"Sini kamu, dilihat...kalau ada hidangan yang habis, di depan, kamu bilang ke orang dapur biar ditambah."
"Jangan hanya diam, orang suami nikah kok, santai ngobrol."
"Injih Bu," jawabku tanpa membantah.
Aku segera ke depan melihat apakah ada hidangan yang habis atau kurang. Sambil berkeliling, sekali-sekali menyapa tamu yang semuanya masih kerabat Mas Han.
"Yang kuat ya Rum," setiap kali mendengar kalimat itu, aku akan mengangguk. Meskipun sebenarnya kalimat itu malah membuat aku merasa terpuruk, dan aku tak suka dikasihani.
Suami dan maduku menyapa satu persatu tamu yang ada. Ketika melihatku dalam ruangan, Mas Han menunjukkan ekspresi bahagia.
Beberapa kali aku melihat dia berusaha melepaskan tangannya dari pelukan tangan Sekar tapi gagal. Aku jadi ingin tertawa melihat wajahnya yang berubah kesal.
Karena lelah, aku duduk di salah satu kursi tamu sambil beristirahat. Ternyata tidak mudah menjadi petugas katering, padahal kelihatannya tugasnya ringan hanya mengecek dan mengisi ulang makanan.
Satu per satu para tamu mulai mengundurkan diri, tinggal keluarga inti. Aku pikir ibu akan tetap memintaku untuk membantu urusan dapur, tapi ternyata aku salah. Ibu berbaik hati memintaku untuk istirahat.
Aku masuk kamar yang biasanya aku dan Mas Han tempati ketika menginap. Mandi, mengganti baju terus rebahan pasti akan membuat badanku kembali segar.
"Rum," baru akan masuk kamar mandi, tanpa mengetuk pintu, ibu sudah ada dalam kamar.
"Ibu, saya mau mandi dulu."
"Kamu jangan berharap Nehan akan masuk kamar ini."
Hatiku serasa jatuh, sehari ini entah berapa kali hatiku jatuh.
"Terus, ibu minta kamu segera pulang, tidak perlu pamit sama Nehan. Biar Nehan nginap disini beberapa hari."
Aku yang akan masuk ke kamar mandi jadi mematung di depan pintu, "ah...iya Bu."
"Ya sudah, ganti baju wae, ora usah adus, langsung mulih."
(Ya sudah, ganti baju saja, tidak perlu mandi, langsung pulang).
Hah...ibu?
Inginnya membantah, tapi yang keluar dari bibirku adalah, "Injih ibu."
Aku mengurungkan rencanaku, aku tidak menemukan dimana keberadaan Mas Han. Aku ambil tas kecil berisi dompet dan identitas diri, ganti baju pun tidak kulakukan. Pikiranku hanya satu, segera pulang sebelum ketahuan Mas Han.
Sampai di depan rumah, ternyata Pak Dul sudah siap di sisi mobil dengan pintu terbuka. Semuanya tertata rapi. Segera setelah aku masuk mobil, Pak Dul memacu mobil menuju rumah.
Aku tidak perlu berakting lagi. Dalam mobil aku menangis sepuasnya. Aku membuang semua rasa malu. Lagi pula Pak Dul dan Mbok Nah adalah dua orang yang selalu bersikap seperti ayah dan ibuku sendiri.
Pak Dul mengangsurkan sapu tangan untukku, "terimakasih pak, maafkan saya,"
Aku sesenggukan di bangku belakang. Sampai beberapa menit kemudian aku mulai bisa mengendalikan tangisku.
"Ndoro putri harus kuat," suara Pak Dul berusaha menghiburku.
Aku tak mampu menjawab, aku hanya mengangguk sedangkan Pak Dul melihatku dari kaca spion.
"Ndoro putri bebas nangis sampai lega. Jangan ditahan."
Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
"Pak Dul, nanti kita pulang sebentar, saya akan mengambil beberapa baju, kemudian kita berangkat lagi."
