Episode 4

Tubuhku terpaku pada kursi yang kududuki, berusaha mengumpulkan semua rasa yang tadi berceceran. Aku berharap ibu tidak melihat perubahan raut wajahku. Sebentar tadi wajahku pasti berubah pucat. Aku melirik Mas Han, aku yakin dia sedang menahan amarahnya sekarang.

“Harinya sudah ibu tentukan, kamu tinggal membawa badanmu saja,” ucap ibu.

Mas Han sama denganku, dia mematung, genggaman tangannya makin erat. Matanya nyalang memandang ibu yang sama sekali tidak melihat ke arah kami.

“Dua minggu lagi kalian menikah,” lanjut ibu.

“Apa hak ibu mengatur hidup lelaki dewasa seperti saya?” aku kembali melirik suamiku. Aku akan diam, tidak akan mencegah jika suamiku akan meluapkan amarahnya kali ini.

“Kamu juga akan membantah keinginan ibu, Rum?” netra ibu memandangku tajam, padahal yang menjawab anaknya tapi wanita tua itu melihat padaku.

Kenapa dengan saya bu, saya tidak mengucapkan apa-apa kan?

“Maaf bu,” aku melirik gadis muda yang duduk di sebelah ibu. Dia duduk tenang, tanpa ada perubahan sikap yang berarti. Wajahnya datar, senyum juga tetap tersungging di wajah ayunya. Perempuan seperti apa kamu sekar?

Mas Han berdiri, tanganku yang digenggam erat olehnya membuatku mau tidak mau ikut mengangkat tubuhku, kami berdiri bersisihan, “apakah ibu selesai?”

“Kalau sudah, kami undur diri dulu.”

Mas Han menarikku masuk dalam kamar, “Han, jangan kurang ajar sama orang tua kamu!”

“Ingat, ibu tidak menerima kata tidak.”

Ketika pintu kamar berbunyi, “klik” dan menutup, aku masih bisa mendengar ibu berteriak, “han…ibu akan kemari lagi, kalau perlu ibu akan datang tiap hari.”

“Kamu harus membantuku, Rum,” Mas Han melepas tanganku dengan keras ketika tinggal kami berdua dalam kamar, "aku hanya ingin hidup denganmu, aku tidak mau ada perempuan lain dalam hidup kita, meskipun itu demi seorang anak.”

“Aku bisa apa mas, ibu yang minta, kamu dengar sendiri tadi.”

“Aku memang belum menjadi seorang ibu, tapi aku yakin tujuan ibu pasti baik, nggak mungkin seorang ibu akan menjerumuskan anaknya.”

“Nah…kamu sendiri bilang, kamu belum menjadi ibu, bagaimana kamu bisa bilang kamu tahu apa yang dirasakan ibu sekarang ini, hah…!”

“Jangan sok tahu kamu, Rum!”

Kalimat mas Han membuat hatiku tambah hancur, tanpa diingatkan aku tahu aku belum menjadi seorang ibu. Buat apa dia menyebutkan kata-kata itu? Aku memutar kakiku dan melangkah keluar, “Rum, maafkan aku…,”

Mas Han menahan langkahku, tangannya menarik tanganku dari belakang. Aku balik badan, melepaskan tangan Mas Han perlahan, meskipun aku melihat sinar luka di matanya, aku tak mengurungkan niatku untuk berjalan keluar kamar.

Samar-samar aku mendengar Lek Broto, ibu dan Sekar saling berbicara, tapi aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu ataupun mencuri dengar, buat apa?!

Aku mambawa kakiku menuju dapur, mengambil sekantung teh celup dan membuat teh hangat yang sengaja aku buat manis untuk menenangkan hati, kata orang minum atau makan sesuatu yang manis bisa membuat mood membaik.

"Ndoro putri kenapa duduk disini sendiri?" suara Mbok Nah membuyarkan lamunanku, entah sudah berapa lama dia berdiri di sebelahku.

"Ndoro sepuh masih di ruang tengah lo, nanti ndoro putri kena salah lagi karena ada orang tua tapi tidak mau menemani."

Aku menghela nafas, "sedang malas mbok, kadang saya merasa saya lebih cocok duduk di sini dari pada di ruang tengah atau ruang tamu."

