Tubuhku terpaku pada kursi yang kududuki, berusaha mengumpulkan semua rasa yang tadi berceceran. Aku berharap ibu tidak melihat perubahan raut wajahku. Sebentar tadi wajahku pasti berubah pucat. Aku melirik Mas Han, aku yakin dia sedang menahan amarahnya sekarang.
“Harinya sudah ibu tentukan, kamu tinggal membawa badanmu saja,” ucap ibu.
Mas Han sama denganku, dia mematung, genggaman tangannya makin erat. Matanya nyalang memandang ibu yang sama sekali tidak melihat ke arah kami.
“Dua minggu lagi kalian menikah,” lanjut ibu.
“Apa hak ibu mengatur hidup lelaki dewasa seperti saya?” aku kembali melirik suamiku. Aku akan diam, tidak akan mencegah jika suamiku akan meluapkan amarahnya kali ini.
“Kamu juga akan membantah keinginan ibu, Rum?” netra ibu memandangku tajam, padahal yang menjawab anaknya tapi wanita tua itu melihat padaku.
Kenapa dengan saya bu, saya tidak mengucapkan apa-apa kan?
“Maaf bu,” aku melirik gadis muda yang duduk di sebelah ibu. Dia duduk tenang, tanpa ada perubahan sikap yang berarti. Wajahnya datar, senyum juga tetap tersungging di wajah ayunya. Perempuan seperti apa kamu sekar?
Mas Han berdiri, tanganku yang digenggam erat olehnya membuatku mau tidak mau ikut mengangkat tubuhku, kami berdiri bersisihan, “apakah ibu selesai?”
“Kalau sudah, kami undur diri dulu.”
Mas Han menarikku masuk dalam kamar, “Han, jangan kurang ajar sama orang tua kamu!”
“Ingat, ibu tidak menerima kata tidak.”
Ketika pintu kamar berbunyi, “klik” dan menutup, aku masih bisa mendengar ibu berteriak, “han…ibu akan kemari lagi, kalau perlu ibu akan datang tiap hari.”
“Kamu harus membantuku, Rum,” Mas Han melepas tanganku dengan keras ketika tinggal kami berdua dalam kamar, "aku hanya ingin hidup denganmu, aku tidak mau ada perempuan lain dalam hidup kita, meskipun itu demi seorang anak.”
“Aku bisa apa mas, ibu yang minta, kamu dengar sendiri tadi.”
“Aku memang belum menjadi seorang ibu, tapi aku yakin tujuan ibu pasti baik, nggak mungkin seorang ibu akan menjerumuskan anaknya.”
“Nah…kamu sendiri bilang, kamu belum menjadi ibu, bagaimana kamu bisa bilang kamu tahu apa yang dirasakan ibu sekarang ini, hah…!”
“Jangan sok tahu kamu, Rum!”
Kalimat mas Han membuat hatiku tambah hancur, tanpa diingatkan aku tahu aku belum menjadi seorang ibu. Buat apa dia menyebutkan kata-kata itu? Aku memutar kakiku dan melangkah keluar, “Rum, maafkan aku…,”
Mas Han menahan langkahku, tangannya menarik tanganku dari belakang. Aku balik badan, melepaskan tangan Mas Han perlahan, meskipun aku melihat sinar luka di matanya, aku tak mengurungkan niatku untuk berjalan keluar kamar.
Samar-samar aku mendengar Lek Broto, ibu dan Sekar saling berbicara, tapi aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu ataupun mencuri dengar, buat apa?!
Aku mambawa kakiku menuju dapur, mengambil sekantung teh celup dan membuat teh hangat yang sengaja aku buat manis untuk menenangkan hati, kata orang minum atau makan sesuatu yang manis bisa membuat mood membaik.
"Ndoro putri kenapa duduk disini sendiri?" suara Mbok Nah membuyarkan lamunanku, entah sudah berapa lama dia berdiri di sebelahku.
"Ndoro sepuh masih di ruang tengah lo, nanti ndoro putri kena salah lagi karena ada orang tua tapi tidak mau menemani."
Aku menghela nafas, "sedang malas mbok, kadang saya merasa saya lebih cocok duduk di sini dari pada di ruang tengah atau ruang tamu."
"Hus...ndoro putri itu istri dari pemilik rumah ini, jangan suka bicara seperti itu nanti ndoro Kakung nesu."
Aku letakkan cangkir teh yang tadi kupegang di atas meja, bahkan cangkir teh ini rasanya berat, "mbok, bagaimana rasanya punya anak?" tanyaku tersenyum, padahal aku tahu kalau mbok nah tidak menikah.
"Hihihi...ndoro ini guyon, apa piye toh, lah saya mana tahu, orang saya juga tidak punya anak, menikah saja belum, padahal usia sudah setengah abad lebih," ada nada pilu terselip dalam suara mbok Nah.
"Makanya saya tanya nya sama mbok Nah, biar saya tidak merasa terpuruk, karena kita sama," balasku sambil tertawa kecil.
"Tapi saya punya anak lo ndoro putri, paling tidak seseorang yang saya anggap seperti anak saya sendiri."
Aku mengerutkan alis, "memang mbok Nah pernah mengangkat seorang anak, sekarang dimana anaknya?" cecarku karena penasaran.
