Lagi-lagi Lolo memberikanku sekantong plastik yang berisi ikan setiap kali aku akan pulang. Aku jadi tidak enak hati, karena sehari-hari, nelayan katinting hanya bisa menafkahi kebutuhan makannya, disebabkan mahalnya biaya BBM untuk mesin katinting. Apalagi BBM selalu naik. Aku pun diam-diam membalasnya dengan memberi bantuan ke Bu Sama berupa sembako dan tabungan pendidikan Lolo tiap kali aku dan teman-teman berkunjung--dan itu pakai uang yang dikirimkan Natan.
Dia itu unik sekali. Kalau Natan memberiku bunga di ATM dan mawar, Juni memberiku roti buaya, sedang dia sekeresek ikan. Ikan laut segar dengan bau amis.
Dan suatu hari dia tahu, aku sering memberikannya sembako dan tabungan sekolah untuk mengejar paket C, lalu menanyakannya. Itu membuatnya senyum-senyum sepanjang hari.
"Anak Bu Sama itu naksir kamu, ya?" tanya salah seorang teman penyuluh yang saat itu kami sedang pembinaan desa. Mendengarnya aku langsung terbatuk.
"Kamu serius sama dia? Dia masih kecil, loh!" Temanku tertawa.
Aku mengangguk, "Iya, dia masih kecil."
"Terus kamu mau sama dia?"
Aku terdiam. Bingung menjawabnya.
"Ya, kalo kamu suka juga tidak apa-apa, dia itu pekerja keras, pasti rela cari uang panai siang malam, pasang surut, bahkan sampai nyari ikan paus dia rela. Apalagi masalah usia itu sudah biasa, bahkan nenek-nenek aja, ada yang nikah sama perjaka ting-ting."
Aku tertawa sejenak. Dan ingin rasanya menjitak jidat lebar temanku ini. Lalu terdiam. Menunduk. Aku tidak tahu apa yang kuinginkan! Hidup baru?
Timbul banyak pertanyaan yang bergentayangan di pikiranku.
Apa aku menyukai bocah nelayan itu? Tidakkah Lolo menjadi pelarianku? Atau kan menjadi cita-citaku yang baru? Apa aku bisa bahagia dengan kesederhanaan Lolo dan dia yang apa adanya? Terus apa keluargaku mau sama nelayan miskin seperti Lolo yang hanya bermodalkan cinta dan katinting?
Aku juga tidak tahu! Semoga ini bukan pembalasan dendam karena telah dikhianati laki-laki.
Aku lalu menggeleng cepat. Apa ini? Kenapa aku sampai berpikiran bodoh? Memangnya Lolo menyukaiku? Bisa jadi dia memang baik ke semua orang untuk berbalas budi.
Sabtu dan minggu, aku libur dari project pengawasan. Ya, aku bekerja menjadi staf teknik di perusahaan konsultan kecil di dekat rumah, dengan gaji yang juga kecil. Untungnya, bisa melenyapkan anggaran transportasi, dan kini tidak ada tetangga aneh, dan tetangga gerbang tinggi. Proyeknya juga kecil, semisal pekerjaan talut, pagar, kolam ikan, gudang, dan rumah tinggal sederhana.
Staf teknik di kotaku adalah multitalent, dia bisa menjadi manager, perencana, pengawas, drafter, dan estimator.
Hari ini aku di perkampungan Bajo, melanjutkan project kami yang telah berjalan dua bulan lalu, kami membagi-bagikan sembako, sambil mendokumentasi kegiatan, juga dilanjut dengan kegiatan pembimbingan, dan pendampingan. Kabur dari proyek konsultan membuatku selalu bersenandung. Apalagi berkunjung di perkampungan Bajo.
Entah hari ini rasanya tiba-tiba aku akan merindukan kampung laut ini. Karenanya, aku mengelilingi rumah-rumah yang terhubung dengan jembatan kayu yang berdecit saat papan kayu ini diinjak.
Kudengar langkah patah-patah itu berhenti di depanku. Dari telapak kakinya yang lebar nan kekar dan dibungkus jepit. Aku mengenalinya. Lalu kunaikkan topi hitamku. Menemukan wajah bulatnya.
"Ini, Kak!" Bocah bermata bulat itu menjulurkan kresek putih, aku mulai menengok isinya, ada es lilin dua warna, mulai dari rasa nangka yang berwarna putih dengan irisan nangka, dan kacang hijau berwarna coklat yang dicampur gula merah dan santan. Semuanya sempurna di bawah kelambu terik perkampungan Bajo. Es-es ini adalah makanan kesukaanku sejak kecil, bahkan dulu Mamak sering membuatnya, untuk dijual di sekolah-sekolah.
