Cinta Kedua Suamiku
Ibu baru saja meninggalkan rumah. Aku masih bisa memandang punggungnya masuk kedalam mobil yang menanti di halaman. Masih terngiang di telingaku apa yang ibu sampaikan tadi.
"Kamu sama Nehan sudah menikah selama 8 tahun Rum, itu bukan waktu yang sebentar."
"Mana usahamu untuk bisa punya momongan?"
"Bapak sama ibu sudah tua, pastinya kami ingin ada penerus keluarga."
" Siapa yang akan meneruskan semua usaha bapak dan suamimu kalau kalian tidak memiliki keturunan."
Aku mendengarkan tanpa bersuara, karena aku faham benar ketika aku menjawab, aku hanya akan menjadi seorang menantu yang kurang ajar.
"Kamu jangan diam saja, jawab pertanyaan ibu!"
"Setahuku selama ini aku tidak memiliki menantu bisu."
Aku berusaha tersenyum, "kami sudah berusaha mengikuti program hamil Bu."
"Kalau perlu ikut bayi tabung Rum."
"Kalau program hamil yang biasa belum tentu jadi," wajah ibu mulai menunjukkan rasa kesal.
"Tapi Mas Nehan ingin yang alami Bu."
"Ah, kamu, bawa-bawa nama suami, kalau kamu yang minta, Nehan pasti mau mengikuti maumu."
"Kamu nya saja yang kurang mau berusaha."
"Tapi, Bu..."
"Sudah, kamu kalau diberi kesempatan untuk menjawab jadi kurang ajar!"
Aku menarik nafas, cangkir teh yang aku pegang terasa makin panas. Harusnya sekarang sudah dingin, tapi ini lebih panas dari sebelumnya.
Ibu mengambil tasnya yang tergantung di kursi, merapikan kebayanya dan mengatakan sesuatu sebelum melangkah pergi.
"Aku akan menemui Nehan, kamu siapkan dirimu, apapun nanti yang aku putuskan, kamu hanya perlu menurut."
Aku mengangguk sambil tersenyum dan meraih tangan ibu untuk kucium.
"Sedang memikirkan kalimat ndoro sepuh, ndoro putri?" suara mbok Nah membuyarkan lamunanku. Mbok Nah adalah seorang abdi yang sudah mengikuti keluarga suamiku bertahun-tahun, bahkan Mbok Nah lah yang merawat suamiku waktu kecil.
"Sedikit Mbok," kalimat ibu yang terakhir tadi membuat hatiku khawatir.
"Ndoro sepuh memang seperti itu, jangan dipikirkan," Mbok Nah membersihkan dua cangkir teh yang ada diatas meja.
"Tehnya masih panas ya mbok?"
"Ah, tidak kok ndoro putri, tehnya sudah dingin," tapi kenapa tadi waktu aku bicara dengan ibu teh itu tidak mau dingin. Kalau dia dingin, paling tidak dia akan bisa mendinginkan hatiku.
"Ya sudah mbok, tolong bersihkan ya."
"Baik, ndoro putri."
Aku membawa kakiku menuju kebun mawar di halaman belakang. Aku sangat suka mawar, indah karena memiliki banyak warna, tapi memang harus hati-hati karena mawar adalah jenis bunga yang memiliki duri.
Mbok Nah mengikutiku ke kebun belakang setelah selesai membersihkan meja ruang tengah tempat aku dan ibu tadi berbincang.
"Sudah selesai mbok membersihkan mejanya?"
"Kalau sudah, tolong ambilkan saya gunting yang ada di meja di sana itu," ditengah kebun ada sebuah meja dan dua buah bangku dengan posisi berhadapan yang biasanya digunakan untuk istirahat setelah lelah merawat kebun.
"Ini ndoro putri," sebuah gunting diulurkan kepadaku.
"Apa tidak sebaiknya si Jono saja yang melanjutkan, jangan terlalu capek ndoro putri," Mbok Nah memang seorang abdi yang selalu perhatian padaku. Dia bilang kalau dia sangat menyayangi Mas Han, karena Mas Han sangat mencintaiku, jadi Mbok Nah juga sangat menyayangiku.
