Boneka Voodoo Untuk Natan

"Taranggg!"

Aku menunjuk gantungan kunci ke Natan. "Ini aku buat sendiri waktu di Jogja."

"Ini, bentuknya?"

"Boneka voodoo!" teriakku.

"Hah?!"

"Hanya bercanda. Ini kutaruh di kunci motormu, ya? Mana kunci motormu?"

"Di motor," sahut Natan yang rebahan di atas springbed.

"Hah?! Serius?"

Natan mengangguk.

"Bodoh! Nanti kalo hilang gimana?"

"Tidak apa-apa, yang penting aku tidak kehilangan kamu. Bahkan seluruh asetku tidak apa-apa hilang, asalkan aku punya kamu." Natan mesem-mesem.

"Huh, mulai lagi, deh. Lebay!" Padahal kemarin dia begitu syok waktu ditipu rekan-rekannya, aku tertawa.

"Jangan lama-lama, ya!"

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku rindu," bisik Natan.

"Alay! Aku baru pergi gak sampai 24 jam, loh."

Aku pun tersenyum, lalu terhenti. Sampai hari ini dia menjadikanku permaisuri dan mengatakan ini itu, tapi kalo spekulasi Juni benar, Mimi kembali. Apa yang akan Natan lakukan? Sedang aku begitu mengenal Natan, bahwa hidup matinya adalah Mimi. Sedang aku dan Mimi, bukan perempuan sabar yang bisa dibagi rata.

Entahlah. Biarlah waktu menyingkap episode macam fiksi yang kujalani.

Aku mengambil kunci motor Natan. Lalu memasang gantungan kuncinya yang harusnya mirip bayi kucing, tapi lebih mirip boneka voodoo. Aku senyum-senyum. Bisa membully itu nikmat.

Aku tetiba melirik bodi ninja merah ini. Awalnya Natan tak bisa apa-apa bahkan naik

sepeda, sekarang dia bisa membawa ninja dan mobil gold yang diparkir di sisi motor. Kejadian nahas di tahun 2014, Air Asia Indonesia penerbangan 8501 hilang dari radar saat terbang menuju Bandar Udara Internasional Changi Singapura, 155 penumpang dan 7 awak diketahui jatuh di selat karimata dekat laut Jawa, seluruh awak dan penumpang tewas termasuk Mama Natan dan orangtua Juni. Kasihan sekali. Mungkin inilah penyebab

kerenggangan hubungan mereka. Padahal sebenarnya sejak SMP, Natan sudah bisa bawa mobil. Kejadian itu membuatnya trauma.

Aku mengelus bodinya. Dan tanganku berhenti di atas bagasi. Aku penasaran. Kira-kira apa yang biasa Natan selalu bawa. Aku lalu membukanya. Ya, seperti biasa isinya, jas hujan, slayer, sarung tangan, senter, lap kanebo dan di bawahnya alat-alat mesin seperti obeng, tang penjepit dan kunci pas. Aku tahu alat-alat itu dari Aziz yang sering memperbaiki motor bebeknya yang bangkotan.

Bentuk alat-alat ini unik. Aku pun mengambil baja stainless itu. Aku lamat mengamati. Berkerut alis. Lalu berfokus padanya. Obeng dan kunci pas yang sekarang kupegang ini aneh. Gagang besi ini bersih tapi sekitar kepalanya ada noda. Aku pun mengoreknya. Benar. Ini noda. Noda ini seperti bercak darah.

"Nariswari?"

"Iya?" Aku kaget.

"Ada apa? Kok lama?"

Aku mengatur napas. Menggeleng, "Aku sudah memasangnya." Aku mengangkat kunci motor Natan, kikuk memperlihatkannya.

"Mukamu pucat. Kamu sakit?" Natan memegang dahiku. "Kamu keringat dingin."

"Aku ingin istirahat."

