Sumpah aku ingin muntah tiap kali melihat adegan konyol ini di depanku, adegan pasangan muda pengantin baru yang sok romantis, dan dipertontonkannya di depan rumah.
“Ah, jangan pergi, Natan!” teriak gadis cantik berpakaian yang belum selesai dijahit, eh sudah diambil. “Aku bakal kesepian.”
“Aku juga tidak mau pisah, Mimi. Aku janji, jam istirahat, aku akan kembali,” ujar laki-laki keren yang memakai kardigan hitam. Dia mengangkat wajah istrinya.
Aku yang jomblo hanya bisa melongo. Kukira adegan ini hanya ada dalam film Korea yang diam-diam ditonton teman kuliahku saat ada kelas. Atau mereka lebih mirip dengan Michi dan Yosirin dalam serial Shincan?!
“Kok mengerikan, ya? Pengen muntah,” bisikku.
“Kenapa dia?” Gadis muda bernama Mimi itu melirik lalu memberi kode ke arahku. “Kasihan, ya?”
Laki-laki bermata coklat itu mengangguk, “Jomblo, sih.”
Dasar anak bau kencur! Cebol! Jeritku dalam hati lalu berlari ke kantor dan lari dari kenyataan menyakitkan kalau aku masih jomblo, sedang bocah-bocah yang baru lulus sekolah itu sudah berganti status.
Setelah lulus kuliah diploma III dengan masa studi 2 tahun 6 bulan, yang artinya aku bukan perawan tua, masih cukup muda untuk mengejar mimpi, uang, dan suami ganteng untuk memperbaiki keturunan. Lulus kuliah di universitas negeri bergengsi di ibu kota Jawa Tengah, lalu menjadi pengangguran selama 4 bulan--cukup bangga, akhirnya aku diterima kerja di perusahaan yang berkecimpung di dunia sosial media yang berada di area Pudak Payung, Semarang atas, dekat penjual ubi Cilembu--kesukaanku, dan masuk di kiri jalan, bukan di jalan utama. Dan ditakdirkan bergaji kecil, kemudian memutuskan untuk pindah kos dekat kantor untuk melenyapkan anggaran transportasi.
Kos itu berada di lorong yang luasnya bisa dimasuki 1 mobil dan 3 motor bersamaan, kosku menjadi rumah paling pojok sebelum rumah kosong yang tentunya ada penunggunya. Fasilitasnya ada pekarangan sempit, teras minimalis, ruang tamu hampir kedap udara, kamar mandi angker, dapur, dan satu kamar mini. Kamar utama dikuasai Ibu kos, sedang aku disodakohkan gudang merangkap jadi kamar yang baru saja disapu dan dipelnya.
Pukul 07.55 WIB, aku berangkat ke kantor sambil mengamati rumah tetangga yang rata-rata berdesain minimalis, simple, dan struktural, atapnya juga berbentuk pelana dan lima san, dengan finishing cat yang standar saja, kecuali dua rumah yang menarik hatiku, membuat bermimpi, jika saja kelak aku menjadi pemilik salah satu rumah ini.
Pertama, rumah itu milik pasangan pengantin baru yang aneh, dan kedua, rumah dengan gerbang tinggi misterius yang membuatku hampir gila karena penasaran seperti apa bentuk pemiliknya.
Rumah berlantai dua yang dimiliki lulusan anak SMA ini, menurut sumber gosip yang dipercaya, yakni Ibu kos, adalah pemberian dari Ayah si cowok, kepalaku sampai pusing menghitung estimasi kekayaannya. Mereka juga memiliki carport yang diisi mobil flamboyan berwarna gold. Juga taman-taman mini dengan rumput swiss dan batu sikat mini warna putih, lalu di bagian pojok ada pohon kamboja kembang kuning yang memberi nuansa khas bali. Dan, sebenarnya pohon kamboja banyak tumbuh di kuburan--kamboja kembang putih. Juga beberapa bunga dengan kembang warna-warni yang ditata selaras.
