"Rum...sini kamu!"
Teriakan Mas Han membuatku berlari menuju kamar, ada apa sih teriak sampai sebegitu kerasnya, tidak malu apa didengar orang lain.
"Apa sih, mas?!" wajahku merengut.
Bukannya menjawab, Mas Han malah memeluk tubuhku, "kamu masih marah?"
"Memangnya Rumi tadi marah?" godaku.
"Iya, kamu pergi keluar kamar tanpa ngomong apa-apa, itu tandanya kamu sedang marah."
Aku tersenyum, menikmati tatap mata ketakutan milik Mas Han, "kamu takut aku marah? aku kira laki-laki tak akan peduli kalau istrinya marah," kubelai pipinya lembut.
"Jangan marah Rum, aku ngobrol sama siapa di rumah ini, kalau kamu marah?"
"Sama mbok Nah," jawabku sekenanya.
"Terus kami ngobrolin harga bawang, nggak mau ah."
"Aku minta maaf Rum, tadi aku kelepasan, bukan maksudku untuk nyakitin kamu."
Aku menarik nafas panjang dan dalam, ada rasa perih yang muncul meskipun sebentar.
"Kamu tidak menjawab Rum, kamu tidak mau memaafkan aku?" suaranya memelas, membuatku tidak tega.
"Jangan begitu, laki-laki tidak boleh lemah di depan wanita mas, kamu kelihatan tidak keren kalau bersikap begini."
"Biar saja, aku tidak keren, yang penting kamu mau sama aku," tubuhku ditarik mendekat, tangannya melingkar erat mengelilingi pinggangku.
"Aku tidak marah, buat apa marah, memang begitu keadaannya kan, tapi terus terang aku sedih dan merasa kecil mas, karena aku gagal membuatmu menjadi seorang lelaki seutuhnya."
Mas Han berdiri kemudian menarikku keluar kamar, hari belum juga petang, "Pak Dul tolong siapkan mobil, saya mau kencan sama pacar saya."
"Siap ndoro Kakung," meskipun kelihatan bingung, pak Dul segera menyiapkan mobil, pacar siapa? kira-kira itu yang dipikirkan Pak Dul.
"Pak Dul bingung ya waktu saya bilang pacar," Mas Han menepuk bahu Pak Dul sambil menerima kunci mobil.
"Ini pacar saya," tunjuk Mas Han menggandeng tanganku, alisnya digerak-gerakkan naik turun.
"Hahaha...ndoro Kakung bisa saja, saya pikir perempuan yang dibawa ndoro sepuh kesini tadi."
Ganti aku yang menahan tawa, candaanmu sepertinya menjadi senjata makan tuan mas.
"Sudah ah, ayo Rum."
"Eh mas, mau kemana? aku mau ganti baju dulu, aku pakai daster ini, nggak lucu ah...kalau dilihat orang."
"Sudah, ayo, perjalanan kita agak jauh, lama lagi nanti kalau nunggu kamu ganti."
Aku yang masih bingung didorong mas Han masuk mobil, "kita mau kemana mas?" tanyaku.
Mas Han tidak menjawab, dia malah sibuk memasangkan sabuk pengaman di tubuhku. Sebelum menarik diri ke posisinya semula, dia sempat-sempatnya mengecup bibirku sekilas.
"Kita jalan-jalan, aku suntuk dirumah."
Sore ini kami habiskan waktu diluar rumah berdua. Menikmati suasana kota senja hari, ketika lampu jalanan satu persatu mulai menunjukkan cahaya warna-warni nya menggantikan matahari yang mulai sembunyi di kaki langit.
Mas Han menghentikan mobilnya di salah satu tempat parkir. Kami berjalan bergandengan, melangkahkan kaki seirama muda-mudi yang tertawa lepas dan menikmati masa muda dengan segala romansa nya.
Setelah berkeliling beberapa saat, Mas Han memutuskan untuk berhenti dan duduk di sebuah bangku dibawah lentera taman, "aku iri dengan mereka Rum," bisik suamiku tepat di telinga.
"Kalau aku, malu pada mereka mas," jawabku.
"Apa?" wajah jenaka mas Han makin menonjolkan ketampanannya.
"Lihat bajuku mas, aku malu, masa iya ada pangeran jalan-jalan ditemani sama Upik abu," jawabku cemberut.
"Aku ingin punya banyak waktu yang bisa kita habiskan bersama nanti dan nanti, sama seperti muda mudi yang disana itu, aku iri pada mereka."
