"Kamu dari mana? Sama siapa? Kan, hujan deras!" Natan tampak begitu khawatir memuntahkan pertanyaan bertubi-tubi setelah aku membuka pintu. Wajahnya cemas. Dia berdiri di sana. Aku menelan ludah. Mengingat kejadian tadi. Pertemuanku secara tidak sengaja dengan Juni. Ini akan menjadi bom waktu!
Aku pun mendekatinya. Mencubit pipinya lalu menyapu-nyapu rambutnya seperti mengelus anak kucing. Aku tersenyum. Jurus yang biasa ia lakukan untuk meluluhkanku.
Dia pun berhenti rewel. Dan cukup menikmatinya. Aku janji setelah aku jago bela diri, semuanya akan baik-baik saja. Bersabarlah Natan!
"Natan, kamu tidak lupa, kan? Dulu, aku bisa melakukan pekerjaan bahkan sampai memasang gembok, memanjat pagar, mengecat dinding, memasang lampu, bahkan mengangkat galon saat Pak Surip dan Bu Lastri tidak ada?" Aku mengangkat wajah Natan. Aku hanya ingin bilang. Aku tidak lemah! Dan bukan perempuan yang harus
dilindungi 24 jam sampai tidak punya hidup lain selain bersamanya.
Natan mengangguk, "Iya, kamu banyak mengajariku hal yang sebenarnya hanya bisa dikerjakan Pak Surip." Natan pun diam. "Lakukan apa yang ingin kamu lakukan."
"Wah, yeayyy!" Aku berseru menarik pipi Natan. Lalu sinar mata Natan melirik jaket hitam kusut yang kukenakan, dia baru menyadarinya. Bodoh. Aku juga lupa. Dan, dia hanya diam. Tampaknya, dia menahan diri untuk menanyakannya terlihat dari raut wajahnya yang seketika berubah. Mati aku!
***
Juni aneh. Dia berubah!
Ada energi baru dalam hidupku saat Juni kembali. Dia menjadi senior yang mengajariku bela diri. Dan dia berbeda! Menghilang lalu berubah. Menjadi lebih hangat.
"Nariswari, kamu berubah!"
"Ah?"
"Aku hampir tidak mengenalimu." Juni melirikku sambil mempraktekkan jurusnya. Gerakan tangannya lihai nan santai tapi agak gemulai, juga perputaran tubuhnya. Dia tampak keren melakukannya.
Aku lalu memegang pipiku. Aku berubah, apa karena perawatan kecantikan yang kujalani selama ini?
"Kamu kehilangan selera humor."
"Hah?" Aku kaget.
"Dulu kamu suka bercanda." Juni berkomentar.
Aku diam. Sinar Mataku berubah. Aku hampir lupa bagaimana caranya tertawa lepas, dan membuat lelucon. Apa karena aku lama-lama berubah menjadi diri Mimi? Aku? Pelarian Natan?
Juni tersenyum kaku. Membuatku merasa terobati. Dia beranjak mengambil tas hitamnya lalu mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. Dan diberikannya padaku.
"Roti buaya?!"
Juni mengangguk.
Aku tertawa sendu. Kenapa baru sekarang? Dari dulu aku memberinya kode. Tapi, dia tidak mengerti!
Aku pun menghela napas. Memberanikan diri bertanya, "Apa kabar tunanganmu di Bandung?"
Juni kaget. Apa aku salah? Ada apa?
"Apa?!"
"Tunanganmu?"
Juni menggeleng heran, "Aku tidak punya siapa-siapa."
Aku pun menceritakan detail foto-foto Juni. Juni pun mengerti. Pandangannya menjadi lebih dingin.
"Natan berhasil."
"Berhasil?
Ber...ha...sil? "Membohongiku?"
Juni mengangguk kaku. Aku mengatur napas. Tidak percaya. Sampai sejauh ini Natan melakukannya? Dia gila!
"Jadi... kamu belum punya—“
Juni mengangguk. Aku memegangi kepalaku. Bingung. Entah perasaan apa ini? Menyesal? Bahagia? Marah? Sedih? Sulit untuk diterjemahkan. Aku begitu kecewa sama Natan!
***
Aku menemui Natan di kamar. Sorot matanya seperti memaksa untuk menjelaskan apa yang telah kulakukan. Dan aku hanya diam. Sampai dia bertanya, aku akan membuka kedoknya. Kalau dia ternyata berbohong selama ini! Aku akan membalasmu!
Lewat tengah malam, diam-diam kudapati Natan memeriksa isi tasku, buku, hp, bahkan pakaian yang kupakai tadi.