Bagian tampak depan rumahnya, hampir full kaca yang menambah kesan mewah, untuk melindungi partisi kaca dari ganasnya matahari pagi karena rumah ini menghadap ke timur--rumah impian, tritisan semacam dak aksitektural menjorong ke luar dengan kolom-kolom unik menopang. Lalu kusen dan bagian dinding yang difinishing cat black swan. Rumah ini memiliki pagar yang rendah, ditumbuhi tumbuhan hijau merambat, dan jarang-jarang sehingga dari luar, orang-orang bisa melihat eksterior dan aktivitas pemilik rumah. Aku pun mesem-mesem, sekali lihat sudah bisa melihat karakter rumah ini. Maklum anak arsitek. Batinku sombong.
Sedang, rumah tetangga gerbang tinggi. Aku tak tahu, bagaimana penampakan tampak depan rumahnya, juga pemiliknya. Dari kejauhan aku hanya bisa melihat atapnya yang berbentuk miring satu sisi ke depan, dengan kongsol memanjang menopangnya, dan menambah kesan arsitektural. Gerbangnya kira-kira setinggi 250 cm, lalu ada besi meruncing di atasnya yang dicat gelap, sedang gerbangnya sendiri, bermaterialkan beton difinishing batu alam hitam lalu dicoating. Kenapa aku bisa tahu? Karena tiap aku lewat setelah pulang kerja. Aku mengamati view interest ini, tidak hanya mengamati, aku kadang mengelus material, dan mengetuk-ngetuknya, untuk membayar kepuasan setelah mengetahui material-material penyusun bangunan, yang sangat berbeda dari lingkunganku yang kumuh.
Dari karakter rumah saja, aku sudah bisa membaca seperti apa bentuk pemiliknya. Maksudnya, karakter mereka. Tapi, aku penasaran wajah pemiliknya.
Setiap di jam yang sama, 07.55 WIB. Aku selalu mendapati adegan “konyol”, adegan yang membuatku mau muntah!
Mereka adalah pasangan aneh, bernama Natan dan Mimi, yang setiap harinya jatuh cinta. Okelah. Kalau mereka mau beromantiskan, silahkan!
"Tapi tidak di depan rumah juga!"
Aku kasihan sama Ibu kosku yang masih jomblo hingga saat ini.
Selain itu, aku selalu membayangkan pemilik rumah gerbang tinggi ini. Seperti apa? Apakah ternyata kepunyaan om-om kumis lebat dengan perut berlipat tiga penuh kolestrol? Atau kakek sepuh yang memiliki harta gono-gini lalu beristri muda? Atau seorang pangeran di jaman millennial yang—
Gerbang itu tiba-tiba terbuka, dengan cepat seorang tua berbau tanah bercelana pendek keluar. Lalu tersenyum ramah. Dia pemiliknya? Aku menahan napas.
Mengecewakan! Aku pun sigap melangkah. Patah hati. Lalu terdengar laki-laki tua dari belakang mengatakan sesuatu. Aku berbalik.
Mata ini menemukan matanya sekilas, dia bermuka pucat, berambut agak ikal, dan sedikit gondrong, mengenakan jaket hitam agak kusut, lalu dipadu dengan celana jeans dan baju kaosnya yang juga hitam sampai ke ujung kaki.
Sudah 31 hari, akhirnya aku menemukannya. Si tetangga gerbang tinggi seperti dalam imajinasiku. Semoga dia bukan anak pembantu. Tapi, melihat pakaiannya agak kumuh, kemungkinan iya, sedang wajahnya yang tampan sangat tidak meyakinkan kalau dia tukang kebun dan sejenisnya. Pertemuan pertamaku dengannya di awal bulan Juni 2014. Dan aku hanya bisa tersenyum dalam diam. Kemudian tertawa sepanjang hari. Aku memang gila--Ibu kos mengira aku kerasukan jin rumah kosong.
"Dorrr!"
