kelas 1. Muda sekali. Aku pun nge-JLEB.

Dia mempunyai badan perkasa, dan kuat. Tampak dari otot dan urat tangannya, kalau dia pekerja keras. Benar-benar calon suami idaman. Batinku. Dia juga sopan dan giat. Seperti dalam lagu Rita Sugiarto, Pria Idaman. Tembang kesukaan Mamak.

Lalu Bu Sama memintaku untuk memberikan motivasi pada Lolo agar dia mau kembali bersekolah. Dengan kikuk aku pun mengangguk. Aku mulai bercerita tentang mimpi-mimpiku, perjuangan untuk sekolah, hingga bisa diterima di Jawa dengan persaingan hebat, kadang-kadang dibuat muak karena harus belajar otodidak, bahkan sebelum ayam jago bangun, sedang, bagi orang bugis, belajar private bersama tentor bukan budayanya, karena itu aku iri pada orang-orang Jawa yang bisa belajar lebih dan difasilitasi orangtua mereka.

Aku dan Lolo berada di atas jembatan berbentuk papan-papan kayu yang disambungkan kayu-kayu memanjang, sambil duduk di atasnya memandang laut-- situasi ini terjadi karena mereka yang di rumah Bu Sama masih membahas program pemberdayaan. Jadilah aku bersama Lolo. Dan rasanya seperti curhat.

Aku bercerita tentang suka duka merantau. Asyiknya belajar. Kutangkap dari sinar matanya dia pun juga ikut antusias. Aku juga mengajarkannya dunia arsitektur. Menjelaskan istilah-istilah bangunan mereka yang sesuai nama arsitektur. Meski dia juga tahu, tapi hanya beda istilah, dengan bahasa daerah. Juga konstruksi dan seninya.

Ada ciri khas dari seorang Lolo, ialah tahi lalat yang ditumbuhi rambut di leher bagian kanannya. Itu membuat perhatian dan ingin tertawa.  Lolo sangat asyik. Dia penuh semangat. Teman yang baik, hangat dan sopan. Dia orang kedua setelah Juni, yang menarik saat diajak bicara. Pemikirannya pun maju dan beda, tidak seperti pemuda lainnya. Dia revolusioner. Meski tidak sekolah.

Aku pun berpikir kalau anak ini diberdayakan, mungkin dia akan sangat bermanfaat bagi sukunya. Aku pun membuat daftar. PR baru untuk kami agar mendata warga untuk dikembangkan, dan kumasukkan Lolo menjadi kepalanya.

Aku pun terhenti. Dadaku tiba-tiba terasa sempit. Rasanya sesak. Lalu aku pamit, Lolo tampak khawatir, segera aku berlari mencari sinyal, memutuskan menghubungi Juni.

Entah aku tiba-tiba mengingatnya. Aku tak tahu, kenapa!

Aku bertanya tentang Natan. Dia mengatakan baik-baik saja. Aku pun lega, tapi tetap saja aku merasa tidak enak hati. Rasanya masih sakit. Aku pun berbalik, Lolo masih menatapku dari kejauhan. Di matanya tampak sendu mendalam.

***

Ini pertamakalinya aku menjadi gadis bugis sejati, mengarungi lautan menaiki katinting bersama Lolo. Menangkap ikan, menikmati aroma air asin, dan disirami terik matahari.

Hal yang mustahil aku lakukan saat menjadi istri Natan, rasanya seperti inilah hidupku, dan beginilah seharusnya gadis bugis hidup. Hidup dan mati di lautan. Sebagai moyangnya pelaut, dan anak cucunya juga seperti itu. Aku jatuh cinta akan lautan, tapi payahnya, aku tidak bisa berenang.

Lolo juga mengajariku cara menangkap ikan menggunakan jaring. Menggunakan alat tangkap ini, kami bisa membawa pulang ikan kuwe, layar, selar, belanak, dan bolu--bandeng kalau di Semarang .

