Jadi Tokoh Antagonis Dalam Hidup Natan

“Aku tidak mau jadi orang ketiga!”

“Tidak ada orang ketiga! Karena kami sudah ber—“

Natan berubah! Dulu, tidak ada wanita yang dilihatnya selain Mimi. Waktu memang merubah diri. Dia datang, menawarkan pertemanan, lalu berubah arah. Benar-benar modus!

“Kalau aku menerimamu karena kamu kaya dan ganteng. Jelas, kan, kalau kita nanti tidak akan bahagia. Sekali-kali kamu jangan pernah menikah sama cewek jenis itu.” Aku berceramah, mencoba bersikap santai. Seolah-olah seperti kakak yang menasehati adik kecilnya.

Natan mendatangiku di kantor pada jam 11.00 WIB. Jam-jam mengantuk bagi para karyawan. Dan aku akan kesulitan tidur setelah ia merengek minta nikah seperti anak bayi.

“Kamu menolakku karena itu?”

Aku mengangguk. Natan diam dan pergi. Imposibble memang bagi jomblo kere macam aku menolak kesempatan emas yang maha lebay ini--tentang perbaikan gizi dan keturunan. Aku juga tidak tahu kenapa! Mungkin inilah yang disebut suara hati kecil rakyat kecil.

Lalu beberapa bulan dia datang lagi, di tempat dan jam yang sama, dan aku mengatakan hal yang sama. Bahkan saat pulang dan pergi kantor, aku harus mengendap-ngendap seperti maling ketika akan melewati rumahnya. Karena mata dan telinga tetangga lebih tajam dari kamera CCTV. Berasa jadi selebriti yang lagi diburu wartawan! Tapi, gak dapat duit! Dapatnya malu! Ah, apes-apes!

“Kamu menolakku karena itu?”

Aku mengangguk.

“Kamu jujur. Dan care. Itu syarat yang cukup!”

Natan menendang batu. Sorot matanya dingin. Jalanan saat itu sedang lengang. Teman-teman kantor dan bos gede yang sudah tahu hal ini pun sudah bosan melihat adegan ini.

“Apaan?” Aku sedikit berteriak. Bukannya aku jujur kalau aku matre?

“Kalau kamu jahat, kamu tidak akan bilang begitu. Kamu akan menerimaku.”

“Terus?”

“Nikah sama aku.” Dia merengek. Meyakinkan.

“Orang yang kamu cinta itu bukan aku tapi Mimi.” Sadarlah Natan! Aku menatapnya galak. Mengingat adegan romantis mereka yang membuatku mau muntah setiap hari. Waktu kini menjadikanku tokoh antagonis dalam rumah tangga mereka.

Natan terdiam, “Aku … waktu kamu menolongku, aku… ya… seperti itu, seperti yang kurasakan sama Mimi yang menarikku saat terjatuh.” Natan berkomentar sok romantis.

“Jadi, kamu?” tanyaku penasaran. Natan sudah gila.“Oh! Mustahil.”

“Kenapa?”

“Karena….“ Aku menahan. Aku ingin memberitahunya, tapi—

***

Hujan di awal bulan juni. Memang aneh. Kemarau yang basah. Juni yang kulihat sedang mengepakkan payung, dan menaruhnya di tanah. Dari balik payung, ada anak-anak kucing, aku menduga, mereka adalah anak dari Cambollong yang terbuang.

Juni yang keren. Membuatku selalu tertawa. Setiap kali hujan, aku selalu mengenangnya. Dan sekarangpun begitu.

Dari balik gerimis, dia menembus hujan, lalu berdiri menemuiku yang menanti di teras kantor. Dia memakai payung bening, dan terlalu percaya diri, padahal kelima temanku pun di sini.

Dia bukan Juni!

"Aku tahu akan hujan." Natan tersenyum. Membuat teman-temanku yang cewek klepek-klepek.

"Terus?" kataku sok cuek. Tahu hujan-tahu hujan, emang kamu dukun yang berkomplot dengan jin, bisa meramal cuaca? Aku membatin. Berbicara soal ramal-meramal, daripada dukun, kok dia jadi kayak Dilan begini? Tapi sayang versi duda!

"Ya, aku menjemputmu." Wajah Natan cerah berbinar. Berbeda sekali dengan tahun lalu! Mengejekku karena jomblo ngenes!

"Tenang saja, aku tidak akan botak karena kena hujan."

Aku pun menembus hujan. Natan tampak kaget. Dan ini bukan pertamakalinya aku bersikap jauh dari kesan romantis ala korea. Mungkin menurutnya, ini hal baru, mengingat aku dan mantannya seperti malaikat dan iblis!

Aku berhenti, jalanan berbecek yang kuseberangi menciprat celana jeansku. Kulirik ke belakang, Natan kini berdiri di samping, mengepakkan payung.