Aku meringis. Kepalaku lagi-lagi ditabok oleh setan kecil yang kini bersenandung bahagia seperti sudah menunggu waktu yang tepat saat aku lengah. Nama makhluk kecil ini Dodo. Slamet Widodo. Entah apa yang dipikirkan orangtuanya menamakan makhluk nakal ini dengan nama antik itu di tahun 2014, sedang nama-nama sekarang sudah berkembang ala-ala barat. Kasihan sekali dia, suatu saat akan kena bully.
Dodo adalah anak tetangga kantorku. Dia anak istimewa. Kadang-kadang kalau sepi, pikiran jahat ini terlintas hendak membalas kejahatan Dodo. Seperti ingin menjewer telinganya. Tapi, karena anak ini polos, tak tahu apa-apa, akhirnya kuampuni--aku tidak tahu kesabaranku bisa sampai mana. Dodo sering bolos sekolah, alasannya sakit--padahal kalau menabok kepala orang, sakitnya maha dasyat. Karenanya, dia sering main di depan kantor lalu mengajak main si imut Intan, anak bos gede yang berusia 4 tahun. Wajah Intan copy paste dari bapaknya.
Saat aku melihat Dodo. Aku tidak bisa membayangkan jika punya anak nanti, dan terlahir istimewa. Apa aku bisa sabar seperti Ibu Dodo?
Anak istimewa itu punya kebahagiaan dan dunia sendiri. Dia bahagia membully orang, semisal menabok seenaknya, mencuri kunci pintu kantor, lalu menguncikan kami dari luar, atau akan merusak apapun di sekitarnya jika keinginannya tidak terpenuhi.
Selain biaya sekolah anak istimewa lebih mahal dari UKT kuliahku, di sekolah Dodo belajar tentang karakter dan moral, Dodo juga selalu menjalani terapi rutin, yang jika tidak pakai BPJS bisa mencekik orangtua Dodo. Dan saat-saat dia terapi, adalah hari kemerdekaan kami.
Inginku punya anak, dan tinggal di rumah itu, rumah tetangga gerbang tinggi yang kutemui di awal Juni--bukan sebagai neni atau babu. Bahkan sangat bersyukur sekali jika tetanggaku itu mau menjadi ayahnya. Lagi-lagi aku mesem-mesem.
"Dorrr!"
Kepalaku berdenyut. "Bisa bocor nanti ini kepala!" teriakku berbalik tajam. Setan kecil itu pun lari sambil tertawa bahagia. Dia betul-betul menghancurkan imajinasiku. Teman-temanku pun ikut berunjuk gigi melihat pemandangan ini.
Kenapa selalu aku yang dibully?
"Sabar, Ri. Akan tiba saatnya kamu punya anak yang super duper aktif dari si Dodo itu," ujar Suci, teman kantorku yang sok bijak.
"Sebelum itu terjadi, kepalaku sudah bocor ... oh, tidak, mungkin aku sudah tidak berkepala."
"Ngawur ki!" Suci mesem-mesem. Yang lainnya ikut senyum-senyum.
"Tadi, aku dianterin cowok, loh," godaku langsung melirik Suci. Matanya berbinar, seperti membayangkan adegan film Korea, asupan bergizinya macam 4 sehat 5 sempurna.
"Terus-terus?"
"Ya, istrinya ikut donk!"
Aku pun meringis. Ibu muda ini berhasil mencubit pipiku. Dia cukup tahu aku membohonginya. Padahal imajinasi ala-ala Koreanya sudah berkeliaran.
Nyatanya bulianku tidak sesuai ekspektasinya.
“Ada apa, Buk?” tanyaku di suatu pagi sambil menyaring ampas teh tubrukdengan campuran bunga melati kering.
Kulihat Ibu kos kelihatan sibuk, seperti biasa pasti beliau mendapat bahan gosip baru yang masih hangat.
“Itu, loh, mas Natan sama Mba Mimi.”
Aku lalu terbatuk mendengar nama mereka terciduk. Lalu mengipasi mulutku yang kepanasan tersiram teh panas.
“Pelan-pelan minumnya,” ujar Ibu kos khawatir.
“Kenapa mereka, Buk?”
“Barusan tadi, mba’e dibawa ke rumah sakit.”
“Kenapa, Buk? Mba’e melahirkan?” tanyaku polos.
