Aku duduk di salah satu sudut ruangan. Mas Han duduk bersisihan dengan pengantin wanitanya. Sebuah kerudung putih, disampirkan diatas kepala keduanya.
Mas Han memandangku lekat. Tatapannya sama sekali tidak beralih dari tempatku duduk, aku juga melakukan hal yang sama. Ibu duduk di barisan depan. Lek Broto duduk tepat di belakang mempelai. Bapak duduk di sebelahku.
Aku berusaha memberi senyum termanis, tapi semua buyar ketika penghulu menggenggam tangan suamiku dan melafalkan bacaan ijab kabul. Aku menundukkan wajah, menutup mata dan menahan agar air mataku tidak luruh.
Setelah penghulu mengucapkan ijab aku dengar suara Mas Han mengikuti.
"Saya terima nikah dan kawinnya Rumi Lika Santika binti Harso dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”
Apa? Aku mengangkat wajahku, mataku kembali menatap ke arah Mas Han. Apa itu tadi?
"Mas, nama pengantin wanitanya keliru mas," ucap penghulu.
Mas Han seperti tidak peduli. Kami kembali saling pandang, aku tak tahu harus bagaimana. Bapak yang duduk di sebelahku berbisik, "dasar Nehan, apa dia ingin mawar beracun milik bapak marah?"
"Bagaimana ini pak, nanti ibu mengira saya yang suruh."
"Biar saja, Nehan tahu bagaimana mengatasi ibunya."
Ketika aku tidak sengaja melirik ke arah ibu, ternyata ibu beneran melotot kearah ku, maaf Bu, bukan salahku, aku tak meminta Mas Han melakukan ini.
"Kita ulangi lagi ya mas," aku dengar Pak penghulu bicara, "ingat nama pengantin wanitanya Sekar Lalita binti Sumo."
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Nehan Nawang Nugroho Bin Nugroho dengan ananda Sekar Lalita binti Sumo dengan maskawinnya berupa emas seberat 50 gram dibayar Tunai.”
"Saya terima nikah dan kawinnya Rumi Lika Santika binti Harso dengan maskawinnya yang tersebut, tunai"
"loh...loh...loh, gimana ini mas, masih salah, kita ulang sekali lagi ya."
Mas Han masih menunjukkan ekspresi yang sama, memandangku lekat. Ibu mulai tidak sabar, duduknya kelihatan tidak nyaman. Yang membuat aku takjub adalah sikap Sekar yang tetap tenang dan tidak terpengaruh. Senyum masih juga menghiasi wajahnya. Dia benar-benar wanita luar biasa.
Aku memberi kode pada suamiku. Aku memberi senyum termanis, sambil menggerakkan bibir tanpa suara, "it's okay, kali ini lakukan dengan benar ya."
Mas Han tampak menarik napasnya berat dan dalam, gerakan dadanya sangat kentara. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah penghulu yang menunggu mas Han menyiapkan diri.
"Kali ini harus benar ya mas, kasihan pengantin wanitanya menunggu, pasti sampeyan juga ndak sabar to."
Tahan emosi mas, jangan terpancing, itu penghulu kenapa juga ngomong gitu.
Beberapa tamu mulai berbisik, "padahal pengantinnya cantik lo, gimana sih Nehan."
"Katanya juga masih keturunan ningrat yu."
Aku sengaja berdehem agar mereka tahu diri.
"Eh, mbak Rumi ya, hehehe," kikuk kan, keduanya saling senggol.
"Kita ulangi ya, ini yang terakhir."
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Nehan Nawang Nugroho Bin Nugroho dengan ananda Sekar Lalita binti Sumo dengan maskawinnya berupa emas seberat 50 gram dibayar Tunai.”
"Saya terima nikah dan kawinnya Sekar Lalita binti Sumo dengan maskawinnya yang tersebut, tunai"
"Bagaimana saksi, sah...?"
"Sah...,"
Bumi di bawah kakiku serasa amblas. Kakiku seperti tak memiliki pijakan. Badanku ringan bahkan terasa melayang. Air mataku luruh perlahan, aku gagal menahannya sekuat apapun aku mencoba, ternyata keinginan untuk menunjukkan keberadaannya lebih kuat.
Aku berdiri, berjalan terhuyung meninggalkan ruang pernikahan. Membawa kakiku menuju taman tengah milik bapak. Aku berjalan diantara mawar, aku ambil setangkai dan aku tusukkan durinya tepat di jari telunjuk.
"Ndoro putri kenapa berdiri di tengah taman begitu," suara Mbok Nah membawaku kembali pada kenyataan.
"Loh...loh, ndoro putri nangis?"
Mbok Nah, aku hanya menangis bukan pingsan, aku sudah berlakon cukup baik bukan?
"Iya, ini mbok kena duri?" jawabku sambil menunjukkan jariku yang berdarah.
"Haduh, ndoro...saya bisa kena semprot ndoro sepuh sama ndoro Kakung ini, ayo sini."
Mbok Nah menghampiri dan memintaku untuk duduk di bangku taman, "tidak apa kalau mau nangis, tidak usah menusuk duri begini, kasihan jarinya sakit."
Aku tersenyum, tapi sialnya senyum tidak mampu menutupi mendung yang bergelayut di wajahku. Ternyata air mata memang tak pernah bisa diajak berdusta.
"Saya baik-baik saja mbok," Isak kecilku mulai terdengar.
Kenapa aku harus terisak. Aku yang minta buat Mas Han menikah lagi bukan?!
"Rum...Rum," suara Mas Han keras terdengar. Dengan gerakan cepat aku memalingkan wajah dan menghapus air mata dari pipiku.
"Kamu kemana saja, aku mencarimu tahu!" wajah Mas Han pucat, napasnya terengah.