Jujur. Aku penasaran sekali. Itu noda apa? Apa benar bercak darah? Kata Juni, alat apapun bisa dipake untuk melukai orang, asal ada keinginan kuat. Dan stainless steel itu sangat cocok.

"Ada apa? Sejak tadi malam kamu kelihatan gelisah?" Natan membelai rambutku. Aku menarik selimut. Lalu menggeleng. Dan teringat momen kemarin di Jogja. Soal Mimi.

"Natan? Aku boleh nanya gak soal—"

"Apapun juga. Tidak masalah."

Aku pun terdiam. Bertanya soal bercak darah atau soal Mimi? Bercak darah itu misterius. Soal mimi juga penting. Sejak pertamakali menikah, dia tidak pernah menyebut namanya, bahkan aku tidak menemukan jejak Mimi, foto album, baju Mimi, perhiasan, semuanya. Ada di mana? Dikubur? Dibakar? Adapun noda itu, akan kuselidiki diam-diam.

"Mantan itu berat, Ri. Kamu jangan pernah menyebut namanya, dia akan mengenangnya kalo kamu lakuin itu." Lila berkomentar suatu sore di kantor, saat semuanya telah pulang.

"Tapi, aku penasaran, Mba, penasaran sedalam apa perasaan Natan."

"Itu hanya masa lalu, Ri. Yang perlu dirasakan hanyalah masa kini."

"Ini akan berhubungan dengan masa depan. Bukannya kita harus belajar dari masa lalu?" belaku.

Dan kuputuskan untuk bertanya soal Mimi, untuk baja-baja itu, aku akan menyelidikinya diam-diam. Atau akan kubawa ke Aziz dan Mas Adi.

"Mimi." Aku berbisik menatapnya dalam. Kulihat perubahan drastis dari sinar matanya. Dia berhenti menatapku. Dia menjadi kikuk. Dan itu sudah bisa menjelaskan semuanya.

"Kenapa?" Setelah berselang lama, Natan sudah bisa menguasai diri. Sejujurnya aku sudah tidak ingin membahasnya. Tapi, aku penasaran.

"Kamu masih menyukainya?"

Dia seketika terbatuk. Lalu beranjak mengambil air. Sepertinya dia sengaja melarikan diri untuk mengontrol dirinya.

Dan benar, aku tidak bisa menggantikannya. Mimi. Sampai kapanpun.

"Kok kamu nanya seperti itu?" mata Natan pun menyipit.

"Natan, apa aku ini pelarianmu saja?"

"Kamu bicara apa?" Natan memegangi lenganku erat. Menatapku lembut.

Aku menggeleng. Terbawa suasana. Lupakan saja! Aku beranjak tidur. Memaksa diri. Membiarkan Natan dalam kebingungan.

***

Rencana kedua, setelah Natan pergi kerja menaiki mobil goldnya. Aku diam-diam ke kantorku yang dulu, bertemu Mas Adi dan Aziz.

"Ini bercak darah?" tanyaku penasaran.

"Darimana kamu dapatkan ini?"

"Kamu gak perlu tahu, deh. Ini beneran bercak darah?!"

"Iya dodol," sahut Aziz dongkol.

"Punya siapa?" Tanya Adi. Dia masih memandangi benda itu.

"Punya mbahmu!" seru Aziz.

"Aziz kamu mau kuhajar!" Aku mengerahkan kunci pas ke kepalanya, ia kabur menghindar.

Adi terhenti, "Coba ulangi sekali lagi."

"Apa?" Aku tampak jengkel.

"Adeganmu yang tadi. Seperti mau ngebunuh Aziz."

"Apa begitu cara kerjanya?" Aziz mengusap bibir.

"Pasti yang punya alat ini, orangnya tidak kuat kalo pake tinju, karena itu mengandalkan benda ini untuk memukul." Adi berspekulasi.

Aku terdiam. Berkaca-kaca. Apa yang dilakukan Natan? Tidak! Aku harus percaya padanya, sekalipun dia memang pembohong.