“Hush … ngawur!”
“Terus?”
“Ya, si mba’e kakinya patah og.”
Aku terperangah kaget, “Kok, bisa? Dia, kan, gak mungkin manjat-manjat atau jatuh dari genteng.” Aku mengelus dagu.
“Bukan begitu!” Ibu kos tampak dongkol. “Jadi, tadi itu, si mba’ e mau nganter mas’e pergi kerja, nah, pas si mas’ e udah mau jalan, si mba’e ngejar, heh,malah jatuh karena nginjak muntah kucing.”
“Muntah kucinggg?” tanyaku menawan tawa. Ibu kos masih memandang serius. Aku tersenyum, pasti ini kelakuan si Cambollong, kucing hitam yang sering bunting itu. Mungkin lagi hamil makanya muntah-muntah. “Kok, bisa patah, Buk?” Aku bertanya lugu. Ternyata muntah kucing bisa jadi jebakan batman, tokcer juga.
“Awalnya kaki mba’e cuman terkilir.”
“Terus?”
“Ya, mas Natannya mau ngegendong, malah abis itu dijatuhin, kaki terkilirnya kena pagar beton.”
“Kasihan, ya, Buk.” Aku berpura-pura kasihan. Gaya konyol Ibu kos malah membuat berita duka ini jadi lucu.
“Iya, tapi memang, tuh, mereka itu gak ramah og sama orangtua.”
Sama semua orang menurutku. Ciri orang kaya memang seperti itu. Aku membatin. “Azab, ya, Buk? Azab tetangga galak?” Aku tersenyum. Lalu berhenti. Timbul rasa kasihan pada mereka. Sedang, Ibu masih saja melanjutkan gosipnya.
Aku melihat beliau sudah berkeriput dan beruban, juga kini memasuki masa-masa bau tanah, yang harusnya belajar untuk tobat, tapi tetap saja beliau masih suka bergosip. Aku lalu membayangkan di usia 20 tahun aku suka mengkhayal dan membully orang, apa aku juga akan bernasib sama di usia 40 seperti beliau?
“Mba … mba ….”
Tepukan kecil tanganku membangunkanku, “Iya, Buk?”
“Lagi libur, toh?”
“Hah, libur? Mustahil, Buk! Ini, kan, hari senin.”
“Sudah jam setengah 9,loh!”
“Apa?!” teriakku. Bu kos kaget,
mengelus telinganya. Aku lalu melihat androidku. “Ah settingan jamnya salah!” Aku berlari ke ruang tamu melirik jam dinding, betul yang dikatakan Ibu kos.
Tamatlah riwayatku! Karyawan gaji kecil! Kalau aku tidak bisa menunjukkan dedikasi,
seumur hidup aku akan digaji seperti kuli, di bawah UMR.
***
“Dia masih di situ,” bisikku lirih. Sudah lima bulan ini dia seperti itu terus. Duduk khusyuk di kursi sambil menatap kosong ke arah gerbang. Padahal, dia ganteng, tapi gila. Sayang sekali. Anak muda seperti dia harus berakhir
menyedihkan. Coba kalau rumahnya buat aku, aku tidak harus menderita di kamar angker yang dikunjungi kecoak, semut, dan tokek setiap hari. Sungguh mengenaskan. Usia muda, masih produktif, habis
dianggurin—“
“Kalau seperti itu terus, dia bisa gila ….”
“Apa, Ri?”
“Ah, gak, Ci. Abaikan-abaikan,” ujarku gugup. Sambil masih memainkan mouse.
“Kepo, ih,” goda Suci, teman kantorku.
Aku menghela napas. Lalu angkat bicara, “Jadi gini, tetanggaku itu kasihan, gila ditinggal istrinya.”
“Terus kenapa kamu yang stres mikirin dia? Nanti kamu juga ikut gila.” Suci berkomentar sambil memainkan anak
rambutnya. Keempat temanku yang sibuk dengan PCnya pun berbalik. Aku cuman tertawa kecil.
Aku menggaruk, “Ya, kasihan, dia ganteng dan kaya, terus gila.”