"Orang yang saya anggap seperti anak sendiri ya ndoro Kakung, saya sudah merawat ndoro Kakung mulai bayi lo ndoro putri," aku tersenyum, benar juga, si mbok yang merawat bukan ibu.
"Terimakasih ya mbok," ucapku.
"Loh, terimakasih buat apa, ndoro putri?"
"Karena sudah merawat Mas Han dan mendidiknya menjadi laki-laki yang baik," ucapku, entah apa yang terjadi kalau Mas Han dididik oleh ibu.
"Eee...itu sudah kewajiban saya."
"Mendidik dan merawat anak setampan ndoro Kakung itu menyenangkan, daripada di rawat oleh___"
"Nah...," tiba-tiba terdengar suara ibu melengking.
"Maaf ndoro putri, saya mau ke belakang ada piring kotor yang belum saya cuci, ndoro sepuh...," mbok nah menundukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda hormat dan berjalan mundur kemudian memutar tubuhnya dan berlalu.
"Ibu," sapaku. Kenapa ibu harus berteriak sekeras itu tadi?
"Kamu jangan sering-sering bicara sama abdi, ora patut, bisa-bisa mereka jadi kurang ajar sama kamu."
"Kamu itu istrinya pemilik rumah, masa ndak paham, wong wes diajari bola-bali, panggah ora paham." (orang sudah diberi tahu berkali-kali, tetap saja tidak mengerti).
"Iya Bu, maaf," lebih baik mengalah, mau membantah sekalipun, aku tak akan pernah bisa memenangkan perdebatan. Kehidupan keluarga Mas Han yang kolot sering membuatku kesulitan beradaptasi, tapi mau bagaimana lagi.
"Ayo, sekarang kamu temui Sekar, mewakili suamimu yang ngambek dalam kamar, dipanggil-panggil nggak bereaksi sama sekali," baru tahu rupanya ibu, kalau Mas Han marah mau ada badai datang dia tidak akan bergeming.
"Injih, Bu," aku berjalan ke ruang tengah.
Lek Broto masih duduk dengan mengangkat satu kakinya sambil merokok, entah sudah berapa batang rokok yang dihisap ya sejak tadi. Asap rokok sampai memenuhi ruangan, membuat napasku yang sedari tadi berat makin sesak.
"Darimana kamu, ada orang tua disini malah ditinggal pergi?" akhirnya laki-laki perokok itu mengeluarkan suaranya.
"La iyo, to, padahal wes tak ajari bola-bali, panggah wae, jarene sarjana, tapi kok yo ngunu."
(La iya, to, padahal sudah diajari berkali-kali tetap saja begitu, katanya sarjana tapi kok seperti itu).
"La iya, menantu seperti itu kok dipelihara yu," aku melirik Sekar, wajah Sekar sedikit berubah ketika mendengar kalimat yang diucapkan Lek Broto, biar dia tahu, keluarga macam apa yang akan dia masuki.
"Maaf, Lek Broto, ada yang harus saya kerjakan di belakang," jawabku sambil tersenyum. Mengendalikan emosi wajib dilakukan untuk menghadapi manusia arogan seperti mereka.
"Saya pamit dulu, mbak," Sekar berdiri mendekati aku yang belum sempat duduk, dia mengulurkan tangannya. Ternyata tangannya hangat, seperti kepribadiannya yang kelihatannya juga hangat, "maafkan kalau kehadiran saya hari ini, membuat rumah ini menjadi tidak nyaman," permintaan maafnya juga kelihatan tulus.
Aku menyambut uluran tangannya, memberinya senyum terbaikku, tapi aku sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hanya anggukan kepala, aku rasa cukup untuk menghormati tamu.
"Belum-belum sudah tidak ramah," lagi-lagi suara lek Broto terdengar.
"Tidak apa Paklik, namanya juga saya baru kenal dengan mbak Rumi, dan begitu juga sebaliknya, suatu saat nanti kami pasti akan akrab," aku memandang wajah Sekar, manis sekali jawabannya, apakah itu tulus? aku menelisik dari ekspresi wajahnya, tapi aku tetap tidak menemukan kebohongan disana, "iya kan, mbak?"
Tanganku sedikit diremas, "ah iya," jawabku singkat lebih karena rasa terkejut akibat remasan tangannya yang tiba-tiba.
"Kami permisi dulu."
"Ayo Nduk," ibu memberi tanda agar Sekar mengikuti keluar, sedangkan Lek Broto sudah berjalan keluar lebih dulu tanpa mengucapkan apapun padaku.
"Ibu pulang dulu," aku mendekati ibu mertuaku dan mencium punggung tangannya.
"Hati-hati, Bu," ucapku sekedar basa-basi.
"Jangan khawatir, ada Sekar yang pasti akan menjagaku," ah, jawaban basa-basi ku ternyata benar-benar basi di telinga ibu.
"Hati-hati, Bu," genggaman tangan ibu pada Sekar sangat erat, satu hal yang belum pernah aku rasakan selama menjadi menantu di keluarga ini. Ada rasa perih menusuk hatiku, tapi ya sudah lah, kita lihat saja sampai berapa lama ibu akan bersikap baik padanya.
Ketika sedang asik melihat mobil mertuaku berlalu sambil melamun, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam kamar, "Rum...sini kamu!" ada apa lagi ini, jangan teriak mas. Apa kamu masih marah padaku? Harusnya kan aku yang marah sama kamu.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments