Anak Baik yang Jadi Pelakor

“Ri!” panggil Ibu kos dari balik pintu kamar.

“Iya, Buk?”

“Dicariin Pak Surip.”

“Siapa itu? Tukang pijit?” tanyaku membuka pintu—pintu yang sering rusak saat dikunci.

“Ngawur! Itu, loh, yang kerja di rumahnya mas Natan.”

“Oh….” Aku mengangguk tidak peduli. Ngapain nyari aku, ya?

“Ada apa, sih?” Ibu kos tampak penasaran.

“Gak ada apa-apa, kok, Buk. Kemarin, kan, saya sama teman-teman kantor yang nolongin dia. Mungkin, ada perlu.” Aku tersenyum berhati-hati. Barangkali Ibu kos mau meliputku. Menggali berita gosip baru.

“Iya ke sana, gih!” ujar Ibu kos. "Tapi hati-hati aja, mas'e, kan, statusnya beda." Aku mengangguk sadar. Beliau benar, tapi di sisi lain, Ibu kos suka mengorek informasi.

Rasanya jadi serba salah. Apa tidak apa-apa menemui laki-laki yang sudah berumah tangga? Meskipun tampangnya masih bocah, dan tidak kelihatan kalau sudah menikah.

Pak Surip tersenyum saat melihatku. Dia menunduk sopan seperti bertemu presiden, aku merasa tersanjung. “Ada apa, Pak?”

“Diminta Mas Natan ke rumahnya, Mbak.”

“Buat apa, Pak?” tanyaku penasaran.

“Saya tidak tahu, Mba. Tolong ke sana aja, ya, Mba, nanti saya dimarahi.”

"Lho, kok, gitu, sih?"

Karena kasihan melihat Pak Surip, aku pun menyetujuinya, “Si Natan mau apa, Pak? Mau minum minyak tanah lagi?” godaku. Aku tersenyum. Pak Surip hanya bisa garuk-garuk.

Begitulah Natan. Pembantunya sering digalakin, sampai-sampai dia mau mati, ditinggal mangkat dua pembantunya yang sakit hati dikata-katai. Sampai sekarang dia selalu gonta-ganti pembantu.

“Ada apa?” tanyaku malas berdiri di teras. “Kamu tahu? Meskipun kelihatan kayak pengangguran. Aku, tuh,sibuk tahu!” Aku membayangkan kegiatanku tadi di kamar, mencoba menangkap tokek. Kata Aziz, tokek sepanjang 40 cm mahal harganya, untuk obat Cina. Barangkali Natan tertarik? Kini, aku bisa leluasa menikmati eksterior rumah ini. Rasanya damai. Ah, seperti mimpi!

Natan hanya terdiam. Dia kayak orang kebingungan. Yang aku tahu, kami harus mencari solusi, membuat Mimi kembali.

Aku pun menunduk, “Kita bawa Mimi kembali, oke?”

Wajah pucatnya terlihat berbinar.

“Caranya gimana? Minta maaf sama keluarganya? Atau ... apa Mimi sudah sembuh?” Aku bertanya lagi.

“Dia akan kembali, aku tahu, jika sudah waktunya.”

“Baguslah! Kalau begitu tunggulah! Terus buat apa aku di sini? Kalau kau tahu jawabannya." Aku mengusap

bibir. Melirik rumah mewah Natan yang membuatku mesem-mesem.

"Mau gila rasanya, menunggunya."

Aku pun melihat wajah payah Natan, "Ya, kalau begitu, coba berenang!"

"Kok?"

"Ya, kalo kamu gak kuat nungguin Mimi, berenang aja di tengah laut, bukan hanya gilamu yang hilang, tapi kamunya ikut hilang." Aku tertawa.

Natan tidak tertarik. Tampaknya dia serius.

“Aku tidak bisa menunggu lagi, aku mau mati rasanya,” ujarnya getir.