"Tidak mbok, kali ini saya ingin melakukannya sendiri."
"Sambil mencari keringat."
Cara ini adalah satu-satunya cara yang aku tahu untuk mengurangi beban hatiku. Ibu yang selalu mendesak ku, sedangkan Mas Han selalu menolak permintaanku dengan alasan tidak tega melihatku menanggung sakit. Entah siapa yang bilang kalau program bayi tabung itu menyakitkan, aku sendiri tidak tahu.
Padahal kami sudah melakukan semua cara, termasuk juga mencari pengobatan alternatif yang katanya manjur dan bisa membuat seseorang dengan mudahnya hamil. Tapi entah mengapa itu tidak berguna bagi kami berdua.
Karena kegalauan hatiku, aku putuskan untuk mendatangi kantor Mas Han, satu hal yang selama ini belum pernah aku lakukan.
Aku meninggalkan kebun bunga menuju kamar, setelah menutup pintu, aku lepaskan pakaianku sambil berjalan menuju kamar mandi. Tubuh polosku memantul indah pada sebuah kaca besar di kamar mandi.
Ah, tubuhku masih tetap sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Setiap kali kami bercinta, Mas Han selalu membisikkan kata, "kamu selalu cantik Rum, tubuhmu sama sekali tak berubah, tetap sama seperti dulu."
Aku tersenyum, tapi sebentar kemudian senyumku menghilang. Kenapa tubuhku tetap sama? Aku ingin seperti wanita yang lain setelah menikah. Aku ingin ada selulit di perutku, aku ingin tubuhku menjadi lebih gemuk, atau ukuran cup behaku berubah menjadi lebih besar, karena itu menandakan kalau aku pernah hamil.
Dalam hati aku berteriak, wahai para wanita jangan keluhkan tubuhmu yang banyak berubah, karena aku iri pada kalian. Lihatlah tubuhku yang tetap langsing dan mulus, aku benci itu, karena aku menginginkan tawa bayi atau celoteh balita dalam rumahku.
Ada setitik air mata mengalir di sudut-sudut mataku. Tapi kemudian aku menarik diriku kembali ke dunia nyata, aku harus kuat, air mataku hanya boleh mengalir untuk sesuatu yang penting.
Aku berdiri di bawah shower, membiarkan air mengalir menghapus air mata yang tadi sempat tumpah. Setelah mandi badanku menjadi segar dan hatiku lebih tenang. Mbok Nah berdiri menungguku di depan kamar mandi.
"Mau pakai baju apa ndoro putri?"
Mataku melirik sekilas ke arah ruang ganti yang terbuka. Ada banyak baju, aksesoris dan sepatu berjajar rapi.
"Pilihkan saya pakaian apa saja dengan warna hitam putih mbok."
"Saya ingin tampil dengan kesan rapi dan tidak terlalu mencolok."
"Karena hari ini pertama kali saya mendatangi kantor Mas Han."
Mbok Nah tersenyum, dia masuk dan memilihkan ku pakaian yang sesuai lengkap dengan aksesoris dan sepatu.
"Monggo Ndoro Putri, semua sudah saya siapkan."
"Terimakasih mbok," aku melihat pilihan pakaian dari Mbok Nah tidak terlalu buruk.
"Seleramu bagus juga mbok," godaku.
"Wo alah, ndoro putri ini bercanda, saya hanya suka melirik teman-temannya ndoro sepuh yang kadang suka diajak kemari."
"Oh, iya benar," jawabku sambil tertawa.
"Seharusnya ndoro putri memilih sendiri pakaian yang mau dipakai."
"Tidak, ini saja, sudah sesuai kok, untuk saya pakai ke kantor Mas Han."
"Sekarang Mbok Nah keluar, beri tahu Pak Dul untuk menyiapkan mobil, ya," pintaku kepada perempuan sepuh yang setia itu.
"Baik ndoro putri."
Aku memakai baju yang disediakan mbok Nah lengkap dengan aksesorisnya. Sebuah tas tangan sedang dan sebuah sepatu tanpa hak warna silver juga sudah siap. Rambutku aku Gelung rendah. Semoga dandananku ini sesuai dan tidak memalukan.