"Aku disini dari tadi," jawabku berusaha untuk tetap tenang.
"Kamu kenapa keluar dari acara, Mas?" tanyaku setelah Mbok Nah pamit undur diri.
"Karena aku tidak melihatmu Rum, aku baru memalingkan wajahku sebentar tapi kamu sudah menghilang."
"Hehe...menghilang kemana? orang aku disini dari tadi."
"Mas...Mas," kali ini ada suara perempuan yang tidak kukenal memanggil, " Mas Han," ketika nama suamiku yang disebut, aku secepat kilat melihat kearah asal suara, Sekar...
"Mas kamu dicari."
"Biar."
"Mas Han disini," jawabku. Sekar menghampiri aku dengan langkah cepat.
"Mas, dicari ibu, kata ibu ada kerabat yang ingin menyapa," wanita ini sama sekali tidak melihat kearah ku.
"Kamu saja yang menemui," jawab Mas Han membuang muka, "Rum, kamu capek kan, ayo kita istirahat."
"Mas, ada Sekar," kasihan kalau wanita ini kena damprat ibu gara-gara Mas Han.
"Biar saja, biar dia ditemani sama ibu. Kan yang meminta dia menikah bukan aku tapi ibu," Mas Han berjalan meninggalkan kami.
"Rum, ayo...aku capek."
"Maaf ya, nanti aku akan bilang Mas Han, kamu kembali ke acara, Mas Han akan menyusul sebentar lagi."
Sekar mengangguk, dia hampir melangkah ketika ternyata berhenti dan berpaling menghadapku lagi, "saya minta mbak mengerti ya, bukan maksud saya untuk meminta perhatian, tapi biarkan suami kita menunaikan kewajiban sesuai tempatnya, permisi."
Apa...apa dia bilang? suami kita? Memang benar dia suami kita, tapi kenapa hatiku terasa ada yang aneh. Seperti ada yang perih di dalam.
Ah, sudahlah, lebih baik menemui Mas Han yang sedang mode merajuk.
"Mas," aku menyentuh lengan suamiku, "kamu mau aku dimarahi ibu, karena sikapmu ini, hah?"
"Sini kamu," diraihnya tubuhku dengan sekali gerak, aku terjatuh diatas tubuh Mas Han, "aku cuman ingin berdua denganmu disini, ibu tidak akan tahu aku ada dimana."
"Mas..., lihat saja sebentar lagi pasti ada yang mengetuk pintu," ucapku.
"Han," ternyata aku keliru, kali ini tidak ada yang mengetuk pintu, tiba-tiba saja ibu sudah berada dalam kamar.
"Kamu jangan manja Rum, jangan minta Han untuk bersamamu terus, hari ini adalah hari pernikahan Han dan Sekar."
"Tapi saya tidak__..."
"Halah, sudah, ndak usah cari-cari alasan, buktinya dia disini kok," dibelakang ibu berdiri Sekar, meskipun dia hanya diam tapi kehadirannya sangat mengintimidasi.
"Bukan salah Rumi, Nehan yang mau di kamar saja," Mas Han berdiri, mencium keningku, "jangan kemana-mana," kemudian dia berlalu keluar kamar.
Ketika Sekar berusaha meraih tangannya, Mas Han menampiknya, ibu langsung berteriak, "Han gandeng tangan Sekar, dilihat orang."
Tanpa membantah Mas Han meraih tangan Sekar dengan kasar, tanpa melihat wajahnya, Mas Han berjalan cepat membuat langkah Sekar sedikit terseret. Pemandangan yang mampu membuatku sedikit tersenyum. Ternyata aku masih pelakon utama di kebun milikku.
Ah, bapak. Aku berjalan lagi ke taman tengah. Bapak sedang duduk menikmati kudapan dan teh poci. Aku mendekat dan duduk di salah bangku berhadapan dengan bapak.
"Pak," sapaku.
"Kamu kemana, tadi waktu akad masih duduk di sebelah bapak. Eh...tiba-tiba menghilang."
Aku menunduk malu tapi tetap berusaha tersenyum.
"Kamu boleh menangis Rum, itu wajar. Kalau kamu tidak sedih, bapak malah heran, kamu cinta apa tidak sama anak bapak?"
"Bapak, Mas Han itu segalanya buat Rumi, bagaimana bapak bisa ngomong seperti itu?"
"Yah, kan...kamu kelihatannya tenang sekali."
"Saya tidak harus menunjukkan betapa hancurnya saya pak, buat apa, ini keputusan saya yang ambil kok."
"Iya, biar ibumu senang, iya...kan?!"
"Tapi apa sikapmu ini bisa menyenangkan hati mawar beracun itu?"
"Ehm, semoga pak," jawabku. Kalaupun tidak, yang penting aku sudah berusaha.
"Rummm..." suara ibu, sedang berteriak mencariku.
"Nah, itu dia nyari kamu, sudah sana."
Aku bergegas menghampiri ibu sambil tersenyum meninggalkan bapak, "Njih Bu."
"Enak saja kamu nyantai disini, ayo ke dapur."
...***...
Semangat Rum, dunia ini memang kejam.
Kamu tidak sendiri.
Wanita harus kuat, meskipun buatmu sepertinya memang masih butuh proses.
Terimakasih yang sudah mampir dan baca, Jan lupa like and komen ya.
I lope U all
Semoga kita selalu dilindungi oleh Allah dari segala macam bencana dan mara bahaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Erda Susanti
semoga mb' rum ttap tbah
dan semoga nehan ttap tgas
2022-01-12
0
Masiah Cia
semoga hati nehan tidak berubah hati dan cinta nya hanya rum
2022-01-12
1
Ish_2021
thank U apresiasinya ya 👍😊
2021-12-08
0