"Jadi, kalo jelek dan kere, gak papa gila?" Suci langsung angkat bicara.
“Hush, ojogosip!” Lila langsung melerai.
“Gak, kok, Mba. Kan, mau nyari solusi,” belaku mencari pembenaran.
Sedang Yunita cuman senyum-senyum sambil masih memainkan keyboard, memposting konten terbaru di salah satu sosmed. Sedang mas Adi sibuk dengan desain terbaru logo produk, dan Aziz sedang berselunsur di dunia website.
Suci maju langsung berbisik, “Rumah tangga memang seperti itu, dulu aku sama mas Reza sampai sebulan diem-dieman gara-gara dia make sikat gigiku, terus gak mau bilang.”
“Kok lucu, sih?”
“Nyebelin tahu.” Suci tersenyum simpul. “Tapi, ya, begitulah rumah tangga, kadang hujan, kadang panas, ada pelangi, ada banjir bandang.”
“Kok gak nyambung, sih?” tanyaku
mengkerut.
Suci hanya tertawa. Lalu Lila memberi kode kalau bos gede baru tiba. Kami pun pura-pura sibuk kerja. Aku
mulai membuka folder data, menemukan data-data di excel, lalu bermain di website, ngelink semua blog untuk meningkatkan SEO klien.
Perusahaan ini, melayani jasa maintenance website, mulai dari desain logo, update artikel setiap hari, copy writing di sosial media dan lain-lain. Klien kami mulai dari perusahaan rental mobil dan motor, kuliner, travel, sekolah, outbound, lembaga kemanusiaan, aksesoris, bisnis pakaian, wisata, partai politik, sampai para pejabat, baik itu lokal sampai interlokal dan masih banyak yang aku sendiri tidak hafal—bahkan bos gede juga tidak hafal.
Bagian pekerjaanku memaintenance blog. Dengan mengkopi paste artikel utama yang ditulis Mba Lila di blogger dan wordpress, lalu dilink-linkan, dan aku juga memegang youtube, lagi-lagi untuk
menyebarkan link, agar perusahaan klien berada teratas dalam pencarian di google. Pekerjaanku mirip dengan Aziz, sedang mas Adi khusus bagian desain, setiap hari mestilah ia melahirkan desain baru sesuai permintaan klien, dan aku pernah menghandle jobnya karena dia ijin tidak masuk, dan kadang juga membantu Mba Lila menulis artikel saat aku menganggur. Sedang Suci menghandle kami, dengan menjadi penghubung antar klien dengan kami, dalam pemberian job, dan menjadi admin yang membukukan laporan keuangan, invoice. Sedang Yunita memegang kendali di instagram, facebook, twitter, tokopedia, dan buka lapak.
***
“Hei-hei! Kamu kenapa? Hei!” Aku memanggilnya khawatir. Kudapati tubuh laki-laki kurus ini terbaring di teras
rumahnya. Waktu itu pagar rumahnya menganga, dan selalu seperti itu setiap hari. Dia tampak pucat dan lemah. Tapi menurutku bukan fisiknya saja yang sangat mengkhawatirkan, tapi hatinya pasti lebih menderita. Aku panik. Bahkan aku sampai tak sempat lagi mengangumi keindahan eksterior rumahnya.
Dia melirikku nanar. Aku berlari mencari tetangga atau pembantu di rumah ini, tapi tidak kutemukan. Ibu kos juga baru ke pasar, “Ayo, minum ini dulu.” Aku mengambil air di botol mineral yang tergeletak di sampingnya.
Dia menghempasnya, “Ih, kenapa?” Aku bingung. Kupungut botol itu, lalu kedekatkan mulutnya ke bibir botol, dia menolak, tapi aku tetap memaksanya. Aku tahu, kalau saat kritis, air mineral itu sangat baik untuk tubuh. Karena dulu saat aku mau pingsan, terjungkir dari motor, segera orang-orang memberi air mineral.
“Sialan, itu—“ Laki-laki itu pun mual sambil memegangi perutnya.
