Mas Han meninggalkanku dalam kamar, dia bilang akan mencari Sekar untuk diminta bersiap-siap pulang. Dia tidak mau lagi menunggu.
Setelah semua siap. Kami berpamitan pada ibu dan bapak. Bapak menepuk tanganku hangat, "yang sabar Rum."
Aku tidak berani menjawab, karena ibu sedari tadi melotot padaku.
"Kowe musti apik marang Sekar, Rum. Aja marai Sekar stress, nek bocahe stress mundak ora bisa ndang ngandhut, ngerti Kowe?" (kamu harus baik sama Sekar, Rum. Jangan membuat Sekar stress, kalau anaknya stress jadinya nanti tidak bisa segera hamil, mengerti kamu?)
"Injih Bu."
Mas Han membawa tas kami, sedangkan Sekar membawa tasnya sendiri, "Han, bawakan itu tasnya Sekar, kamu bagaimana sih? istri kok disuruh membawa tasnya sendiri?! teriak ibu mengagetkan kami semua.
"Kalau kamu ndak bisa membawakan biar Rumi yang membawa tas kalian."
Mas Han berhenti, aku lihat dia menghela napas. Mendekati Sekar dan meminta tas anak itu, "sini tas nya," pinta Mas Han dengan ekspresi datar.
"Nggak__."
"Jangan menolak, kamu mau membuat masalah ini jadi panjang?" ucap suami ku tidak suka.
"Terimakasih ya suami..." anak itu menyerahkan tas nya sambil tersenyum manis, atau...senyum penuh kemenangan? entahlah...
"Silahkan ndoro putri," Pak Dul mempersilahkan aku masuk, tapi dari belakang Sekar mendahuluiku.
"Aku masuk dulu ya mbak, Bu...Sekar pulang dulu ya," Sekar melihat ibu sekilas kemudian masuk dalam mobil.
Aku lihat ibu menggaguk dan melambaikan tangan, coba kalau aku yang seperti itu, pasti ibu sudah ceramah sama aku.
Suasana dalam mobil pun sama, aku menghindari banyak bicara, wajah mas Han juga ditekuk, Sekar tenang duduk sambil melihat keluar jendela.
"Silahkan masuk," aku menunjukkan kamar tamu yang akan di tempati sekar selama entah berapa hari. Nanti akan aku bicarakan lagi dengan mas Han berapa lama anak itu menginap.
"Ini kamarmu untuk malam ini."
"Modelnya sama, penempatan ruangnya sama, mbak, sekedar ingin tahu ya, apa ada yang berbeda antara rumah ini dan rumah yang ditinggali ibu dan bapak?"
"Semuanya sama," jawabku singkat.
"Mbak hanya pajangan ya di rumah ini?"
"Terserah kamu mau bilang apa, aku tidak tahu apa hubunganmu dengan keluarga Mas Han, berapa tahun kamu mengenal mereka, tapi yang jelas kamu tidak tahu apapun tentang hidup kami. Jadi lebih baik kamu diam, laksanakan tugasmu dan pergi dari kehidupan kami."
Sekar tersenyum, "aku pasti melaksanakan tugasku dengan baik mbak, memuaskan suami kita, kan?!" aku mengepalkan tanganku, aku bingung dengan anak ini, kadang dia membela kami kala di depan ibu, tapi ada waktu dimana aku merasa dia begitu menjatuhkan, aku utamanya.
"Aku tinggal, kamu istirahat saja dulu."
Aku masuk kamar, Mas Han sedang rebahan di atas ranjang, "mas kamu harus pikirin, dimana anak itu tinggal setelah ini."
"Sudah ada, ibu sudah siapkan semuanya, dia tinggal disini hanya untuk beberapa hari, setelah itu aku akan antar dia ke rumah yang akan jadi miliknya setelah dia melahirkan."
"Aku iri sama anak itu, dia baru menikah tapi ibu begitu memperhatikan semua kebutuhannya."
"Kamu nggak perlu merasa iri seperti itu Rum, kamu dan Sekar memang sama tidak punya ayah, tapi paling tidak kamu masih punya ibu yang begitu memperhatikan kamu, meskipun ibu kamu tinggal jauh."
"Iya bener juga, ada saat dimana aku suka sama ana itu, tapi disaat yang lain aku sebel, kalau ngomong kaya orang kentut gak pake otak, kalau bisa aku kirim ke bulan, aku kirim tuh anak."
"Ha...ha...ha, Rum nanti jangan tidur dulu, aku tidak pernah berdua dengan wanita lain sebelumnya."
"Cih, manusia itu punya insting liar mas, apalagi laki-laki, nanti kalau mas ada di dalam kamar cuman berdua pasti bisa langsung ngelakuin itu."
"Enak saja kamu kalau ngomong, Rum. Memang suamimu ini laki-laki macam apa Rum."
"Laki-laki normal mas."
...***...
Malam ini gelap hadir lebih awal. Sunyi mengisi ruang-ruang di rumah yang luas ini. Aku berjalan keluar menuju taman tengah. Ketika aku menengadah, rembulan pun malu menunjukkan wajahnya. Gemintang yang biasanya ramai menghidupkan malam, sekarang hanya beberapa yang berani berkedip mengirim cahaya.
Mas Han sudah masuk ke kamar anak itu sejak beberapa saat yang lalu. Aku seperti inang yang memberi nutrisi pada seorang perawan muda yang haus akan harta. Aku sendiri tak tahu yang aku lakukan ini akan memberiku kebahagiaan atau malah akan menarikku pada kubang siksaan nurani yang makin dalam.