"Kak Nar, kakak itu masih kuliah ka?" Lolo tampak ragu-ragu menanyakan itu. Sambil mengambil ikan-ikan belanak yang terjerat jaring. Baru kali ini dia bertanya tentang privasiku. Selain soal dunia pendidikan. Dan aku hanya garuk-garuk. Apa aku masih tampak semuda itu?

Aku tertawa. Lalu menggeleng.

"Sudah lulus?" tanyanya gugup.

Aku menggeleng lagi. Membuatnya semakin penasaran, "Aku masih sekolah," kataku sambil membantunya memasukkan ikan-ikan belanak ini ke dalam box.

"Betulan?"

Aku hanya tertawa. Senang bisa membulinya, "Kelihatannya?"

"Ya, seperti seumuran. Bedanya, kakak di sini ada program, toh, jadi mungkin masih kuliah."

Aku pun merona. Tapi kusembunyikan, "Oh, begitu! Usia kita sekitar ...." Aku mulai mencoba menghitung. Lalu angkat bicara. Ternyata jauh sekali. Aku pun terhenti.

Lolo masih memandang penasaran. Usia memang hanya masalah angka. Karena Lolo masih muda sekali, tapi begitu dewasa.

"Saat aku kelas 5 SD, nah, kamu baru lahir."

"Hah? Itu serius?"

Aku mengangguk. Dia pun mencoba menghitung, lalu mencoba menebak. "10 tahun?"

"Ya, tepat sekali." Aku bertepuk tangan. Sedikit khawatir.

"Apa iya?"

Aku lalu mengangguk.

"Aku sudah lulus kuliah sekitar 2 tahun yang lalu." Aku tersenyum getir, menunduk. "Dan sudah menikah." Kalimat itu meluncur tanpa kusadari.

Dia pun terbatuk. Dan baru aku tersadar.

"Kamu percaya?" Aku pura-pura tertawa.

Alisnya yang mengkerut lantas mengembang. Dia berembus lega. Dia pun ikut tertawa.

Apa yang telah kulakukan? Kenapa aku harus bohong?

Lamunanku berakhir ketika Lolo berdeham, lalu bertanya.

"Kenapa Kakak mau susah-susah datang ke sini?"

"Maksudmu program kami?" tanyaku menjelajahi pertanyaan Lolo. Lolo mengangguk.

"Padahal di hari libur begini, Kakak bisa istirahat, toh! Daripada panas-panas di sini."

Aku tertawa. "Kamu mengusir kami?"

Lolo langsung menggeleng cepat. Dia menggaruk kepalanya.

"Memang ini bukan jurusanku. Tapi ... uhm, aku pernah baca artikel tentang Paus ******. Panjangnya 9,5 meter, paus itu terdampar, dan sudah mati dan membusuk. Dia terdampar di perairan Desa Kapota, Wakatobi."

"Wakatobi SULTRA?"

"Iya, wakatobi di mana lagi?" tanyaku bertampang malas.

"Terus?"

"Terus di dalam perut paus ditemukan banyak sampah plastik."

"Hah?" Lolo melongo. Dia menelan ludah.

"Ada 5,9 kilogram sampah plastik ditemukan dalam perutnya." Aku pun mengeluarkan android setelah melap tanganku yang bau amis. Lalu mencari screenshoot artikel itu. "Nah, ini!" Aku mengembus napas. "5,9 kilogram sampah plastik ditemukan di dalam perut paus. 3,26 kilogram tali rapia, 150 gram botol plastik, 750 gram gelas plastik, 270 gram sandal jepit, 260 gram kantong plastik, dan 140 gram plastik keras." Mataku menyalang menyebutkan angka-angka itu. Di luar sana terjadi pembunuhan tak kasat mata. Ironis sekali!

Lolo memandang sendu. Lalu mengangguk. Dia pun paham kenapa kami di sini. Dia pun 100% mendukung aksi pembinaan moral penduduk di laut atau darat agar melestarikan lautan.

 

 

Terpopuler

Comments

Fleur Liu

Fleur Liu

anqk bajo lolo

2020-07-05

0

retno wulansari

retno wulansari

uuu

2020-06-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!