"Darah siapa ini?" Aziz tampak curiga.

"Bawa aja ke lab atau labfor, minta di cek." Adi memberi saran.

"Iya, kamu, kan, sekarang jadi anak gedongan, bisa keluar masuk lab seenak kantongnya. Jadi ingat dulu," Laki-laki muda itu mengelus kumisnya, "yang lain pada delivery, kamu makan makanan sisa kemarin, itu pun masih dibungkus buat makan malam. Sekarang kamu malah bersenang-senang setelah bersusah-susah dahulu."

Aku tertawa ingin mencabut gigi si Aziz. Lalu pamit setelah mentraktir mereka jajanan.

Aku pun segera pulang setelah dari lab. Hasilnya masih sekitar seminggu lagi. Dan aku harus bersabar menunggunya. Entah apa yang sudah dilakukan Natan. Aku memang tidak khawatir untuk menemui Aziz dan Mas Adi untuk menanyakan ini. Mereka bisa dipercaya. Dan mereka tidak bertanya aneh-aneh. Atau soal Natan, meski mungkin mereka penasaran, dan menduga-duga.

Aku melirik arloji. Lalu membuka pintu. Masih siang. Kenapa semua ruangan jadi gelap? Di mana Pak Surip dan Bu Lastri? Tidak ada barang pecah di ruang tamu. Aku pun masuk ke dalam ruang keluarga. Lalu samar-samar mencium aroma fruity.

Aku menemukan sosok yang mematung di atas sofa, di depannya berdiri botol wine. Diteguknya minuman haram itu di depanku. Apa yang--

Mataku membulat. Bibirku bergetar. Dadaku sakit. Apa yang Natan lakukan? Setan apa yang merasuki laki-laki yang sudah berjanji ini?

Natan tertawa menatapku. Lalu tiba-tiba dia terisak. Lantas diam. Aku hanya senyap, berdiri di depannya. Tampak Natan ingin mengatakan sesuatu.

"Berkencan dengan Juni lagi?" tanyanya tajam. Matanya dingin. Hilang sudah kelembutan dan kehangatan sikapnya selama ini.

"Apa maksudmu?"

Dia tertawa sinis. Ini pertamakalinya aku melihat Natan mabuk. Dia berbeda! Dia seperti bukan Natan yang selama ini kukenal!

"Aku sudah memaafkanmu beberapa kali." Natan menangis. Memegangi separuh wajahnya. "Bahkan sebelum kamu minta maaf. Tidak! Kamu tidak pernah minta maaf!" Dia berteriak.

Apa yang dibicarakannya? Apakah orang mabuk selalu seperti ini? Mengerikan! Mukanya merah, wajahnya agak basah, matanya pun merah berair dan menyipit, tingkahnya juga tidak karuan.

Aku ingin marah. Sangat Marah, aku ingin menjentik telinganya. Menarik kupingnya! Tunggu saja kalau kamu sadar!

"Kenapa diam? Duduk di sini! Ayok kita  bicara, istrikuuu...."

"Si-al!" Aku berkomentar pendek. Lalu menutup mulut. Tersadar. Kenapa aku masih berkata kasar? Bukankah aku akan menjadi Ibu nanti? Kalau aku punya anak, aku ingin dia baik.

"Cepat! Ke sini!" bentak Natan. Dia memukul meja. Aku kaget. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu caranya, cara menghadapi orang mabuk. Natan makin menggeram. Karena kaget aku pun menurutinya. Duduk di depannya. Cepat memutar otak. Aku tidak punya pengalaman soal ini. Yang kutahu, dia baru bisa diajak bicara kalau efek alkohol sudah hilang. Dia yang sekarang, bukanlah Natan. Tapi setan! Alkohol itu menyelubungi kewarasannya!

Aku pun diam mengingat adegen film yang ditonton teman-teman di kampus kalau mendapati cuplikan mabuk. Dan aku lupa.

