Perasaan apa ini? Seperti tercekik napas. Dia patah-patah masuk ke ruangan. Kami menoleh. Mataku semakin bulat. Tidak berkedip. Lupa bernapas. Laki-laki serba hitam itu datang, membawa parsel buah. Menaruhnya di atas meja.
Dia tidak menyapa kami. Hanya sekilas melirik, lalu pergi. Dia. Tetanggaku, pemilik gerbang tinggi. Yang kutemukannya di awal bulan Juni lalu, 2014. Dan kunamainya Rangga. Orang gagah. Dia membuatku gila tertawa sendirian. Seperti orang bodoh.
Natan tersenyum sinis. Bibirnya bergerak. Tampaknya dia membenci situasi ini, apalagi dengan kedatanganku beserta teman-teman kantor yang kata mereka ingin melihat orang gila yang ganteng dan kaya.
“Dia gila?” bisik Suci.
“Maybe yes,” jawabku berspekulasi.
“Coba tanya dia butuh apa.” Lila berkomentar. Yunita mengangguk mantap. Kami pun melihat Yunita.
“Jangan aku! Aku, kan, sudah menikah.” Yunita menolak polos.
“Ya, udah, Mba aja!” ujarku meminta Lila.
“Aku gak biasa sama cowok.”
"Anggap saja dia itu bukan cowok, tapi bencong," bisikku.
Lila pun geram. Aku menelan ludah.
Natan itu jenis manusia yang abnormal. Dia itu galak kayak macan bunting. Apalagi sama cewek. Sama semua orang, kecuali istrinya.
“Natan …,” panggilku gugup. Aku mengatur napas. Mengingat beberapa hari yang lalu aku mencoba membunuh bocah bau kencur ini.
Dia berbalik. Wajahnya amat jutek. Tapi, kutangkap sinar matanya sedikit berubah.
“Ada… yang… kamu… eh, mau… apa, ya?” Aku bingung. Apa dia mengerti maksudku?
Dia masih menatap tajam, “Butuh sesuatu?” tanyaku.
Dia hanya diam tak menjawab. Lalu memalingkan wajah. Dan mendengus kesal seperti ingin menggigit.
“Bagaimana ini?” Lila tampak kebingungan.
“Apanya?” Suci berkerut alis.
"Kita, kan, gak bisa 24 jam di sini."
“Kita tinggalin dia sendirian?” tanya Yunita khawatir.
“Kenapa, Yun? Kamu mau nemenin mas Natan?” goda Suci. “Ntar Mas Raya nyari yang baru lagi.”
Yunita pun merengut. Lila hanya geleng-geleng melihat kami.
“Tinggal, nih, berarti?” tanya Suci.
“Biarin! Tinggalin aja sendirian, biar dimakan kuntilanak,” jawabku kesal. Lila langsung menarik pipi tembemku. Aku berteriak.
“Kamu ini, gemesin ….”
“Sakit, Mba!” Aku menepisnya.
“Kasihan, dia gak punya siapa-siapa, keluarga? Atau teman, tetangga, gitu?” tanya Lila peduli.
“Dengan lagaknya yang songong, sih, menurutku, gak ada yang mau temenan sama dia,” jawabku ketus.
“Nyebut! Nariswari!” Lila agak membentakku.
“Kamu kayak dendam tujuh turunan sama dia.Ada apa, sih?” Suci bertanya penasaran.
“Habis aku dicuekin, dijutekin, disumpahi, malas banget.”
Maka, Natan pun ditinggal sendirian. Dia masih tidak mau berbicara dengan siapa pun. Mungkin kalau ada Mimi pasti dia akan bisa berlari kuda meski minum minyak tanah satu jerigen sekalipun. Aku tertawa.
Dari balik jendela yang tersingkap tirai, aku menatapnya. Dan—
Dia juga melirik ke arahku. Aku pun kabur. Aku yakin dia akan membongkar kejahatanku yang memaksanya minum minyak tanah!
***
“Dia? Sepupu Natan?” tanyaku syok. Laki-laki paruh baya bercelana pendek itu mengangguk lugu, sambil masih menggenggam tong sampah. “Namanya Juni?”
Aku menghela dada. Kenapa dunia ini seperti daun terong? Lalu rencana cemerlang itu pun datang. Kalau dia sepupu Natan, tentu dia akan sering datang menjenguknya seperti kemarin. Meski mereka keluarga aneh!
Tiba-tiba aku mempunyai semangat 45 untuk menjenguk Natan. Sehabis kerja aku ke rumah sakit, kata dokter, sebenarnya efek minyak tanah tidak begitu parah. Dua hari ini sudah bisa pulang. Hanya saja, mentalnya yang bermasalah. Dan dokter memberiku tugas untuk menghibur laki-laki aneh itu. Dan aku tahu, satu-satu
obatnya adalah Mimi.
Di mana aku mencari Mimi dengan tidak mengeluarkan biaya transportasi yang tidak sesuai dengan rencana anggaran bulanan hidupku? Adakah Mimi di google? Apa nama akunnya?