Pak Dul menunggu di sisi pintu mobil yang sudah terbuka ketika aku keluar. Dia adalah sopir serba bisa yang disediakan Mas Han khusus untuk mengantarku kemana-mana, padahal dia sendiri tidak mau menggunakan jasa sopir.
"Sudah siap ndoro putri?" tanya Pak Dul sopan sekali.
"Iya, mari pak, kita ke kantor bapak ya."
"Siap ndoro putri, serahkan semuanya pada saya," ucap Pak Dul menutup pintu setelah aku duduk di bangku belakang.
"Biasanya sedikit macet ndoro putri," ucap Pak Dul ketika mobil mulai melaju perlahan.
"Iya, saya tahu."
"Kita santai saja, pak. Tidak perlu terburu-buru," aku tak ingin perjalanan siang ini tergesa, biarkan aku menikmati pemandangan jalanan kota di siang hari, pemandangan yang sudah lama tidak kulihat.
Selama perjalanan, Pak Dul banyak bercerita, sesekali dia melihat kaca spion untuk melihatku yang duduk di belakang. Bagaimana suasana kantor, nanti siapa yang harus kutanya. Aku tersenyum dan mengiyakan semua yang disampaikan lelaki tengah baya itu, meskipun aku faham betul bagaimana harus bersikap nanti di kantor suamiku.
Ternyata kantor suamiku banyak berubah, sekarang gedungnya lebih megah dan modern. Dulu waktu kami awal menikah aku pernah datang beberapa kali, tapi setelah itu aku lebih senang diam di rumah sambil mengurus mawar-mawarku. Untuk menghadiri agenda kantor pun tidak selalu aku sanggupi, aku akan hadir pada acara yang sangat penting saja.
Aku langsung menuju resepsionis dan menanyakan dimana kantor Mas Han, suamiku. Dari situ aku tahu kalau Mas Han sekarang menempati lantai 13. Aku sampaikan kalau aku adalah istrinya dan ingin memberi kejutan, jadi petugas resepsionis aku minta untuk tidak menghubungi Mas Han.
Sampai di lantai yang aku tuju, ternyata hanya ada satu ruangan saja. Di pintunya juga tertulis angka 13, apa-apaan suamiku ini, sikapnya yang memilih lantai tiga belas menjadi lantai tertinggi dan angka 13 yang menempel di pintu membuat kepalaku mengembang dan telingaku menjadi panas, tahu kenapa? karena tiga belas adalah tanggal kelahiran ku.
Aku memacu langkahku lebih cepat, tidak sabar untuk memberinya sebuah kejutan. Ketika aku akan mengetuk pintu, tanganku kutarik kembali karena mendengar suara ibu dan Mas Han sedang berdebat di dalam.
"Kami sudah melakukan semuanya Bu."
"Mulai medis sampai alternatif, bahkan Nehan mendatangi orang pintar yang katanya bisa memudahkan seseorang punya keturunan."
"Kita hanya harus menunggu Bu, sabar."
"Dokter bilang kami sehat kok, tidak ada yang salah dengan kami berdua."
"Ibu tidak mau tahu Han."
"Kamu harus segera punya anak, kalau tidak, ibu akan mencari cara lain agar kamu punya anak."
"Cara apa lagi yang ibu maksud?" aku dengar suara Mas Han bernada ingin membantah ibunya.
"Aku akan Carikan kamu perempuan yang bisa mengandung anakmu."
Tubuhku kaku, kakiku gemetar, tanganku bahkan tidak bisa ku gerakkan. Aku diam mematung, tanpa tahu harus bagaimana. Otakku rasanya mati. Tuhan...apa yang harus aku lakukan sekarang? teriakku dalam hati.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Andhini Putri Arinta
q hanya bisa menahan napas
2022-02-06
1
Uthie
Baru mampir 👍❤️
2022-01-22
1
Sulati Cus
ibu mertua jgn terlalu mencampuri urusan rt anak sm menantu g baik loh bumer
2022-01-11
1