“Hah?” Aku melongo. Lalu teringat mobil bos yang kadang menganggur. Segera kutelepon mas Adi. Tanganku gemetar sibuk memanggil bantuan.
“Kenapa, sih, dia?” tanyaku sambil masih memandang laki-laki muda itu. “Dokter bilang apa?”
“Dia harus cuci lambung.”
“Kok bisa?”
“Dia habis minum minyak tanah,” ujar mas Adi yang tampangnya membingungkan--antara mau tertawa dan perihatin. Azizyang ikut membantu mengangkat tubuh kurus Natan langsung tertawa. Aku juga begitu. Sedang, Lila, Suci, dan Yunita masih di kantor menghandle tugas kami.
“Ah, jangan-jangan—“
“Apa?” tanya Aziz.
Aku menelan ludah. Lalu menutup mukaku. Berbalik, “Jangan-jangan air mineral yang kupaksa Natan minum itu, minyak tanah? Mati! Kalau dia kenapa-kenapa? Bisa masuk penjara! Percobaan pembunuhan.” Aku merinding sendiri.
Kenapa aku tidak menyadari itu minyak tanah? Bukannya hidungku peka terhadap bau? Atau tadi saking paniknya jadi tidak sadar? Bodoh! Dodol!
Waktu itu, Natan yang gila, mengambil minyak tanah yang dikiranya air mineral, entah darimana dia
mendapatkannya, masih menjadi misteri Ilahi. Lalu dia pusing, mual, dan mau pingsan, aku pun datang, sebagai pahlawan kesialan, lalu menambah penyakitnya dengan mencengkokinnya minyak tanah. Mati aku! Aku menggeram.
“Kenapa, sih, dia?” tanya Mas Adi.
“Ketularan gila kali.” Aziz tertawa. Dia pun memanggilku. "Oh, ya, tadi mas'e sesak napas, gak?"
Aku pun mengingat-ingat, "Lupa. Emang kenapa kalo sesak napas?"
"Ya, parah donk. Butuh segera napas buatan." Aziz manggut-manggut.
"Napas buatan?" Aku melongo. "Nanti, aku kasih napas kentut."
Mereka pun tertawa. Dan aku sebenarnya khawatir.
Perasaan apa ini? Seperti tercekik napas. Dia patah-patah masuk ke ruangan. Kami menoleh. Mataku semakin bulat. Tidak berkedip. Lupa bernapas. Laki-laki serba hitam itu datang, membawa parsel buah. Menaruhnya di atas meja.
Dia tidak menyapa kami. Hanya sekilas melirik, lalu pergi. Dia. Tetanggaku, pemilik gerbang tinggi. Yang kutemukannya di awal bulan Juni lalu, 2014. Dan kunamainya Rangga. Orang gagah. Dia membuatku gila tertawa sendirian. Seperti orang bodoh.
Natan tersenyum sinis. Bibirnya bergerak. Tampaknya dia membenci situasi ini, apalagi dengan kedatanganku beserta teman-teman kantor yang kata mereka ingin melihat orang gila yang ganteng dan kaya.
“Dia gila?” bisik Suci.
“Maybe yes,” jawabku berspekulasi.
“Coba tanya dia butuh apa.” Lila berkomentar. Yunita mengangguk mantap. Kami pun melihat Yunita.
“Jangan aku! Aku, kan, sudah menikah.” Yunita menolak polos.
“Ya, udah, Mba aja!” ujarku meminta Lila.
“Aku gak biasa sama cowok.”
"Anggap saja dia itu bukan cowok, tapi bencong," bisikku.
Lila pun geram. Aku menelan ludah.
Natan itu jenis manusia yang abnormal. Dia itu galak kayak macan bunting. Apalagi sama cewek. Sama semua orang, kecuali istrinya.
“Natan …,” panggilku gugup. Aku mengatur napas. Mengingat beberapa hari yang lalu aku mencoba membunuh bocah bau kencur ini.
Dia berbalik. Wajahnya amat jutek. Tapi, kutangkap sinar matanya sedikit berubah.