“Hei-hei! Mati-mati? Ada banyak orang di luar sana yang mau hidup, kamu malah mau mati, padahal umurmu masih 18 tahun.” Aku berdecik. “Usia seperti itu masih banyak yang bisa dilakukan.”

“Seperti?”

“Membully teman misalnya, atau kalo jawaban normalnya, berbakti pada nusa dan bangsa.”

Natan mengangguk, mencoba mengikuti lelucon recehku, tapi tidak nyambung. “Aku lebih suka meneror.”

Aku tertawa, “Parah kamu! Tapi, aku serius. Aku akan hubungi Mimi lewat sosmed biar dia kembali.”

“Jangan!”

 “Terus?”

Natan hanya diam.

“Harus ada aksi Natan, kalau diam saja, ya, takkan ada hasilnya.”

“Dia akan cemburu.” Natan berbisik sambil menunduk.

“Cemburu? Buat apa? Aku juga tidak tertarik,kok! Niatku baik.”

Natan tak bisa menahanku. Aku pun menghubungi Mimi lewat message di beberapa akun di sosial media.

Melihat akunnya di sosmed. Kecantikkannya sudah seperti selegram. Bagaimana Natan tidak sampai gila karenanya. Natan juga gantengnya kebangetan tapi untungnya dia bukan tipeku. Cowok cengeng macam dia bukan kriteria suami idaman. Yang ada nanti, malah aku yang disuruh perbaiki genteng kalo atap rumah kami bocor!

Dan aku mengirim pesan ke Mimi. Perasaan antara wanita.

Bisa juga pasangan yang jatuh cinta setiap hari, harus berakhir karena muntah kucing. Menurut imajinasiku, Mimi mengejar Natan, seperti dalam film India yang ditonton Mamakku di TV. Lalu kakinya terkilir karena menginjak muntah kucing. Natan dengan gagahnya menggendongnya, tapi rengkuhannya terlepas, malah kaki terkilir Mimi terbentur keras di pagar Beton dengan jatuhnya Natan juga, Mimi yang depresi, kakinya patah, yang sebenarnya bisa sembuh, lalu mendramatisir, dia tidak cantik lagi, dia cacat, akhirnya Natan menyalahkan dirinya, dan keluarga Mimi yang amat memanjakan dan menyayanginya, langsung membawanya pulang. Tinggallah Natan menyepi sendiri. Mereka pun berakhir seperti ini. Dan aku? Harus menyaksikan drama ini yang menyita waktu nganggurku!

***

Pukul 07.55 WIB, aku bergegas ke kantor. Lalu menemukan adegan yang ternyata kurindu. Dari balik gerbang yang terbuka, depan rumah tetangga. Natan dan Mimi saling melepas rindu. Dan untuk pertama kalinya aku bahagia

melihat adegan itu. Aku tertawa dan memberi jempol saat Natan melihatku.

Aku berjalan dua rumah dari sana. Kudapati Juni berjongkok sambil mengelus Cambollong, kucing hitam yang hamil lagi. Aku merona tersenyum. Dia kaget melihatku. Lalu ia bergegas pergi. Dan aku mengikutinya dari belakang. Aku terus memandangi punggungnya, sampai tiba di kantor, aku pun berhenti mengejarnya.

“Senangnya bisa kembali.” Aku merenggangkan punggung.

“Jangan bahagia dulu! Btw jobnya Yunita hari ini kamu yang handle.”

“Kok, bisa?” tanyaku.

“Dia lagi cek-in, eh, maksudnya cek-up?”

“Kenapa dia? Minum minyak tanah?”

“Sembarangan! Dia kan lagi ngisi.” Suci menarik pipiku.

“Apa itu? Emang tahu isi...,” candaku.

“Heh, cape deh, ngisi itu hamil.” Suci melirik malas.

“Hah, hamil? Sama siapa?” Aku berhenti mengetik.

“Ya, suaminyalah!”

“Aku baru ingat kalau dia sudah menikah.”

“Ri-ri, baru 20 tahun sudah pikun. Sana nikah keburu kamu expired.”