"Baik Ndoro Putri."
"Pak Dul nanti langsung istirahat dulu, kita akan melakukan perjalanan agak jauh, Pak."
"Sejauh apa Ndoro Putri, apakah kita akan luar kota?"
"Saya ingin pulang ke rumah ibu, Pak."
"Saya bisa melakukan perjalanan selama 4 jam kedepan Ndoro Putri, jadi kita langsung berangkat saja."
"Saya mau meminta sesuatu dari bapak, boleh?" tanyaku hati-hati, tak ada satu orang pun yang boleh tahu aku akan berada dimana.
"Sampaikan saja Ndoro Putri," mobil memasuki gerbang rumah, nanti saja aku minta ketika dalam perjalanan ke rumah ibu, rumah dimana aku dibesarkan. Aku harap mendapat ketenangan disana.
"Nanti saja pak," aku turun, melangkah cepat masuk kamar.
Membuka almari, mengeluarkan tas agak besar, mengambil beberapa baju harian yang nyaman untuk aku jadikan ganti selama disana. Kebutuhan harian bisa kupenuhi nanti. membawa beberapa jenis pelembab untuk wajah dan kulit, sudah.
Setelah menyiapkan apa yang perlu kubawa, aku baru masuk kamar mandi. Mandi cepat saja kemudian ganti dengan baju yang nyaman.
Kusahut tas yang tadi kusiapkan, setengah berlari aku menuju mobil yang menunggu di depan. Tanpa banyak tanya Pak Dul melajukan mobilnya.
Mobil melaju perlahan. aku menghadap belakang memandang rumah yang selama ini kutempati bersama Mas Han mengecil, menjauh akhirnya hilang dari pandangan.
Baru kemudian aku menghadap depan, menata hati dan mental ketika nanti aku bertemu lagi dengan mas Han.
"Pak Dul..."
"Iya Ndoro Putri, ada yang bisa saya bantu?"
"Pak Dul, saya punya permintaan," laki-laki setengah baya itu diam, tapi aku tahu dia mendengarku dengan baik.
"Jangan bilang pada siapapun kemana kita pergi hari ini."
"Nanti, tolong sampaikan ke mbok Nah, kalau dia tak perlu khawatir, saya akan baik-baik saja."
"Baik Ndoro Putri."
"Bagaimana kalau Ndoro Kakung yang bertanya?"
"Jangan menjawab apapun kalau Mas Han bertanya, dia tahu kemana dia harus menghubungi saya."
"Baik Ndoro Putri."
Sekarang baru hatiku sedikit tenang. Aku tidak tahu apa rencana ibu untuk Mas Han dan Sekar. Tadi waktu ibu bilang aku tak perlu menunggu mas Han pulang, pasti ibu memiliki rencana buat mereka berdua.
Baru beberapa menit perjalanan, mataku mulai terasa mengantuk. Kombinasi goyangan perjalanan dan hembusan angin dari jendela mobil yang terbuka seperti sebuah buaian sebelum tidur. Aku ingin angin membawa himpitan dalam hatiku pergi.
Aku sudah merindukanmu mas. Seperti senja yang selalu menanti mentari untuk pulang. Atau seperti malam yang menunggu rembulan menghadiahkan cahayanya meskipun cahaya itu bukanlah miliknya sendiri, aku ingin kamu ada disini.
Aku membuka mata ketika kurasakan mobil tak lagi bergerak. Rumahku ada di depan mata, tempat ibu yang melahirkan ku menungguku untuk pulang.
"Silahkan turun Ndoro Putri, kita sudah sampai."
"Iya, saya tahu pak," aku tersenyum. Berdiri disini, di depan rumah tempat aku dibesarkan, tempat aku menghabiskan hampir seluruh hidupku bersama ibuku.
Dari arah pintu pagar kayu yang hanya setinggi pinggang, aku bisa melihat ibu yang sedang menjahit. Aku melihat jam tangan, hampir menunjukkan pukul delapan malam, mengapa ibu masih menjahit jam segini.