"Hus...ndoro putri itu istri dari pemilik rumah ini, jangan suka bicara seperti itu nanti ndoro Kakung nesu."

Aku letakkan cangkir teh yang tadi kupegang di atas meja, bahkan cangkir teh ini rasanya berat, "mbok, bagaimana rasanya punya anak?" tanyaku tersenyum, padahal aku tahu kalau mbok nah tidak menikah.

"Hihihi...ndoro ini guyon, apa piye toh, lah saya mana tahu, orang saya juga tidak punya anak, menikah saja belum, padahal usia sudah setengah abad lebih," ada nada pilu terselip dalam suara mbok Nah.

"Makanya saya tanya nya sama mbok Nah, biar saya tidak merasa terpuruk, karena kita sama," balasku sambil tertawa kecil.

"Tapi saya punya anak lo ndoro putri, paling tidak seseorang yang saya anggap seperti anak saya sendiri."

Aku mengerutkan alis, "memang mbok Nah pernah mengangkat seorang anak, sekarang dimana anaknya?" cecarku karena penasaran.

"Orang yang saya anggap seperti anak sendiri ya ndoro Kakung, saya sudah merawat ndoro Kakung mulai bayi lo ndoro putri," aku tersenyum, benar juga, si mbok yang merawat bukan ibu.

"Terimakasih ya mbok," ucapku.

"Loh, terimakasih buat apa, ndoro putri?"

"Karena sudah merawat Mas Han dan mendidiknya menjadi laki-laki yang baik," ucapku, entah apa yang terjadi kalau Mas Han dididik oleh ibu.

"Eee...itu sudah kewajiban saya."

"Mendidik dan merawat anak setampan ndoro Kakung itu menyenangkan, daripada di rawat oleh___"

"Nah...," tiba-tiba terdengar suara ibu melengking.

"Maaf ndoro putri, saya mau ke belakang ada piring kotor yang belum saya cuci, ndoro sepuh...," mbok nah menundukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda hormat dan berjalan mundur kemudian memutar tubuhnya dan berlalu.

"Ibu," sapaku. Kenapa ibu harus berteriak sekeras itu tadi?

"Kamu jangan sering-sering bicara sama abdi, ora patut, bisa-bisa mereka jadi kurang ajar sama kamu."

"Kamu itu istrinya pemilik rumah, masa ndak paham, wong wes diajari bola-bali, panggah ora paham." (orang sudah diberi tahu berkali-kali, tetap saja tidak mengerti).

"Iya Bu, maaf," lebih baik mengalah, mau membantah sekalipun, aku tak akan pernah bisa memenangkan perdebatan. Kehidupan keluarga Mas Han yang kolot sering membuatku kesulitan beradaptasi, tapi mau bagaimana lagi.

"Ayo, sekarang kamu temui Sekar, mewakili suamimu yang ngambek dalam kamar, dipanggil-panggil nggak bereaksi sama sekali," baru tahu rupanya ibu, kalau Mas Han marah mau ada badai datang dia tidak akan bergeming.

"Injih, Bu," aku berjalan ke ruang tengah.

Lek Broto masih duduk dengan mengangkat satu kakinya sambil merokok, entah sudah berapa batang rokok yang dihisap ya sejak tadi. Asap rokok sampai memenuhi ruangan, membuat napasku yang sedari tadi berat makin sesak.

"Darimana kamu, ada orang tua disini malah ditinggal pergi?" akhirnya laki-laki perokok itu mengeluarkan suaranya.

"La iyo, to, padahal wes tak ajari bola-bali, panggah wae, jarene sarjana, tapi kok yo ngunu."

(La iya, to, padahal sudah diajari berkali-kali tetap saja begitu, katanya sarjana tapi kok seperti itu).

"La iya, menantu seperti itu kok dipelihara yu," aku melirik Sekar, wajah Sekar sedikit berubah ketika mendengar kalimat yang diucapkan Lek Broto, biar dia tahu, keluarga macam apa yang akan dia masuki.

"Maaf, Lek Broto, ada yang harus saya kerjakan di belakang," jawabku sambil tersenyum. Mengendalikan emosi wajib dilakukan untuk menghadapi manusia arogan seperti mereka.

"Saya pamit dulu, mbak," Sekar berdiri mendekati aku yang belum sempat duduk, dia mengulurkan tangannya. Ternyata tangannya hangat, seperti kepribadiannya yang kelihatannya juga hangat, "maafkan kalau kehadiran saya hari ini, membuat rumah ini menjadi tidak nyaman," permintaan maafnya juga kelihatan tulus.

Aku menyambut uluran tangannya, memberinya senyum terbaikku, tapi aku sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hanya anggukan kepala, aku rasa cukup untuk menghormati tamu.

"Belum-belum sudah tidak ramah," lagi-lagi suara lek Broto terdengar.

"Tidak apa Paklik, namanya juga saya baru kenal dengan mbak Rumi, dan begitu juga sebaliknya, suatu saat nanti kami pasti akan akrab," aku memandang wajah Sekar, manis sekali jawabannya, apakah itu tulus? aku menelisik dari ekspresi wajahnya, tapi aku tetap tidak menemukan kebohongan disana, "iya kan, mbak?"

Tanganku sedikit diremas, "ah iya," jawabku singkat lebih karena rasa terkejut akibat remasan tangannya yang tiba-tiba.

"Kami permisi dulu."

"Ayo Nduk," ibu memberi tanda agar Sekar mengikuti keluar, sedangkan Lek Broto sudah berjalan keluar lebih dulu tanpa mengucapkan apapun padaku.

"Ibu pulang dulu," aku mendekati ibu mertuaku dan mencium punggung tangannya.

"Hati-hati, Bu," ucapku sekedar basa-basi.

"Jangan khawatir, ada Sekar yang pasti akan menjagaku," ah, jawaban basa-basi ku ternyata benar-benar basi di telinga ibu.

"Hati-hati, Bu," genggaman tangan ibu pada Sekar sangat erat, satu hal yang belum pernah aku rasakan selama menjadi menantu di keluarga ini. Ada rasa perih menusuk hatiku, tapi ya sudah lah, kita lihat saja sampai berapa lama ibu akan bersikap baik padanya.

Ketika sedang asik melihat mobil mertuaku berlalu sambil melamun, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam kamar, "Rum...sini kamu!" ada apa lagi ini, jangan teriak mas. Apa kamu masih marah padaku? Harusnya kan aku yang marah sama kamu.

...***...

Episodes
1 Episode 1
2 Episode 2
3 Episode 3
4 Episode 4
5 Episode 5
6 Episode 6
7 Episode 7
8 Episode 8
9 Episode 9
10 Episode 10
11 Episode 11
12 Episode 12
13 Episode 13
14 Episode 14
15 Episode 15
16 Episode 16
17 Episode 17
18 Episode 18
19 Episode 19
20 Episode 20
21 Episode 21
22 Episode 22
23 Episode 23
24 Episode 24
25 Episode 25
26 Episode 26
27 Episode 27
28 Episode 28
29 Episode 29
30 Episode 30
31 Episode 31
32 Episode 32
33 Episode 33
34 Episode 34
35 Episode 35
36 Episode 36
37 Episode 37
38 Episode 38
39 Episode 39
40 Episode 40
41 Episode 41
42 Episode 42
43 Episode 43
44 Episode 44
45 Episode 45
46 Episode 46
47 Episode 47
48 Episode 48
49 Episode 49
50 Episode 50
51 Episode 51
52 Episode 52
53 Episode 53
54 Episode 54
55 Episode 55
56 Episode 56
57 Episode 57
58 Episode 58
59 Episode 59
60 Episode 60
61 Episode 61
62 Episode 62
63 Episode 63
64 Episode 64
65 Episode 65
66 Episode 66
67 Episode 67
68 Episode 68
69 Episode 69
70 Episode 70
71 Episode 71
72 Episode 72
73 Episode 73
74 Episode 74
75 Episode 75
76 Episode 76
77 Episode 77
78 Episode 78
79 Episode 79
80 Episode 80
81 Episode 81
82 Episode 82
83 Episode 83
84 Episode 84
85 Episode 85
86 Episode 86
87 Episode 87
88 Episode 88
89 Episode 89
90 Episode 90
91 Episode 91
92 Episode 92
93 Episode 93
94 Episode 94
95 Episode 95
96 Episode 96
97 Episode 97
98 Episode 98
99 Episode 99
100 Episode 100
101 Episode 101
102 Episode 102
103 Episode 103
104 Episode 104
105 Episode 105
106 Episode 106
107 Episode 107
108 Episode 108
109 Episode 109
110 Episode 110
111 Episode 111
112 Episode 112
113 Episode 113
114 Episode 114
115 Episode 115
116 Episode 116
117 Episode 117
118 Episode 118
119 Episode 119
120 Episode 120
121 Episode 121
122 Episode 122
123 Episode 123
124 Episode 124
125 Episode 125
126 Episode 126
127 Episode 127
128 Episode 128
129 Episode 129
130 Episode 130
131 Episode 131
132 Episode 132
133 Episode 133
134 Episode 134
135 Episode 135
136 Episode 136
137 Episode 137
138 Episode 138
139 Episode 139
140 Episode 140
141 Episode 141
142 Episode 142
143 Episode 143
144 Episode 144
145 Episode 145
146 Episode 146
147 Episode 147
148 Episode 148
149 Episode 149
150 Episode 150
151 Episode 151
152 Episode 152
153 Episode 153
154 Episode 154
155 Bukan Bab baru (Pengumuman)
Episodes

