Nariswari - Jalan Tol Menuju Cinta
Sumpah aku ingin muntah tiap kali melihat adegan konyol ini di depanku, adegan pasangan muda pengantin baru yang sok romantis, dan dipertontonkannya di depan rumah.
“Ah, jangan pergi, Natan!” teriak gadis cantik berpakaian yang belum selesai dijahit, eh sudah diambil. “Aku bakal kesepian.”
“Aku juga tidak mau pisah, Mimi. Aku janji, jam istirahat, aku akan kembali,” ujar laki-laki keren yang memakai kardigan hitam. Dia mengangkat wajah istrinya.
Aku yang jomblo hanya bisa melongo. Kukira adegan ini hanya ada dalam film Korea yang diam-diam ditonton teman kuliahku saat ada kelas. Atau mereka lebih mirip dengan Michi dan Yosirin dalam serial Shincan?!
“Kok mengerikan, ya? Pengen muntah,” bisikku.
“Kenapa dia?” Gadis muda bernama Mimi itu melirik lalu memberi kode ke arahku. “Kasihan, ya?”
Laki-laki bermata coklat itu mengangguk, “Jomblo, sih.”
Dasar anak bau kencur! Cebol! Jeritku dalam hati lalu berlari ke kantor dan lari dari kenyataan menyakitkan kalau aku masih jomblo, sedang bocah-bocah yang baru lulus sekolah itu sudah berganti status.
Setelah lulus kuliah diploma III dengan masa studi 2 tahun 6 bulan, yang artinya aku bukan perawan tua, masih cukup muda untuk mengejar mimpi, uang, dan suami ganteng untuk memperbaiki keturunan. Lulus kuliah di universitas negeri bergengsi di ibu kota Jawa Tengah, lalu menjadi pengangguran selama 4 bulan--cukup bangga, akhirnya aku diterima kerja di perusahaan yang berkecimpung di dunia sosial media yang berada di area Pudak Payung, Semarang atas, dekat penjual ubi Cilembu--kesukaanku, dan masuk di kiri jalan, bukan di jalan utama. Dan ditakdirkan bergaji kecil, kemudian memutuskan untuk pindah kos dekat kantor untuk melenyapkan anggaran transportasi.
Kos itu berada di lorong yang luasnya bisa dimasuki 1 mobil dan 3 motor bersamaan, kosku menjadi rumah paling pojok sebelum rumah kosong yang tentunya ada penunggunya. Fasilitasnya ada pekarangan sempit, teras minimalis, ruang tamu hampir kedap udara, kamar mandi angker, dapur, dan satu kamar mini. Kamar utama dikuasai Ibu kos, sedang aku disodakohkan gudang merangkap jadi kamar yang baru saja disapu dan dipelnya.
Pukul 07.55 WIB, aku berangkat ke kantor sambil mengamati rumah tetangga yang rata-rata berdesain minimalis, simple, dan struktural, atapnya juga berbentuk pelana dan lima san, dengan finishing cat yang standar saja, kecuali dua rumah yang menarik hatiku, membuat bermimpi, jika saja kelak aku menjadi pemilik salah satu rumah ini.
Pertama, rumah itu milik pasangan pengantin baru yang aneh, dan kedua, rumah dengan gerbang tinggi misterius yang membuatku hampir gila karena penasaran seperti apa bentuk pemiliknya.
Rumah berlantai dua yang dimiliki lulusan anak SMA ini, menurut sumber gosip yang dipercaya, yakni Ibu kos, adalah pemberian dari Ayah si cowok, kepalaku sampai pusing menghitung estimasi kekayaannya. Mereka juga memiliki carport yang diisi mobil flamboyan berwarna gold. Juga taman-taman mini dengan rumput swiss dan batu sikat mini warna putih, lalu di bagian pojok ada pohon kamboja kembang kuning yang memberi nuansa khas bali. Dan, sebenarnya pohon kamboja banyak tumbuh di kuburan--kamboja kembang putih. Juga beberapa bunga dengan kembang warna-warni yang ditata selaras.