"Pak Dul pulang besok pagi-pagi saja ya," kasihan kalau pulang sekarang, hari sudah menjelang malam. Penglihatan lelaki setengah baya seperti Pak Dul pasti tidak seakurat dulu.
"Baik Ndoro."
Pak Dul mengeluarkan tasku yang ada dalam bagasi mobil. Tas yang isinya tak seberapa, hanya beberapa helai baju saja.
"Silahkan Ndoro Putri."
Aku berjalan lebih dulu kemudian membiarkan Pak Dul menutup pintu pagar. Ketika terdengar bunyi berderit dari engsel yang bergerak, ibu segera melihat kearah asal suara dimana kami berjalan.
Kacamata yang sebelumnya dipakai dengan benar, sekarang diturunkan agak menggantung ke bawah karena kacamata itu adalah kacamata baca.
"Rumi..." teriakan ibu membuat air mataku hampir jatuh lagi.
"Ibu," aku berlari bersimpuh di bawah kaki ibu yang duduk di kursi jahit.
"Hai...kamu kenapa?" aku tak mau mengangkat kepala, tidak, sampai air mata yang hampir jatuh bisa kembali kukendalikan.
Ibu terus berusaha mengangkat kepalaku yang rebah di pangkuannya. Ketika aku membiarkan ibu berhasil mengangkat kepalaku, senyum lebar sudah hadir menghias wajahku.
"Aku kira kamu kenapa?!" seru ibu sambil memukul bahuku, "ibu sudah mikir yang tidak-tidak tadi."
Aku melihat Pak Dul yang berdiri di belakangku, memberi sebuah kedipan mata, "tolong tasnya masukkan dan diletakkan di kamar ya pak, terimakasih," ucapku.
"Pak Dul mau tidur sini juga Rum?" bisik ibu padaku.
"Iya, biar besok saja pulangnya."
Ibu meletakkan kacamatanya diatas mesin jahit, menuntunku menuju meja tamu yang terbuat dari kayu.
"Kamu datang kok ndak ngabari toh," tanya ibu.
"Mau bikin surprise buat ibu."
"Halah surprise, ngabari saja loh ibu pasti tetap akan terkejut, soalnya kamu susah pulang kesini."
"Jangan bicara seperti itu, Bu," aku memeluk ibu dan menciumi pipinya, "aku juga kangen tahu Bu, makanya sekarang pulang."
"Iya, tapi nggak biasanya si Han mau melepasmu pergi sendiri begini."
"Dia lagi sibuk," aku berdiri berusaha menghindari tatapan ibu.
"Mbakyu, saya boleh ikut mandi toh?" tiba-tiba Pak Dul berdiri di depan pintu kamar yang letaknya dibelakang ruang tamu.
"Boleh, Monggo. Kalau mau istirahat bisa tidur di kamar yang belakang sendiri pak."
"Aku mau ganti dulu ya Bu," aku berjalan ke kamar, ternyata ibu masih mengekor di belakangku, "ngapain ibu ngikutin terus?" tanyaku sambil tertawa.
"Kangen, berapa hari kamu mau tinggal disini? kok bawaanmu banyak?"
"Hanya beberapa hari, Bu."
"Hanya beberapa hari, Rum? Beberapa hari?" ulang ibu lagi, "Rum, kamu sama Han baik-baik saja kan?"
Aku memandang ibu dalam diam, apa yang harus kukatakan Bu?
...***...
Rum...
Seorang ibu itu pasti peka jika berhubungan dengan anaknya.
Belum tentu rencana kebohonganmu nanti sukses mengelabuhi ibu.
Terimakasih buat kalian yang sudi untuk membaca ya, ini tulisan dari author yang baru brojol.
I lope U all
Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan YME ya... aamiin
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Uthie
lanjut baca 💪💪💪
2022-01-22
1
💕Damian&Ainsley 💕
next.. semangat ka thoorr ❤️
2021-12-09
1