Azab Tetangga Galak

“Ada apa, Buk?” tanyaku di suatu pagi sambil menyaring ampas teh tubrukdengan campuran bunga melati kering.

 Kulihat Ibu kos kelihatan sibuk, seperti biasa pasti beliau mendapat bahan gosip baru yang masih hangat.

“Itu, loh, mas Natan sama Mba Mimi.”

Aku lalu terbatuk mendengar nama mereka terciduk. Lalu mengipasi mulutku yang kepanasan tersiram teh panas.

“Pelan-pelan minumnya,” ujar Ibu kos khawatir.

“Kenapa mereka, Buk?”

“Barusan tadi, mba’e dibawa ke rumah sakit.”

“Kenapa, Buk? Mba’e melahirkan?” tanyaku polos.

“Hush … ngawur!”

“Terus?”

“Ya, si mba’e kakinya patah og.”

Aku terperangah kaget, “Kok, bisa? Dia, kan, gak mungkin manjat-manjat atau jatuh dari genteng.” Aku mengelus dagu.

“Bukan begitu!” Ibu kos tampak dongkol. “Jadi, tadi itu, si mba’ e mau nganter mas’e pergi kerja, nah, pas si mas’ e udah mau jalan, si mba’e ngejar, heh,malah jatuh karena nginjak muntah kucing.”

“Muntah kucinggg?” tanyaku menawan tawa. Ibu kos masih memandang serius. Aku tersenyum, pasti ini kelakuan si Cambollong, kucing hitam yang sering bunting itu. Mungkin lagi hamil makanya muntah-muntah. “Kok, bisa patah, Buk?” Aku bertanya lugu. Ternyata muntah kucing bisa jadi jebakan batman, tokcer juga.

“Awalnya kaki mba’e cuman terkilir.”

“Terus?”

“Ya, mas Natannya mau ngegendong, malah abis itu dijatuhin, kaki terkilirnya kena pagar beton.”

“Kasihan, ya, Buk.” Aku berpura-pura kasihan. Gaya konyol Ibu kos malah membuat berita duka ini jadi lucu.

“Iya, tapi memang, tuh, mereka itu gak ramah og sama orangtua.”

Sama semua orang menurutku. Ciri orang kaya memang seperti itu. Aku membatin. “Azab, ya, Buk? Azab tetangga galak?” Aku tersenyum. Lalu berhenti. Timbul rasa kasihan pada mereka. Sedang, Ibu masih saja melanjutkan gosipnya.

Aku melihat beliau sudah berkeriput dan beruban, juga kini memasuki masa-masa bau tanah, yang harusnya belajar untuk tobat, tapi tetap saja beliau masih suka bergosip. Aku lalu membayangkan di usia 20 tahun aku suka mengkhayal dan membully orang, apa aku juga akan bernasib sama di usia 40 seperti beliau?

“Mba … mba ….”

Tepukan kecil tanganku membangunkanku, “Iya, Buk?”

“Lagi libur, toh?”

“Hah, libur? Mustahil, Buk! Ini, kan, hari senin.”

“Sudah jam setengah 9,loh!”

“Apa?!” teriakku. Bu kos kaget,

mengelus telinganya. Aku lalu melihat androidku. “Ah settingan jamnya salah!” Aku berlari ke ruang tamu melirik jam dinding, betul yang dikatakan Ibu kos.

Tamatlah riwayatku! Karyawan gaji kecil! Kalau aku tidak bisa menunjukkan dedikasi,

seumur hidup aku akan digaji seperti kuli, di bawah UMR.

***

“Dia masih di situ,” bisikku lirih. Sudah lima bulan ini dia seperti itu terus. Duduk khusyuk di kursi sambil menatap kosong ke arah gerbang. Padahal, dia ganteng, tapi gila. Sayang sekali. Anak muda seperti dia harus berakhir

menyedihkan. Coba kalau rumahnya buat aku, aku tidak harus menderita di kamar angker yang dikunjungi kecoak, semut, dan tokek setiap hari. Sungguh mengenaskan. Usia muda, masih produktif,  habis

dianggurin—“

“Kalau seperti itu terus, dia bisa gila ….”

“Apa, Ri?”

“Ah, gak, Ci. Abaikan-abaikan,” ujarku gugup. Sambil masih memainkan mouse.

“Kepo, ih,” goda Suci, teman kantorku.

Aku menghela napas. Lalu angkat bicara, “Jadi gini, tetanggaku itu kasihan, gila ditinggal istrinya.”

“Terus kenapa kamu yang stres mikirin dia? Nanti kamu juga ikut gila.” Suci berkomentar sambil memainkan anak

rambutnya. Keempat temanku yang sibuk dengan PCnya pun berbalik. Aku cuman tertawa kecil.

Aku menggaruk, “Ya, kasihan, dia ganteng dan kaya, terus gila.”

"Jadi, kalo jelek dan kere, gak papa gila?" Suci langsung angkat bicara.

“Hush, ojogosip!” Lila langsung melerai.

“Gak, kok, Mba. Kan, mau nyari solusi,” belaku mencari pembenaran.

Sedang Yunita cuman senyum-senyum sambil masih memainkan keyboard, memposting konten terbaru di salah satu sosmed. Sedang mas Adi sibuk dengan desain terbaru logo produk, dan Aziz sedang berselunsur di dunia website.

Suci maju langsung berbisik, “Rumah tangga memang seperti itu, dulu aku sama mas Reza sampai sebulan diem-dieman gara-gara dia make sikat gigiku, terus gak mau bilang.”

“Kok lucu, sih?”