Aku mengetuk kamar itu. Begitu sepi dan kosong, pasien itu hanya menatap langit-langit kamar, “Halo?” Aku mencoba tersenyum. Aku jamin senyum itu senyum terjelek yang pernah aku lakukan, karena terpaksa, kesal, dan takut.
Dia tak bergerak. Hanya sorotan matanya yang berpindah melirikku. Ya Allah aku takut, haruskah kupanggil Mba Lila untuk meruqyah laki-laki ini?
“Haus …,” ucapnya lirih.
Aku kaget. Patah-patah aku mendekati mejanya, lalu mengambilkannya gelas dengan sedotan berwarna putih. Oh, Juni kamu ke mana?
“Ini air?”
Aku mengangguk. Dia melirik penuh selidik. Seperti tidak percaya. Dia pasti kira aku akan meracuninya lagi dengan minyak tanah.
“Ini beneran air minum!” jawabku tegas. Aku lalu meminumnya. “Lihat! Aku masih survive.”
Dia hanya terdiam getir. Kami lama terdiam. Aku bukan anak psikologi yang mengerti cara memperlakukan orang stres. Aku hanya anak teknik, buruh, pekerja kasar yang terjerumus di dunia website.
“Kalau saja ada yang bisa membantu… ya, setidaknya membawa Mimi ke sini—“
Kulirik bibirnya gemetar saat nama itu kusebut. Aku tersenyum.
“Mimi?”
Dia melirikku sedih. Tatapan itu membuatku tertekan. Aku berpaling, “Kamu harus sembuh demi Mimi.” Itu kata-kata motivasi pertama yang baru kali ini kuucapkan selama hidup.
“Demi Mimi, kamu harus sembuh!” Aku tersenyum lagi. Mengepalkan tangan. Sorot mata itu lagi-lagi berubah.
***
“Mikhayla Calista.”
“Apa?”
“Mikhayla Calista namanya,” sahut Natan lirih.
“Mimi?” tanyaku. Aku tersenyum. “Cantik sekali namanya.” Aku pun merengut. “Huh, beda banget sama namaku, Nariswari Ola, nama yang aneh.”
“Siapa?”
“Siapa apa?” tanyaku.
“Kamu!”
“Aku?” Aku tertegun. “Dasar! Kita setengah tahun lebih bertetangga, kamu gak tahu namaku?” Kulirik dia tampak dongkol. Emang aku siapa? Artis, bukan! Cuman anak kos-kosan pojok. Aku tertawa. Wajar, sih, dia juga tidak tahu, sepanjang waktunya dihabiskan untuk stres. “Aku Nariswari.” Sambil menjulurkan tangan. Kukira dia
akan sok keren mengabaikannya, tapi dugaanku salah.
“Dia cantik ….”
“Iya-iya aku tahu, sudah tiga kali kamu bilang begitu, kalau bilang sekali lagi, ntar dapat piring plastik. Lagian kalau jelek juga mana mungkin kamu nikahi.” Kelihatan dari bau-bau Natan, dia itu selera tinggi, kecuali kalau dia gila, menikahi gadis buruk rupa!
Bibirnya bergerak. Aku tidak bisa mengartikan bahasa kalbunya, terlalu sulit! Apakah itu lucu, atau dia sedih. Selama Mimi tidak di sisinya, dia tidak akan pernah bahagia. Dan aku akan terpenjara di sini karena merasa bersalah. Susah memang, kalau menggantung harapan kepada manusia, apalagi manusia plin-plan. Betul kata Mba Lila!
Lalu pintu itu terbuka, laki-laki berjaket hitam kusut itu masuk. Lagi-lagi membawa parsel buah. Dia. Dia adalah Juni. Aku tiba-tiba tersenyum menatapnya cerah. Seperti sahabat lama yang bertahun-tahun tak berjumpa. Dan aku sadar saat Natan terbatuk.
Kukira Juni setelah menaruh buah itu akan pergi seperti kemarin. Dia pun duduk di samping Natan. Poninya yang panjang menutupi mata minimalisnya. Aku ingin menyapanya, tapi. Aku tak punya ide akan membahas apa.
“Kalau sudah sembuh langsung pulang saja.”
“Jangan ikut campur!” Natan berkomentar galak.
“Papamu akan mengirim dokter pribadi,” balas Juni dingin. Mereka pun bersitatap tajam, penuh kebencian.
Aku memandang mereka. Mereka tidak terlihat seperti kerabat. Kalau sehat, mungkin akan ada acara smeckdown di ruangan ini.
Dan ini pertamakalinya aku mendengar suara Juni. Suara itu serak dan dingin, dia yang selalu tampak cool. Padahal kota ini panas, tapi dia selalu mengenakan jaket kusut, sikapnya juga dingin seperti suaranya.
"Tipe gue bangettt," desisku lirih bersemu. Senyum-senyum tidak jelas, memunggungi mereka kayak orang gila.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Ujhi Namikaze
next
2020-04-10
1
Ujhi Namikaze
mantap
2020-04-10
1
retno wulansari
ulu ulu
2020-04-08
1