“Heh, cape deh.” Aku mengipas diri.

***

Sore itu, aku pulang agak telat, bukan karena lembur. Tapi, karena mendownlod film lawas Roma Irama, dan Suzanna. Itu semua koleksi film kesukaan mamakku.

Mengingat adegan horor Suzanna. Aku sampai kaget melihat gadis bergaun putih berambut panjang berdiri di

sisi jalan. Aku pun melewatinya.

“Waktu gak ada aku, kamu ngapain aja sama Natan?!” tembak gadis rupawan yang kini berada di sampingku.

Alisku berkerut syok, “Ngapain apa maksudnya?”

“Aku tahu maksud kamu baik, tapi aku tidak suka ada perempuan di hidup Natan selain aku.” Mikhayla Calista menghadangku di pinggir jalan. Ia masih menghakimi.

Wah, wanita ini, berbahaya. Aku mengatur napas. “Uhm, kalau aku gak nolongin Natan, dia mungkin koit,” belaku. Kenapa adegannya jadi seperti ini? Batinku.

“Thanks, ya! Terus setelah dia sembuh, kenapa kamu masih di sana?” tanya Mimi dingin.

Tidak mungkin, kan,aku menyalahkan Natan. Natanlah yang memintaku ke sana. Mengatur siasat.

 Ternyata rumah tangga itu pelik. Karena itu aku merasa bahagia masih jomblo!

“Kenapa, ya? Tapi jujur, Natan itu bukan tipeku! Dia cengeng. Aku bersumpah tidak akan menyukainya. Mana mungkin aku suka sama tetangga yang sudah berkeluarga? Dosa oy!” Lagipula, kalau diibaratkan Natan adalah barang. Maka Natan adalah barang second. Sedang, Juni lebih memikat. Karena masih ori. Original.

Tampaknya Mimi puas dengan jawabanku. Benar-benar wanita yang galak! Iblis pencemburu! Aku bisa membayangkan hidup Natan itu begitu membosankan.

Dan Mimi pun menghilang.

Tidak pernah dibayangkan, kukira semua akan baik-baik saja.

Mimi selalu cemburu. Dan imajinasi liarnya bermain. Dia meragukan cinta Natan, yang baru ditinggal sebentar tapi sudah pindah ke lain hati. Kata tetangga, mereka sering bertengkar. Para sepuh bilang mereka memang terlalu muda berumah tangga untuk standar anak jaman now, mereka belum dewasa, akhirnya babak belurlah pernikahan mereka. Dan lagi-lagi aku merasa bersalah. Harusnya aku tidak di sana waktu itu. Dan aku benci menyalahkan masa lalu!

Dan mereka pun berpisah.

***

Di usia Natan yang ke-19, saat Yunita sudah melahirkan, saat anak Suci berumur 5 tahun, saat Adi melepas masa lajangnya,  saat Lila dan Aziz masih jomblo, dan saat aku sudah naik gaji. Tahun 2015.

Natan melamarku?!

Aku hampir meledak. Aku terbangun, dan ini bukan mimpi dan bukan impianku--kecuali rumah Natan.

Aku tahu Natan tak pernah mencintaiku. Dia hanya merasa gagal saja membawa Mimi kembali. Dan aku hanya akan dijadikan obat penahan rasa sakitnya. Karena penyembuhnya hanya pada Mimi.

Dasar gadis bodoh!

Betapa malunya, kalau tetangga tahu, dan Bu kos, kalau rumor yang menjamur itu benar. Mimi sering menyebut namaku saat mereka bertengkar, meski aku berusaha menghilang dari atmosfer mereka. Aku tidak mau jadi orang ketiga! Bukankah aku terlalu muda, manis, dan baik hati untuk menjadi pelakor?

Terpopuler

Comments

Ujhi Namikaze

Ujhi Namikaze

lanjut

2020-04-10

2

retno wulansari

retno wulansari

deg2n hehe

2020-04-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!