Natan tertawa sendiri. Memberiku gelas lalu dia menuangkan wine sampai tumpah. Baunya begitu manis seperti wangi buah-buahan. Dari aromanya, ini mungkin anggur mahal.

"Minum, sayangku," pintanya tertawa seperti orang gila. Dia terhuyung. Matanya menjuling. Entah berapa banyak yang diteguknya. Tapi, aku mengabaikannya. "Mi-num!"

"Aku sudah kembung." Aku menjawab seadanya.

"Oh, kamu sudah minum sama Juni?"

Apa? Lagi-lagi dia mengatakan hal aneh? "Kamu kenapa, Nat?" tanyaku penasaran. "Dulu kamu bilang, kamu tidak akan minum lagi!"

"Banyak bacot!"

Aku syok. Dia maju, dengan cepat menegukkan botol wine ke mulutku, persis seperti dulu aku meminumkannya minyak tanah. Aku merontah-rontah melepasnya. Cengkeramannya kuat, aku pun menghajar Natan. Lalu botol itu jatuh dan pecah. Aku terbatuk mencoba memuntahkan alkohol yang berhasil berseluncur ke tenggorokanku.

Natan masih meringis. Aku melirik Natan dengan penuh amarah. Aku masuk ke kamar. Menguncinya. Segera kucuci mulutku dengan air di wastafel. Dan aku menangis.

Tidak mungkin aku seperti ini kalau tidak melakukan kesalahan, apa karena aku masih menyukai Juni, menjadi masalahnya?

Perubahan drastis Natan? Aku ingat terakhir kali sebelum dia ke kantor, dia masih sama seperti yang dulu. Baik-baik saja! Aku yang salah, ya Allah! Harusnya aku tidak bermain-main. Bermain dengan pria lain.

Aku terbangun dari lamunanku. Natan menggedor-gedor kamar. Berteriak kesetanan. Dan inilah sejarah baru hidupku. Pertamakalinya Natan marah. Dan memaki. Semua kata-kata kotor dan binatang berhasil dia muntahkan. Dan rasanya sakit.

Paginya, kudapati sofa berceceran muntah dan saliva, setelah kubersihkan Natan dengan terpaksa, aku meminta Pak Surip menggendong Natan ke atas springbed di kamar. Aku kaget, di kakinya tertancap pecahan botol. Aku pun segera memanggil dokter, sambil memberi pertolongan pertama. Dia masih dalam pengaruh alkohol. Tidak sadarkan diri.

Kakinya pun diperban. Wajahnya yang kena tinjuku juga dikasih obat merah. Dokter sampai kaget menemukan lebam di wajah pasiennya, bertanya luka ini berasal darimana, tampangnya pun aneh waktu jujur akulah pelakunya. Dokter pun memberi kiat-kiat cara menghadapi orang mabuk. Dan, membatasi konsumsi alkohol untuk Natan.

Karena dia punya riwayat pernah kecanduan.

"Jangan biarkan dia minum lagi, coba alihkan perhatiannya dari alkohol, ajak ke halaman, hirup udara segar, kalo mau minum, berikan air putih, ajak bicara atau nonton TV, jauhkan dari benda berbahaya, seperti pecahan beling itu. Jangan mengatakan sesuatu yang memancing emosinya, tetaplah tenang. Kalo dia ingin ke kamar mandi, temani dan tunggu, karena dia bisa kehilangan keseimbangan, bisa terpeleset atau kebentur."

Aku masih memandangi Natan. Dia seperti anak kecil. Entah sekarang aku harus marah, kasihan, atau khawatir. Setelah dia bangun apa boleh aku menanyainya langsung? Ah, rasanya sangat tidak mengenakkan. Tunda dulu saja, sampai dia normal.

"A-i-r...."

Aku tersadar. Dia sudah bangun. Aku pun beranjak mengambilkannya air. Lalu mendekatkan ke mulutnya. Aku tersenyum, adegan ini, seperti dulu, paska meminumkannya minyak tanah. Tapi, ada yang aneh. Kali ini, dia tidak

senyum-senyum, biasanya kalau memanjakannya dia akan selalu cerah merona. Memangnya apa yang telah kulakukan?