Dasar pembohong! Dia mencurigaiku? Seperti pelaku kriminal!
Dan aku masih berpura-pura tidur. Aku bisa mendengar langkahnya yang amat pelan. Dia mendekat dan memperbaiki selimutku.
***
"Ini!" Juni memberiku buku tebal.
"Apa ini?"
"Buku fisika," jawabnya singkat.
"Untuk apa?"
"Untuk mukul penjahat. Ini alat pertahanan yang bagus."
"Kamu menakutkan juga," sahutku lalu tertawa renyah.
"Ini bisa kamu uji dengan Natan."
"Hey, dia suamiku!" seruku.
Juni tampak tak menyukai kalimatku. Dia berganti topik. "Ging Freecss ...."
"Hah? Apa? Apa itu?"
"Ging Freecss. Namaku saat melatihmu. Kamu boleh tahu."
"Jin ifrit?" tanyaku menerawang.
Juni berbalik. Tersenyum kaku. Lalu mengejanya, "G-i-n-g F-r-e-e-c-s-s." Dia menatapku. "Mau ikut aku?"
"Kemana?"
"Ke tempat kamu bisa bahagia," jawabnya datar.
Aku melangkah maju, lalu terhenti. Apa yang sudah kulakukan? Aku, kan, seorang istri? Apa boleh?
Juni sudah mendirikan motornya. Ini pertamakalinya dia mengijinkan seseorang naik di motornya. Dan itu aku?
Aku pun bergerak. Tapi, lalu menggeleng. Teringat Natan menungguku. Aku bisa saja membalasnya karena kebohongannya. Tapi, aku masih menghargainya sebagai suami. Dan—
Juni menarikku. Tak sadar aku sudah bersamanya di atas motor hitam thundernya. Dia langsung tancap gas. Lalu aku sontak berpegangan. Dia seperti anak geng motor!
Kami pun tiba di Brown Canyon setelah melintasi jalan penurunan yang terjal, perkampungan dengan jalan berbatu, dan masih banyak ruang terbuka hijau lainnya. Tapi, di area ini sendiri. Ruang terbukanya penuh tanah berwarna kecoklatan.
Saat senja, Brown Canyon semakin cantik, kata Juni seperti Grand Canyon yang ada di Amerika Serikat, karena bukit-bukit menjadi tebing-tebing curam. Brown canyon ini juga terbentuk dari bekas penambangan tanah di Meteseh.
Aku pun menghela napas. Memandang tebing-tebing eksotik di depanku. Eksploitasi alam untuk pembangunan. Bagaimana arsitek memberi solusi untuk ini? Berat rasanya!
***
Dilema....
Andai kubisa berkata sejujurnya, aku bahagia bersama Juni, meski dia aneh, dia lucu, dan antik. Bersamanya tidak ada tekanan. Aku bisa menjadi apa adanya, dan tidak ada masa lalu. Apa ini yang disebut jebakan batman? Tepatnya perangkap setan?
Aku gugup membuka pintu. Kudapati Natan di depan. Dia segera mendekapku.
"Aku rindu," bisiknya. Aku yang biasanya alergi mendapati adegan romantis. Membiarkannya. Aku menyesal. Aku merasa bersalah....
"Ajari aku untuk mandiri," pintanya.
"Apa?"
"Ya, mengerjakan semuanya yang tidak bisa kulakukan. Seperti mengangkat galon, memasang bola lampu, mencuci pakaian, mengepel, memasak, mendaki gunung, menggambar, memikul sekarung durian, ya, yang bisa kamu lakukan semuanya."
"Itu beneran?" tanyaku tertarik. Kenapa begitu tiba-tiba?
"Iya serius. Aku ingin mandiri, tidak manja, bisa diandalkan."
Aku tertawa puas. Ini hal yang baru. Maka hari ini aku mulai mengajari Natan menjadi diriku. Diriku yang dulu. Dan dia sangat payah!
Aku menjentik tangannya karena memecahkan piring. Belum lagi ada adegan jari yang tertusuk pecahan gelas, Natan yang jijik menguras air pel, dia yang begitu takut memasang lampu, atau kakinya kena galon, tangannya kena minyak panas, bagaimana tidak, ia seperti menggoreng air. Hari ini dia babak belur. Sampai seterusnya. Dia masih berjuang. Kesibukan ini pun membuat aku melupakan Juni.
Aku melirik Natan yang tertidur pulas. Dia sudah bekerja keras. Aku tersenyum.
Dan waktuku kembali berhasil direbut Natan. Bahkan sebelum aku berhasil menyelesaikan latihanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
retno wulansari
uwuu
2020-06-16
0