“Ada… yang… kamu… eh, mau… apa, ya?” Aku bingung. Apa dia mengerti maksudku?
Dia masih menatap tajam, “Butuh sesuatu?” tanyaku.
Dia hanya diam tak menjawab. Lalu memalingkan wajah. Dan mendengus kesal seperti ingin menggigit.
“Bagaimana ini?” Lila tampak kebingungan.
“Apanya?” Suci berkerut alis.
"Kita, kan, gak bisa 24 jam di sini."
“Kita tinggalin dia sendirian?” tanya Yunita khawatir.
“Kenapa, Yun? Kamu mau nemenin mas Natan?” goda Suci. “Ntar Mas Raya nyari yang baru lagi.”
Yunita pun merengut. Lila hanya geleng-geleng melihat kami.
“Tinggal, nih, berarti?” tanya Suci.
“Biarin! Tinggalin aja sendirian, biar dimakan kuntilanak,” jawabku kesal. Lila langsung menarik pipi tembemku. Aku berteriak.
“Kamu ini, gemesin ….”
“Sakit, Mba!” Aku menepisnya.
“Kasihan, dia gak punya siapa-siapa, keluarga? Atau teman, tetangga, gitu?” tanya Lila peduli.
“Dengan lagaknya yang songong, sih, menurutku, gak ada yang mau temenan sama dia,” jawabku ketus.
“Nyebut! Nariswari!” Lila agak membentakku.
“Kamu kayak dendam tujuh turunan sama dia.Ada apa, sih?” Suci bertanya penasaran.
“Habis aku dicuekin, dijutekin, disumpahi, malas banget.”
Maka, Natan pun ditinggal sendirian. Dia masih tidak mau berbicara dengan siapa pun. Mungkin kalau ada Mimi pasti dia akan bisa berlari kuda meski minum minyak tanah satu jerigen sekalipun. Aku tertawa.
Dari balik jendela yang tersingkap tirai, aku menatapnya. Dan—
Dia juga melirik ke arahku. Aku pun kabur. Aku yakin dia akan membongkar kejahatanku yang memaksanya minum minyak tanah!
***
“Dia? Sepupu Natan?” tanyaku syok. Laki-laki paruh baya bercelana pendek itu mengangguk lugu, sambil masih menggenggam tong sampah. “Namanya Juni?”
Aku menghela dada. Kenapa dunia ini seperti daun terong? Lalu rencana cemerlang itu pun datang. Kalau dia sepupu Natan, tentu dia akan sering datang menjenguknya seperti kemarin. Meski mereka keluarga aneh!
Tiba-tiba aku mempunyai semangat 45 untuk menjenguk Natan. Sehabis kerja aku ke rumah sakit, kata dokter, sebenarnya efek minyak tanah tidak begitu parah. Dua hari ini sudah bisa pulang. Hanya saja, mentalnya yang bermasalah. Dan dokter memberiku tugas untuk menghibur laki-laki aneh itu. Dan aku tahu, satu-satu
obatnya adalah Mimi.
Di mana aku mencari Mimi dengan tidak mengeluarkan biaya transportasi yang tidak sesuai dengan rencana anggaran bulanan hidupku? Adakah Mimi di google? Apa nama akunnya?
Aku mengetuk kamar itu. Begitu sepi dan kosong, pasien itu hanya menatap langit-langit kamar, “Halo?” Aku mencoba tersenyum. Aku jamin senyum itu senyum terjelek yang pernah aku lakukan, karena terpaksa, kesal, dan takut.
Dia tak bergerak. Hanya sorotan matanya yang berpindah melirikku. Ya Allah aku takut, haruskah kupanggil Mba Lila untuk meruqyah laki-laki ini?
“Haus …,” ucapnya lirih.
Aku kaget. Patah-patah aku mendekati mejanya, lalu mengambilkannya gelas dengan sedotan berwarna putih. Oh, Juni kamu ke mana?
“Ini air?”
Aku mengangguk. Dia melirik penuh selidik. Seperti tidak percaya. Dia pasti kira aku akan meracuninya lagi dengan minyak tanah.