Updated 155 Episodes

1
Episode 1
2
Episode 2
3
Episode 3
4
Episode 4
5
Episode 5
6
Episode 6
7
Episode 7
8
Episode 8
9
Episode 9
10
Episode 10
11
Episode 11
12
Episode 12
13
Episode 13
14
Episode 14
15
Episode 15
16
Episode 16
17
Episode 17
18
Episode 18
19
Episode 19
20
Episode 20
21
Episode 21
22
Episode 22
23
Episode 23
24
Episode 24
25
Episode 25
26
Episode 26
27
Episode 27
28
Episode 28
29
Episode 29
30
Episode 30
31
Episode 31
32
Episode 32
33
Episode 33
34
Episode 34
35
Episode 35
36
Episode 36
37
Episode 37
38
Episode 38
39
Episode 39
40
Episode 40
41
Episode 41
42
Episode 42
43
Episode 43
44
Episode 44
45
Episode 45
46
Episode 46
47
Episode 47
48
Episode 48
49
Episode 49
50
Episode 50
51
Episode 51
52
Episode 52
53
Episode 53
54
Episode 54
55
Episode 55
56
Episode 56
57
Episode 57
58
Episode 58
59
Episode 59
60
Episode 60
61
Episode 61
62
Episode 62
63
Episode 63
64
Episode 64
65
Episode 65
66
Episode 66
67
Episode 67
68
Episode 68
69
Episode 69
70
Episode 70
71
Episode 71
72
Episode 72
73
Episode 73
74
Episode 74
75
Episode 75
76
Episode 76
77
Episode 77
78
Episode 78
79
Episode 79
80
Episode 80
81
Episode 81
82
Episode 82
83
Episode 83
84
Episode 84
85
Episode 85
86
Episode 86
87
Episode 87
88
Episode 88
89
Episode 89
90
Episode 90
91
Episode 91
92
Episode 92
93
Episode 93
94
Episode 94
95
Episode 95
96
Episode 96
97
Episode 97
98
Episode 98
99
Episode 99
100
Episode 100
101
Episode 101
102
Episode 102
103
Episode 103
104
Episode 104
105
Episode 105
106
Episode 106
107
Episode 107
108
Episode 108
109
Episode 109
110
Episode 110
111
Episode 111
112
Episode 112
113
Episode 113
114
Episode 114
115
Episode 115
116
Episode 116
117
Episode 117
118
Episode 118
119
Episode 119
120
Episode 120
121
Episode 121
122
Episode 122
123
Episode 123
124
Episode 124
125
Episode 125
126
Episode 126
127
Episode 127
128
Episode 128
129
Episode 129
130
Episode 130
131
Episode 131
132
Episode 132
133
Episode 133
134
Episode 134
135
Episode 135
136
Episode 136
137
Episode 137
138
Episode 138
139
Episode 139
140
Episode 140
141
Episode 141
142
Episode 142
143
Episode 143
144
Episode 144
145
Episode 145
146
Episode 146
147
Episode 147
148
Episode 148
149
Episode 149
150
Episode 150
151
Episode 151
152
Episode 152
153
Episode 153
154
Episode 154
155
Bukan Bab baru (Pengumuman)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!