Beberapa abdi mengawasi gerak-gerikku dengan jarak sedikit jauh. Semua orang yang ada di rumah ini tahu apa yang sedang terjadi. Tapi mereka juga tahu bahwa menyimpan rahasia hukumnya adalah wajib jika ingin terus mengabdi.
Aku baru masuk kamar ketika jaket yang kupakai tak bisa lagi mengusir dingin yang mulai merasuk dalam tulang. Aku lirik kamar tamu yang tertutup rapat.
Aku merebahkan diri, berusaha menutup mataku yang terus saja memaksa aku untuk terjaga. Bayangan Mas Han menyentuh tubuh wanita lain membuat aku makin gelisah.
Telingaku seperti mendengar suara ******* dan lenguhan penyatuan tubuh yang biasa kami lakukan, berkali-kali aku merubah posisi tidurku, tapi tetap saja suara-suara itu terdengar, bahkan makin jelas. Aku benci sunyinya malam ini.
Aku keluar kamar menuju depan pintu kamar tamu. Aku makin kesulitan menahan diri, tanganku hampir memegang gagang pintu saat aku mendengar suara teriakan tertahan dari dalam, seketika keberanian ku hilang, aku lepaskan gagang pintu dan aku berlari kembali ke kamarku, menangis sejadinya.
Setelah lelah menangis, aku berjalan menuju wastafel, membasuh wajahku yang lengket, dua jam sudah mas Han ada dalam kamar tamu bersama anak itu. Kalau memang dia mencintaiku, dan melakukan semua ini karena terpaksa mengapa membutuhkan waktu begitu lama? Apa saja yang mereka lakukan di dalam?
Tok...tok, waktu menunjukkan hampir tengah malam aku mendengar pintu kamarku diketuk seseorang, "siapa?"
"Saya ndoro putri."
"Mbok nah?" aku turun dari ranjang. "Kenapa mbok Nah disini? tidur saja mbok," aku membuka pintu sedikit hanya sekedar untuk bicara.
"Ndoro putri baik-baik saja? apa ingin saya buatkan sesuatu?"
"Ndak usah mbok, saya baik-baik saja, mbok istirahat saja dulu."
"Saya Ndak tega membiarkan ndoro putri sendiri," mata mbok Nah melirik kamar tamu.
Betapa sayang abdiku yang satu ini padaku, "baiklah kalau begitu, masuk mbok, saya sepertinya juga butuh teman."
Aku duduk di sofa yang disediakan dalam kamar. Biasanya sofa ini digunakan mas Han untuk istirahat sebelum tidur sambil melihat laptop atau HP. Mbok Nah duduk dibawah dekat kakiku.
"Saya cerita sambil saya pijiti ya, ndoro," mbok nah menyentuh kakiku dan memijitnya perlahan.
"Pijitannya enak mbok," pikiran kotorku sedikit teralihkan karena pijitan mbok Nah.
"Saya punya cerita ndoro putri, selama saya bercerita dengarkan saja ya, jangan bertanya, kalau nanti setelah saya selesai bercerita, ndoro putri menyimpulkan sesuatu, simpan saja untuk diri sendiri."
"Memangnya mbok mau cerita apa?"
"Ndoro putri janji dulu."
"Iya saya janji."
"Baiklah, saya mulai. Sejak dulu saya selalu mengabdi di keluarga ningrat ndoro, jadi saya tahu bagaimana kehidupan para ningrat yang saya layani. Bagaimana cara mereka memperlakukan istri-istri mereka, meskipun kelihatannya mereka setia tapi sebenarnya mereka selalu punya selir baik secara sembunyi atau terang terangan."
Aku masih mendengar, pijatan mbok nah membuat mataku mengantuk, semua gundah yang tadi kurasa sedikit demi sedikit menghilang.
"Ada beberapa dari anak selir itu dijadikan pewaris trah keluarga, tapi banyak juga yang tidak diakui keberadaannya. Kebetulan keluarga tempat saya mengabdi menjadikan anak selir sebagai pewaris keluarga, penyebabnya adalah istri pertama tidak memiliki keturunan. Karena kuatnya pengaruh istri pertama akhirnya selir itu tersingkirkan ndoro putri, dan sekarang tidak diketahui keberadaannya."
Aku menyentuh tangan mbok Nah, meminta untuk berhenti memijat, aku duduk, kupandangi Mbok Nah dengan tatapan penuh tanya, mbok Nah mengangguk, dan aku tahu jawabannya.
"Apakah anak itu___"
"Iya Ndoro, jadi ndoro putri tidak perlu khawatir, selama ndoro putri kuat, siapapun wanitanya, tidak akan mempengaruhi ndoro putri sebagai wanita utama di rumah ini."
Aku terpaku menatap Mbok Nah, benarkan yang dikatakan mbok Nah? berarti ibu bukanlah___? apa Mas Han tahu masalah ini?
...***...
Mbok kalau ngomong yang jelas, jangan membuat orang lain menerka dan menebak mbok, ini bukan lomba cerdas cermat.
Tapi jawabannya sudah ada di situ kok.
terimakasih yang sudah baca ya😘🥰 lope U
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Masiah Cia
huuuuuh pantasan sang mertua seperti itu, spy menantinya jg merasakan hal sama, tapi sang mertua TDK adil sm menantu
2022-01-13
1