“Ini beneran air minum!” jawabku tegas. Aku lalu meminumnya. “Lihat! Aku masih survive.”
Dia hanya terdiam getir. Kami lama terdiam. Aku bukan anak psikologi yang mengerti cara memperlakukan orang stres. Aku hanya anak teknik, buruh, pekerja kasar yang terjerumus di dunia website.
“Kalau saja ada yang bisa membantu… ya, setidaknya membawa Mimi ke sini—“
Kulirik bibirnya gemetar saat nama itu kusebut. Aku tersenyum.
“Mimi?”
Dia melirikku sedih. Tatapan itu membuatku tertekan. Aku berpaling, “Kamu harus sembuh demi Mimi.” Itu kata-kata motivasi pertama yang baru kali ini kuucapkan selama hidup.
“Demi Mimi, kamu harus sembuh!” Aku tersenyum lagi. Mengepalkan tangan. Sorot mata itu lagi-lagi berubah.
***
“Mikhayla Calista.”
“Apa?”
“Mikhayla Calista namanya,” sahut Natan lirih.
“Mimi?” tanyaku. Aku tersenyum. “Cantik sekali namanya.” Aku pun merengut. “Huh, beda banget sama namaku, Nariswari Ola, nama yang aneh.”
“Siapa?”
“Siapa apa?” tanyaku.
“Kamu!”
“Aku?” Aku tertegun. “Dasar! Kita setengah tahun lebih bertetangga, kamu gak tahu namaku?” Kulirik dia tampak dongkol. Emang aku siapa? Artis, bukan! Cuman anak kos-kosan pojok. Aku tertawa. Wajar, sih, dia juga tidak tahu, sepanjang waktunya dihabiskan untuk stres. “Aku Nariswari.” Sambil menjulurkan tangan. Kukira dia
akan sok keren mengabaikannya, tapi dugaanku salah.
“Dia cantik ….”
“Iya-iya aku tahu, sudah tiga kali kamu bilang begitu, kalau bilang sekali lagi, ntar dapat piring plastik. Lagian kalau jelek juga mana mungkin kamu nikahi.” Kelihatan dari bau-bau Natan, dia itu selera tinggi, kecuali kalau dia gila, menikahi gadis buruk rupa!
Bibirnya bergerak. Aku tidak bisa mengartikan bahasa kalbunya, terlalu sulit! Apakah itu lucu, atau dia sedih. Selama Mimi tidak di sisinya, dia tidak akan pernah bahagia. Dan aku akan terpenjara di sini karena merasa bersalah. Susah memang, kalau menggantung harapan kepada manusia, apalagi manusia plin-plan. Betul kata Mba Lila!
Lalu pintu itu terbuka, laki-laki berjaket hitam kusut itu masuk. Lagi-lagi membawa parsel buah. Dia. Dia adalah Juni. Aku tiba-tiba tersenyum menatapnya cerah. Seperti sahabat lama yang bertahun-tahun tak berjumpa. Dan aku sadar saat Natan terbatuk.
Kukira Juni setelah menaruh buah itu akan pergi seperti kemarin. Dia pun duduk di samping Natan. Poninya yang panjang menutupi mata minimalisnya. Aku ingin menyapanya, tapi. Aku tak punya ide akan membahas apa.
“Kalau sudah sembuh langsung pulang saja.”
“Jangan ikut campur!” Natan berkomentar galak.
“Papamu akan mengirim dokter pribadi,” balas Juni dingin. Mereka pun bersitatap tajam, penuh kebencian.
Aku memandang mereka. Mereka tidak terlihat seperti kerabat. Kalau sehat, mungkin akan ada acara smeckdown di ruangan ini.
Dan ini pertamakalinya aku mendengar suara Juni. Suara itu serak dan dingin, dia yang selalu tampak cool. Padahal kota ini panas, tapi dia selalu mengenakan jaket kusut, sikapnya juga dingin seperti suaranya.
"Tipe gue bangettt," desisku lirih bersemu. Senyum-senyum tidak jelas, memunggungi mereka kayak orang gila.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!