Bagian tampak depan rumahnya, hampir full kaca yang menambah kesan mewah, untuk melindungi partisi kaca dari ganasnya matahari pagi karena rumah ini menghadap ke timur--rumah impian, tritisan semacam dak aksitektural menjorong ke luar dengan kolom-kolom unik menopang. Lalu kusen dan bagian dinding yang difinishing cat black swan. Rumah ini memiliki pagar yang rendah, ditumbuhi tumbuhan hijau merambat, dan jarang-jarang sehingga dari luar, orang-orang bisa melihat eksterior dan aktivitas pemilik rumah. Aku pun mesem-mesem, sekali lihat sudah bisa melihat karakter rumah ini. Maklum anak arsitek. Batinku sombong.
Sedang, rumah tetangga gerbang tinggi. Aku tak tahu, bagaimana penampakan tampak depan rumahnya, juga pemiliknya. Dari kejauhan aku hanya bisa melihat atapnya yang berbentuk miring satu sisi ke depan, dengan kongsol memanjang menopangnya, dan menambah kesan arsitektural. Gerbangnya kira-kira setinggi 250 cm, lalu ada besi meruncing di atasnya yang dicat gelap, sedang gerbangnya sendiri, bermaterialkan beton difinishing batu alam hitam lalu dicoating. Kenapa aku bisa tahu? Karena tiap aku lewat setelah pulang kerja. Aku mengamati view interest ini, tidak hanya mengamati, aku kadang mengelus material, dan mengetuk-ngetuknya, untuk membayar kepuasan setelah mengetahui material-material penyusun bangunan, yang sangat berbeda dari lingkunganku yang kumuh.
Dari karakter rumah saja, aku sudah bisa membaca seperti apa bentuk pemiliknya. Maksudnya, karakter mereka. Tapi, aku penasaran wajah pemiliknya.
Setiap di jam yang sama, 07.55 WIB. Aku selalu mendapati adegan “konyol”, adegan yang membuatku mau muntah!
Mereka adalah pasangan aneh, bernama Natan dan Mimi, yang setiap harinya jatuh cinta. Okelah. Kalau mereka mau beromantiskan, silahkan!
"Tapi tidak di depan rumah juga!"
Aku kasihan sama Ibu kosku yang masih jomblo hingga saat ini.
Selain itu, aku selalu membayangkan pemilik rumah gerbang tinggi ini. Seperti apa? Apakah ternyata kepunyaan om-om kumis lebat dengan perut berlipat tiga penuh kolestrol? Atau kakek sepuh yang memiliki harta gono-gini lalu beristri muda? Atau seorang pangeran di jaman millennial yang—
Gerbang itu tiba-tiba terbuka, dengan cepat seorang tua berbau tanah bercelana pendek keluar. Lalu tersenyum ramah. Dia pemiliknya? Aku menahan napas.
Mengecewakan! Aku pun sigap melangkah. Patah hati. Lalu terdengar laki-laki tua dari belakang mengatakan sesuatu. Aku berbalik.
Mata ini menemukan matanya sekilas, dia bermuka pucat, berambut agak ikal, dan sedikit gondrong, mengenakan jaket hitam agak kusut, lalu dipadu dengan celana jeans dan baju kaosnya yang juga hitam sampai ke ujung kaki.
Sudah 31 hari, akhirnya aku menemukannya. Si tetangga gerbang tinggi seperti dalam imajinasiku. Semoga dia bukan anak pembantu. Tapi, melihat pakaiannya agak kumuh, kemungkinan iya, sedang wajahnya yang tampan sangat tidak meyakinkan kalau dia tukang kebun dan sejenisnya. Pertemuan pertamaku dengannya di awal bulan Juni 2014. Dan aku hanya bisa tersenyum dalam diam. Kemudian tertawa sepanjang hari. Aku memang gila--Ibu kos mengira aku kerasukan jin rumah kosong.
"Dorrr!"
