Ibu terus saja mengekor di belakangku. Aku yang mondar-mandir antara almari dan kasur tempat tasku tergeletak, ibu juga ikut melakukan hal yang sama. Lama-lama aku jadi ingin tertawa.
"Hehe...ibu kenapa mbuntut terus dibelakangku, sih?" aku hampir tergelak melihat tingkah ibu yang lucu.
"Aku curiga Rum, pasti ada yang tidak beres antara kamu sama Han. Iya kan? Rum...jawab ibu."
"Hahaha...," aku mengambil tangan ibu dan mengajaknya duduk di pinggir tempat tidur.
Kupegang erat tangan ibuku, aku pandang ibuku hangat. Ada rasa bersalah terselip, begitu jarang aku pulang untuk menjenguk ibu yang hidup sendiri disini.
"Bu...Rumi dan Mas Han baik-baik saja. Tidak ada masalah diantara kami."
"Apa Han menyakitimu?"
Ah...ibu, betapa ingin aku memiliki anak dan menjadi seorang ibu sepertimu.
"Rumi bahagia Bu, Mas Han memperlakukan Rumi dengan baik, percaya sama Rumi ya...kami baik-baik saja."
"Kamu tidak bohong kan?"
Aku menggeleng, ibu aku peluk erat, " Rumi tidak bohong Bu, Rumi baik-baik saja."
"Kamu harus bahagia Rum. Kamu terlalu lama susah, maafkan ibu yang tidak bisa membahagiakanmu."
"Ibu jangan bilang seperti itu, saat-saat yang paling membuat Rumi bahagia adalah waktu bersama ibu dan waktu menikah dengan Mas Han."
"Maaf mbak yu, mengganggu," suara Pak Dul tiba-tiba terdengar, kami jadi teralihkan dan melihat Pak Dul yang sedang berdiri di pintu, "boleh saya pinjam baju, saya tidak membawa baju ganti, hehehe..."
"Pak Dul paling bisa merusak suasana haru," sahutku hampir tergelak, suasana yang tadi membuat terhanyut berubah seratus delapan puluh derajat karena ulah Pak Dul.
"Boleh...boleh, kebetulan baju-baju ayahnya Rumi masih ada, sepertinya juga ukurannya hampir sama."
"Wah, mbakyu masih ingat ukuran badannya suami ya."
Ibu yang berjalan di depan Pak Dul berhenti, memutar badan kemudian berkacak pinggang, "ya tentulah saya ingat, dia itu laki-laki satu-satunya dalam hidup saya," kemudian dengan santai berlalu masuk kamar.
Aku tertawa geli, ada-ada saja ibu, aku pikir tersinggung karena perkataan Pak Dul. Aku yakin Pak Dul tadi sudah menahan napas karena takut kena damprat.
Sambil menoleh padaku, Pak Dul berkata, "saya sampai kaget ndoro Putri, saya pikir ibunya tadi mau marah," aku menggeleng dan tertawa melihat Pak Dul mengelus dadanya berkali-kali.
"Nah ini," ibu keluar dari kamarnya sambil membawa sepasang baju milik ayah, atasan dan sarung.
"Maaf mbak yu, kalau ini bisa saya terima," Pak Dul mengambil Hem yang dibawa ibu, "kalau sarungnya, saya sungkan mau pakai, khawatir nanti ada orang salah mengira."
"Halah siapa yang tahu, sudah pakai saja," ibu meletakkan sarung diatas Hem yang sudah berada di tangan Pak Dul.
"Pakai saja, Pak. Asal jangan dibuat jalan-jalan," ucapku.
"Iya Ndoro Putri, saya akan langsung masuk kamar dan istirahat."
"Ngomong-ngomong, ini sudah berapa tahun tidak dicuci ya mbak yu?" lah Pak Dul cari perkara, tapi dari mimik wajahnya aku yakin tujuannya adalah menggoda ibu dan memancingnya untuk marah.
Ibu yang tadi akan berjalan menuju dapur mengurungkan niatnya, dengan cepat mengambil baju yang ada diatas tangan Pak Dul dan akan membawanya lagi.
"Ya sudah, ndak usah ganti, repot amat," menggerutu sambil menekuk muka.
"Maaf mbak yu hanya bercanda," Pak Dul bergegas mengambil baju yang ada di tangan ibu dan berlari masuk kamar.
"Rum, kamu tunggu di kamar, biar istirahat kalian enak, ibu mau membuat sesuatu."
"Iya, ibu jangan capek-capek."
"Ndak lah, capek apa."
Aku masuk kamar, membongkar tas dan melanjutkan menatanya dalam almari. Baju-baju lamaku masih ada, tidak ada satu pun yang berubah. Ukuran badanku juga masih sama, jadi aku tidak menyesal membawa sedikit baju. Mau berapa lama pun aku menginap tidak menjadi masalah.
Setelah semua rapi, aku baru melihat ponsel. Ternyata baterainya mati, entah sudah berapa lama. Aku ingat sejak semalam aku lupa tidak mengisi baterai ponselku. Aku pasang charger tanpa menghidupkannya. Untuk malam ini aku akan membiarkan ponselku mati, aku tidak mau diganggu.
Ibu ternyata merawat kamarku dengan baik, setelah semua barang yang aku bawa sudah ditempatnya aku bisa langsung merebahkan tubuhku.