Aku melirik Lolo yang kikuk, dia berpelu keringat. Entah sejauh mana dia mencari barang ini di tengah perkampungan Bajo. Esnya pun kini agak mencair.
"Terimakasih, ya. Ini makanan kesukaanku."
"Betulan?" tanyanya memastikan.
Aku mengangguk. Langsung tertawa. Aku pun mengambil es rasa nangka, lalu memberikannya yang rasa kacang hijau. Segera bocah muda itu menolak. Lalu Lolo melempar pandang di antara katinting-katinting yang tertambat di dekat kaki rumah. Tingkahnya kikuk. Entah apa yang ingin disampaikannya. Dan aku berharap semoga bukan itu.
"Aku ... aku ...." Dia menarik napas. Tingkahnya seperti orang yang menahan pipis.
Kulirik alisnya mengkerucut. Dia menggerakkan tangannya meremas pegangan jembatan. Tingkahnya lucu. Wajahnya malu. Lalu--
Kami terhenti melihat mobil flamboyan berwarna putih terparkir di depan kami. Lalu turunlah seseorang dari mobil. Dia berlari ke arahku. Menangis. Dan memegang tanganku.
Hatiku sakit melihatnya. Sangat sakit. Dadaku berpacu kuat. Aku pun menarik napas dalam-dalam. Kenapa dia di sini? Ini nyata?
Sakit sekali!
Kupikir waktu bisa menjadi penawar untuk hatiku yang tertatih.
"Aku setengah mati mencari kamu. Kukira kamu mati kena gempa, tsunami atau likuifaksi," ujarnya dengan alis berkerut. Aku hanya diam. Menatap lirih. "Natan sakit," lanjutnya.
Aku membisu. Dan pastilah dia sakit keras. Sampai-sampai Mimi pun ke sini, memohon, dan menjemputku.
"Aku akan mengurus segala keperluan kita untuk kembali ke Semarang."
Aku ragu melakukan ini. Sumpah ingin kutolak saja. Tapi, mengingat kondisi Natan, dan semua yang kulalui selama setahun di Kolaka, tentang bencana alam, kemiskinan rakyat, buta huruf, pembinaan moral, semuanya sangat penting, dibanding masalah pribadiku. Dengan sangat berat hati. Aku pun memutuskan kembali. Tapi hanya seminggu, selepas itu aku akan dipulangkan. Mimi pun tentu cemburu. Dan sengaja telah mengatur semuanya.
Kenapa Mimi tidak bisa melakukan ini sendirian? Apa mereka kena azab?
"Aku tidak pernah secemburu ini. Aku memiliki tubuh Natan, tapi separuh hatinya telah kamu bawa!" bisiknya sendu. Dan aku tidak peduli. Aku bimbang. Rasa kasihan dan marah bersatu padu. "Dia pikir kamu mati, kena gempa, tsunami atau likuifaksi," lanjut gadis yang masih cantik dan sexy di depanku ini. Aku diam tidak menanggapi.
Aku pun terhenti, berbalik, aku lupa. Lupa kalau ada Lolo di antara kami. Ekspresinya aneh. Penuh tanda tanya. Awalnya kupikir dia akan langsung terpikat dengan pesona Mimi, tapi nyatanya dia hampir tidak memandang kecantikannya. Dan untuk sekarang, bukan Lolo yang kupikirkan, kini Natan sudah menyesaki hati dan pikiranku, padahal seharusnya aku sudah bisa bernapas lega.
Aku pun mengangkat topi hitamku. Memberikannya ke Lolo. Air mukanya aneh sejak tadi, seperti ingin bertanya tentang Mimi dan Natan, tapi diurungkannya. Aku pun berpamitan dengannya. Dan tak tahu, apakah bisa bertemu lagi dan mengarungi lautan bersama anak Bajo itu.
Dia menatap sedih. Memeluk topi hitamku. Aku pun berbalik. Kini, bukan Lolo lagi yang membuat cemas. Aku juga sudah mengatur wajah khawatirku agar terkesan tenang. Sayangnya, gagal.
Kadang-kadang, aku bahkan bersyukur bisa menjadi tokoh utama dalam skenario orang ketiga, karena dengan adanya aku di bumi Sulawesi ini. Aku bisa mendedikasikan diri untuk masyarakat, yang bahkan aku tidak lakukan saat aku jaya bersama Natan. Hanya melihat nanar ke penjual koran, si tua yang meminta-minta, dan anak-anak yang mengamen di jejalanan dari balik kaca mobil gold.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Fleur Liu
wah
2020-07-05
0
retno wulansari
ehem
2020-06-16
0