"Kamu lapar?" tanyaku tersenyum.

Natan menggeleng. Memegangi kepalanya, sepertinya dia pusing berat. Dia masih tidak mau memandangiku. Dia menarik selimutnya, "Aku lelah," bisiknya.

"Oke." Aku pun pergi. Menyiapkannya sup, bubur, dan teh hangat.

Setelah lebih dari setengah jam memasak dibantu Bu Lastri. Aku menaruh sarapan Natan di atas meja samping springbed kamar.

Aku pun berbisik, "Sarapan dulu, yuk!"

Natan menggeleng. Ia masih menutupi muka payahnya dengan selimut. Ada apa dengannya? Aku pun pergi. Kudengar dia menuju ke kamar mandi lalu mengeluarkan isi perutnya.

Aku duduk di teras. Mengingat-ingat kesalahan. Rasanya sakit. Diabaikan. Ini pertamakalinya. Aku ingin menangis. Aku pun berusaha untuk berpikir hal yang bodoh dan lucu untuk menahan tangis. Bukankah perempuan itu harus kuat? Sampai aku tahu, apa yang salah, aku harus bertahan, tidak cengeng, bukankah rumah tangga itu memang pelik?

"Ayok! Nariswari! Ingat hal yang lucu. Ayok!" Aku tertawa getir.

Aku pun memutuskan kembali. Natan masih belum menyentuh makanannya. Aku membangunkannya, "Biar aku suapin."

Ini pertamakalinya aku melakukan ini. Dia hanya menurut. Pandangannya mengarah ke sudut lain selain wajahku. Setelah selesai. Ia masih tidak beranjak dari kasur, aku pun duduk di sampingnya. Menunggu apa yang akan dikatakannya.

Dia mengambil hpnya, lalu bermain game.

"Natan? Natan Brian?"

Matanya bergerak saat aku memanggilnya. Dia hanya bergumam. Aku lalu mengambil hpnya. Barulah dia menatapku, "Kamu bosan melihatku?"

Dia hanya diam. Lalu mengambil hpnya, aku pun menatapnya, "Kakimu sakit. Kamu jangan pergi dulu, kalau butuh sesuatu."  Aku menarik napas. "kamu bisa memakai kakiku untuk melangkah. "Aku mencoba beromantiskan puisi seperti yang dilakukannya setiap hari, lalu mengacak-ngacak rambutnya. Dan suasana ini masih sunyi.

Ada apa sebenarnya? Kenapa diam? Aku sudah berusaha. Kini sudah tidak tahan lagi! Aku menyerah! Tolong jangan abaikan aku!

Aku pun berbalik. Memunggunginya. Tubuhku berguncang, aku berusaha, berusaha mencoba untuk tidak tampak menangis. Tapi, aku  gagal.

Dan dia diam saja. Biasanya dia akan memeluk, dan menghiburku. Kamu kenapa Natan?

Dia pun menyodorkan tisu di depanku. Aku ingin membuang tisu itu ke mukanya, tapi kutahan. Aku pun menghapus air mata yang jatuh membasahi sprei .

"Ada yang ingin kamu katakan?"

"Aku... aku... tidak ingin melihatmu dulu...," kata Natan getir.

Aku terisak. Aku syok. Lalu menarik napas, "Sampai kapan?"

"Aku tidak tahu." Kami lama terdiam. "Bukannya kamu ingin pergi dari dulu? Sekarang tidak ada lagi yang akan menahanmu," lanjut Natan.

Aku mengangguk. Mengusap air mataku dengan tisu. Aku pun pergi.

Terpopuler

Comments

Fleur Liu

Fleur Liu

keren

2020-07-05

0

retno wulansari

retno wulansari

mmm

2020-06-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!