"Jangan tidur dulu, ibu masih kangen," cepet banget ibu sudah ada disini lagi sambil membawa teh dan kudapan yang diletakkan diatas piring.
"Ini dimakan, tehnya hangat, kita ghibah dulu, ayo," ibu menepuk pantatku keras.
"Ibu, Rumi capek pengen tidur," mataku yang Watt nya hampir habis jadi terbuka lagi.
"Geser," ibu menyorongkan tubuhnya dan ikut tidur di sisiku.
"Katanya disuruh minum teh hangat, sayang juga itu lumpia dibiarkan diatas piring," aku yang hampir duduk jadi sulit buat bangun.
"Katanya ngantuk?"
"Nggak jadi, habis ibu pukul pantat aku keras banget."
Aku turun, duduk di depan meja rias dan menyeruput teh hangat buatan ibu, rasanya luar biasa, "aku disini seminggu bisa kena diabet Bu."
"Ndak akan, ibu membuatnya dengan kasih sayang, ndak bakal jadi penyakit."
"Bagaimana kehidupanmu di rumah suamimu, apa kamu bahagia, apa Han menuruti semua maumu, apa tata rumah kamu yang mengatur?"
Tidak ibu, aku hanya menempati, semua pengaturan disamakan dengan rumah orang tua Mas Han. Aku tidak diperbolehkan mengubah apapun di rumah itu.
"Iya Bu, semua Rumi yang atur," tapi aku tidak akan menceritakannya pada ibu. Aku ingin ibu menganggap aku adalah ratu di rumahku.
"Walah, ndah niyo senenge ayahmu Rum, nek kowe seneng, ibu melu seneng, ayahmu mestine yo melu seneng neng kono."
(Walah, senengnya kalau ayahmu tahu Rum, kalau kamu senang, ibu ikut senang, ayahmu pastinya juga ikut senang disana)
"Jangan begitu Bu, Rumi nggak mau cerita kalau ibu terus melow karena ingat ayah. Ayah sudah senang di surga," melihat mata ibu yang berkaca-kaca membuat hatiku teriris.
"Kalau mertuamu baik ndak Rum?"
Aku menikmati lumpia buatan ibu, "kapan ibu membuat lumpia ini?"
"Tadi pagi, tadi sudah ibu goreng sebagian, sisanya ibu simpan di kulkas, digoreng kalau sedang ingin seperti sekarang ini," aku memang membelikan kulkas satu pintu untuk ibu sebelum menikah, aku tidak mau ibu susah sering ke pasar untuk membeli bahan makanan karena jarak pasar yang cukup jauh.
"Kamu belum menjawab pertanyaan ibu, Rum."
Mertuaku...bapak adalah ayah yang baik Bu, Rumi manyayangi bapak seperti Rumi sayang sama ayah. Kalau ibu, biarkan aku saja yang tahu bagaimana perlakuan ibu mertuaku padaku.
"Hmmm...bapak sama ibu baik, memperlakukan Rumi sebagaimana seharusnya seorang mertua memperlakukan anak menantunya."
Aku melirik ibu yang mimiknya sedikit berubah, "ibu jangan berpikir macam-macam ah, Rumi bahagia ibu, percaya pada Rumi."
"Kamu mau kemana lagi Rum?"
"Gosok gigi lah, gegara ibu bawa lumpia, Rumi jadi harus mengulang gosok gigi lagi," lebih baik menghindar, setelah gosok gigi langsung tidur Rum, lihatlah, ibu mulai curiga dengan semua jawabanmu.
"Ibu tidur saja dulu," teriakku sambil berlalu ke kamar mandi.
Ketika selesai menggosok gigi, aku berharap ibu sudah tidur, tapi ternyata mata ibu masih lebar, lebih lebar dari mataku malah.
"Sana naik, sudah lama kamu Ndak dikeloni ibu."
Aku bergegas naik, tidur di sisi dinding, kemudian ibu menyusul merebahkan diri dan memelukku dari belakang, "tidurlah Rum, ada ibu disini, ibu tahu kamu bahagia, tapi rasakan kebahagiaan yang berbeda selama disini ya, nak."
Aku memutar tubuh dan menghadap ibu, meringkuk dalam pelukannya. Berusaha menahan air mataku agar tidak membasahi dada ibuku. Menikmati gosokan punggung yang lama sekali tak lagi kurasakan. Rasanya aku ingin kembali menjadi gadis kecilmu seperti dulu Bu.
...***...
Hai kalian, pulanglah jika lelah dan masalah menderamu, pulanglah saat bahagia memenuhi hatimu.
Mungkin kalian memang telah menjadi dewasa.
Tapi pelukan hangat ibu tak mengukur kedewasaan atau besarnya tubuhmu.
Ibu akan selalu membuka lebar pelukannya setiap kali kalian datang.
Bersedia menerima dan berbagi beban sebesar apapun yang kau tanggung, meskipun hanya sebagai pendengar, atau penampung cerita duka lara dan bahagia.
Semoga kalian ingat untuk selalu mengunjungi orang tua kalian ya...
Terimakasih sudah bersedia mampir dan membaca novel ini.
Tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen, sebagai bentuk apresiasi kalian pada author amatir ini 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Uthie
kebahagiaan orang sederhana hanyalah 'kasih sayang' diantara anggota keluarga.... ❤️
2022-01-22
1