Aku meringis. Kepalaku lagi-lagi ditabok oleh setan kecil yang kini bersenandung bahagia seperti sudah menunggu waktu yang tepat saat aku lengah. Nama makhluk kecil ini Dodo. Slamet Widodo. Entah apa yang dipikirkan orangtuanya menamakan makhluk nakal ini dengan nama antik itu di tahun 2014, sedang nama-nama sekarang sudah berkembang ala-ala barat. Kasihan sekali dia, suatu saat akan kena bully.
Dodo adalah anak tetangga kantorku. Dia anak istimewa. Kadang-kadang kalau sepi, pikiran jahat ini terlintas hendak membalas kejahatan Dodo. Seperti ingin menjewer telinganya. Tapi, karena anak ini polos, tak tahu apa-apa, akhirnya kuampuni--aku tidak tahu kesabaranku bisa sampai mana. Dodo sering bolos sekolah, alasannya sakit--padahal kalau menabok kepala orang, sakitnya maha dasyat. Karenanya, dia sering main di depan kantor lalu mengajak main si imut Intan, anak bos gede yang berusia 4 tahun. Wajah Intan copy paste dari bapaknya.
Saat aku melihat Dodo. Aku tidak bisa membayangkan jika punya anak nanti, dan terlahir istimewa. Apa aku bisa sabar seperti Ibu Dodo?
Anak istimewa itu punya kebahagiaan dan dunia sendiri. Dia bahagia membully orang, semisal menabok seenaknya, mencuri kunci pintu kantor, lalu menguncikan kami dari luar, atau akan merusak apapun di sekitarnya jika keinginannya tidak terpenuhi.
Selain biaya sekolah anak istimewa lebih mahal dari UKT kuliahku, di sekolah Dodo belajar tentang karakter dan moral, Dodo juga selalu menjalani terapi rutin, yang jika tidak pakai BPJS bisa mencekik orangtua Dodo. Dan saat-saat dia terapi, adalah hari kemerdekaan kami.
Inginku punya anak, dan tinggal di rumah itu, rumah tetangga gerbang tinggi yang kutemui di awal Juni--bukan sebagai neni atau babu. Bahkan sangat bersyukur sekali jika tetanggaku itu mau menjadi ayahnya. Lagi-lagi aku mesem-mesem.
"Dorrr!"
Kepalaku berdenyut. "Bisa bocor nanti ini kepala!" teriakku berbalik tajam. Setan kecil itu pun lari sambil tertawa bahagia. Dia betul-betul menghancurkan imajinasiku. Teman-temanku pun ikut berunjuk gigi melihat pemandangan ini.
Kenapa selalu aku yang dibully?
"Sabar, Ri. Akan tiba saatnya kamu punya anak yang super duper aktif dari si Dodo itu," ujar Suci, teman kantorku yang sok bijak.
"Sebelum itu terjadi, kepalaku sudah bocor ... oh, tidak, mungkin aku sudah tidak berkepala."
"Ngawur ki!" Suci mesem-mesem. Yang lainnya ikut senyum-senyum.
"Tadi, aku dianterin cowok, loh," godaku langsung melirik Suci. Matanya berbinar, seperti membayangkan adegan film Korea, asupan bergizinya macam 4 sehat 5 sempurna.
"Terus-terus?"
"Ya, istrinya ikut donk!"
Aku pun meringis. Ibu muda ini berhasil mencubit pipiku. Dia cukup tahu aku membohonginya. Padahal imajinasi ala-ala Koreanya sudah berkeliaran.
Nyatanya bulianku tidak sesuai ekspektasinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Fleur Liu
next
2020-07-05
0
RIA HERFINA
haha penasaran akoohhh😅
2020-04-20
0
Nhisa Thunisa Aiyuena
hai, aku datang nih. jangan lupa like dan bintang lima juga fav ya di karya ku
"Guruku Ternyata Jodohku" dan *Bukan Salah Cinta"
Terimakasih 😘
2020-04-11
0