Aku menarik napas. Teringat orang-orang yang akan menggelariku orang ketiga. Aku pun berlari, dan dia mengejar.

Aku berbalik arah, tidak langsung pulang ke kos. Karena tetangga akan berpikiran ala infotainment melihat aku dan Natan berdua-duaan di bawah payung.

"Hei, berhenti, gak!" seruku galak. Karena hari ini aku lelah kebanyakan job, aku melemah. Dan dia berhasil mengejarku.

Natan menggeleng. Dia mengeluarkan tisu. "Celanamu kotor." Laki-laki berwajah bersih itu bergerak maju.

"Stop-stop! Aku bisa melakukannya." Aku mengambil air yang menetes dari atap masjid. "Kamu kenapa, sih, Tan?"

"Kenapa apanya?" tanyanya lugu.

"Ya, ngejar-ngejar aku! Aku, tuh, pengen muntah tahu, adegan ini, kan, yang kayak di film-film india, yang ditonton mamakku."

Natan tertawa. Lalu terdiam dan menatap lamat. Dan ini pertamakalinya dia tertawa lepas.

"Kalau aku suka sama cewek, itu berarti akan selalu seperti itu."

Aku syok. Dasar bocah! Makiku. Bisa, ya, dia mengekspresikan perasaannya seenak dengkulnya. Mateng aku!

"Terus, Mimi?"

Sinar matanya yang berbinar pun lenyap. Aku merasa bersalah.

"Aku tidak akan pernah meninggalkan... sampai dia benar-benar meninggalkanku."

"Kenapa kamu tidak tunggu?"

"Aku sangat mengenalnya, lebih dari siapapun. Dia tidak akan menghianati apa yang dikatakannya."

"Ampun, deh!"

Apa yang dikatakan Mimi? Perpisahan selamanya?

Aku berpikir keras.

"Aku tahu kamu itu baik, kamu hanya sengaja berekting galak, biar aku berhenti, kan?" Natan tersenyum. "Aku bisa menerimanya, aku akan menerimamu apa adanya, juga tentang status ekonomi...gaji, kos-kosan, makan, keluarga, semuanya."

Sangat menggiurkan. Membuatku terpanah. Dari mana Natan tahu? Lalu apa yang aku tunggu? Dia ganteng, kaya, dan baik, kenapa aku belum bisa mencintainya? Belum lagi, Natan juga kayak sales yang kerja di MLM!

Tapi ... masalah terbesar adalah aku, aku akan menjadi tokoh antagonis dalam hidup Natan, jadi orang ketiga!

"Persetan dengan tetangga. Apa mereka yang akan memberimu makan, membayar uang kos, tagihan air, listrik, wifi, dan hidup?" Natan berdesis. Dia masih berbisik, dengan nada yang tenang, meski ucapannya sebenarnya terkesan kasar.

Aku mengangguk. Betul juga. "Tapi, menikah dengan keinginan seperti ini, kita tidak akan bahagia."

Natan terdiam.  Melepas kardigan coklat kebanggaannya, lalu dia menyelimutiku. Aku langsung berdiri. Menaruh di atas kepalanya dengan sigap.

"Kamu kedinginan, makanya kuselimuti."

"Apaan?! Panas tahu!" Aku jutek mengipas diri. Padahal sejujurnya memang dingin, memakai pakaian basah dari tadi, apalagi tertiup angin. Aku hanya sengaja galak biar dia menyerah, dan terhindar dari modus cowok. Tapi—

"Aku janji, kamu akan suka sama aku."

Aduh, percakapan apa ini? Terlalu melow! Aku mau muntah! Kamu salah sasaran, Tan!

Dan mulai sekarang, aku mengeraskan hati kepala batu untuk Natan.

Natan adalah secondnya Mimi. Sedang, Juni adalah produk ori. Memiliki harta kepemilikan yang sepertinya sama banyak. Tentu aku lebih berharap pada yang ori. Kadang aku bersyukur bisa tinggal di kosan kumuh itu, bisa mengenal mereka, apalagi di sana persaingan tipis. Selain Mimi, hanya aku gadis muda yang masih survive, semuanya Ibu-ibu keriput yang kini berkeluarga.

Aku pun menggeleng. Apa yang kupikirkan?

"Ri, aku masuk ke dalam dulu, ya?"

Aku pun terpukau, "Kamu mau sholat?"

Natan tersenyum kikuk, "Mau ke belakang."

Aku menelan ludah. "Kencing? Kamu ke masjid cuman untuk kencing?" Aku melongo. Ill feell. Natan menggaruk

kepala. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Coret dia dari daftar nama calon teman hidup!

Terpopuler

Comments

Ujhi Namikaze

Ujhi Namikaze

next

2020-04-10

1

Aika hurairah

Aika hurairah

hehehe

2020-04-09

0

retno wulansari

retno wulansari

wkwk

2020-04-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!