“Nyebelin tahu.” Suci tersenyum simpul. “Tapi, ya, begitulah rumah tangga, kadang hujan, kadang panas, ada pelangi, ada banjir bandang.”

“Kok gak nyambung, sih?” tanyaku

mengkerut.

Suci hanya tertawa. Lalu Lila memberi kode kalau bos gede baru tiba. Kami pun pura-pura sibuk kerja. Aku

mulai membuka folder data, menemukan data-data di excel, lalu bermain di website, ngelink semua blog untuk meningkatkan SEO klien.

Perusahaan ini, melayani jasa maintenance website, mulai dari desain logo, update artikel setiap hari, copy writing di sosial media dan lain-lain. Klien kami mulai dari perusahaan rental mobil dan motor, kuliner, travel, sekolah, outbound, lembaga kemanusiaan, aksesoris, bisnis pakaian, wisata, partai politik, sampai para pejabat, baik itu lokal sampai interlokal dan masih banyak yang aku sendiri tidak hafal—bahkan bos gede juga tidak hafal.

Bagian pekerjaanku memaintenance blog. Dengan mengkopi paste artikel utama yang ditulis Mba Lila di blogger dan wordpress, lalu dilink-linkan, dan aku juga memegang youtube, lagi-lagi untuk

menyebarkan link, agar perusahaan klien berada teratas dalam pencarian di google. Pekerjaanku mirip dengan Aziz, sedang mas Adi khusus bagian desain, setiap hari mestilah ia melahirkan desain baru sesuai permintaan klien, dan aku pernah menghandle jobnya karena dia ijin tidak masuk, dan kadang juga membantu Mba Lila menulis artikel saat aku menganggur. Sedang Suci menghandle kami, dengan menjadi penghubung antar klien dengan kami, dalam pemberian job, dan menjadi admin yang membukukan laporan keuangan, invoice. Sedang Yunita memegang kendali di instagram, facebook, twitter, tokopedia, dan buka lapak.

***

“Hei-hei! Kamu kenapa? Hei!” Aku memanggilnya khawatir. Kudapati tubuh laki-laki kurus ini terbaring di teras

rumahnya. Waktu itu pagar rumahnya menganga, dan selalu seperti itu setiap hari. Dia tampak pucat dan lemah. Tapi menurutku bukan fisiknya saja yang sangat mengkhawatirkan, tapi hatinya pasti lebih menderita. Aku panik. Bahkan aku sampai tak sempat lagi mengangumi keindahan eksterior rumahnya.

Dia melirikku nanar. Aku berlari mencari tetangga atau pembantu di rumah ini, tapi tidak kutemukan. Ibu kos juga baru ke pasar, “Ayo, minum ini dulu.” Aku mengambil air di botol mineral yang tergeletak di sampingnya.

Dia menghempasnya, “Ih, kenapa?” Aku bingung. Kupungut botol itu, lalu kedekatkan mulutnya ke bibir botol, dia menolak, tapi aku tetap memaksanya. Aku tahu, kalau saat kritis, air mineral itu sangat baik untuk tubuh. Karena dulu saat aku mau pingsan, terjungkir dari motor, segera orang-orang memberi air mineral.

“Sialan, itu—“ Laki-laki itu pun mual sambil memegangi perutnya.

“Hah?” Aku melongo. Lalu teringat mobil bos yang kadang menganggur. Segera kutelepon mas Adi. Tanganku gemetar sibuk memanggil bantuan.

“Kenapa, sih, dia?” tanyaku sambil masih memandang laki-laki muda itu. “Dokter bilang apa?”

“Dia harus cuci lambung.”

“Kok bisa?”

“Dia habis minum minyak tanah,” ujar mas Adi yang tampangnya membingungkan--antara mau tertawa dan perihatin. Azizyang ikut membantu mengangkat tubuh kurus Natan langsung tertawa. Aku juga begitu. Sedang, Lila, Suci, dan Yunita masih di kantor menghandle tugas kami.

“Ah, jangan-jangan—“

“Apa?” tanya Aziz.

Aku menelan ludah. Lalu menutup mukaku. Berbalik, “Jangan-jangan air mineral yang kupaksa Natan minum itu, minyak tanah? Mati! Kalau dia kenapa-kenapa? Bisa masuk penjara! Percobaan pembunuhan.” Aku merinding sendiri.

Kenapa aku tidak menyadari itu minyak tanah? Bukannya hidungku peka terhadap bau? Atau tadi saking paniknya jadi tidak sadar? Bodoh! Dodol!

Waktu itu, Natan yang gila, mengambil minyak tanah yang dikiranya air mineral, entah darimana dia

mendapatkannya, masih menjadi misteri Ilahi. Lalu dia pusing, mual, dan mau pingsan, aku pun datang, sebagai pahlawan kesialan, lalu menambah penyakitnya dengan mencengkokinnya minyak tanah. Mati aku! Aku menggeram.

“Kenapa, sih, dia?” tanya Mas Adi.

“Ketularan gila kali.” Aziz tertawa. Dia pun memanggilku. "Oh, ya, tadi mas'e sesak napas, gak?"

Aku pun mengingat-ingat, "Lupa. Emang kenapa kalo sesak napas?"

"Ya, parah donk. Butuh segera napas buatan." Aziz manggut-manggut.

"Napas buatan?" Aku  melongo. "Nanti, aku kasih napas kentut."

Mereka pun tertawa. Dan aku sebenarnya khawatir.

Terpopuler

Comments

RIA HERFINA

RIA HERFINA

haha kena azab😅

2020-04-20

0

Ujhi Namikaze

Ujhi Namikaze

wah...

2020-04-10

1

Ujhi Namikaze

Ujhi Namikaze

lanjut Thor...

2020-04-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!