"Bersyukurlah mas, kita akan punya waktu berdua, kalaupun tidak, waktu yang selama ini aku habiskan bersamamu adalah saat-saat terindah dalam hidupku."
"Jangan ngomong seperti itu, aku akan pastikan kalau kita punya banyak waktu sama-sama, aku beruntung memilikimu Rum."
"Aku juga mas, tapi sekarang aku hanya ingin pulang."
"Hahaha...," tawa mas Han membuat beberapa mata malah melihat ke arahku, aku memukul lengan Mas Han, "aduh, sakit Rum."
"Tertawamu menarik perhatian orang mas."
"Aku tak bisa menahannya, maunya romantis, kamu dari tadi malah minta pulang terus."
Salah satu senja terindah dalam hidupku, semua beban yang mengganjal sejak pagi sirna ditelan riuhnya suara jalanan, tawa mereka menular padaku yang berkali-kali tergelak karena hal-hal sepele. Hatiku juga kembali hangat, entah karena genggaman tangan mas Han yang tak mau lepas atau karena rasaku sendiri yang ingin bebas.
Kala pagi datang, kami masih saling berpelukan, suasana semalam membawa kehangatan pada kami sampai ranjang. Aku bangun karena harus menyiapkan banyak hal untuk Mas Han yang harus berangkat bekerja.
"Mas, bangun, subuh hampir habis, malu sama ayam."
"Hmmm," menggeliat sedikit.
"Ayo, bangun," aku basahi tangan dan kugerakkan sedikit diatas wajahnya.
"Rum," akhirnya bangun juga.
"Mandi langsung sholat," pintaku, dia langsung bangkit dan menuju kamar mandi. Ah...lucunya laki-laki, dia akan menjadi sangat penurut ketika semua kemauannya dituruti.
Hem warna biru laut membuat tampilan suamiku pagi ini luar biasa tampan.
"Hari ini aku akan sangat sibuk Rum, mungkin malam baru pulang," mode serius sedang on. Tapi dia menikmati makan paginya dengan lahap.
Meskipun aku hanya ada di area dapur dan kasur, aku akan selalu berusaha tampil cantik ketika suami berangkat kerja, aku lepas apron, dan aku pakai baju rumahan tetapi rapi, "iya, mas, selamat bekerja, semangat ya," aku cium punggung tangannya dan dia akan membalas mengecup keningku.
Aku bawakan tas kerja dan jasnya sampai dia masuk mobil, "kalau mau kemana-mana minta antar Pak Dul, Rum," tidak lupa Mas Han mengatakan hal yang sama tiap harinya.
Setelah Mas Han berangkat aku akan sibuk dengan kesenanganku merangkai bunga. Aku tidak begitu suka berkegiatan diluar rumah, jadi aku selalu berusaha menyibukkan diri meski di rumah saja.
...***...
Jam di dinding menunjukkan pukul empat sore ketika mas Han masuk kamar sambil membanting pintu.
Aku terkejut setengah mati, bukannya tadi dia bilang kalau pulang agak malam, tapi baru jam segini sudah sampai rumah. Apalagi wajahnya menunjukkan aura gelap, tidak ada senyum sedikitpun di bibirnya. Pasti ada masalah.
Belum sempat aku bertanya pada suamiku, ada apa, nada notifikasi pesan di handphone ku berbunyi. Ternyata ibu mengirim pesan.
Ibu tunggu di rumah satu jam lagi, datang kesini tanpa Nehan.
Kemudian datang lagi pesan, masih dari ibu.
Jangan bilang Nehan kalau kamu menemui ibu.
Ada apa ini sebenarnya, "kenapa pulang awal mas?"
"Jangan ganggu aku Rum," mode jutek on. Kalau sudah begini, dia akan lama kembali seperti biasanya. Lebih baik aku tinggal dulu.
"Aku keluar sebentar ya mas," pamitku setelah mengganti baju.
"Jangan lama-lama, minta Pak Dul buat ngantar kamu Rum," bicara sambil berbaring di ranjang dengan tangan menutup matanya.
"Iya, lebih baik mas mandi dulu, biar segar," pesanku sebelum pergi, biar apapun yang sedang mengganggu pikirannya akan luruh masuk dalam selokan bersama air mandi.
"Nanti saja," jawab suamiku. Aku tahan rasa ingin tahuku, nanti saja sepulang dari rumah ibu aku tanya lagi. Bahkan dia tidak bertanya kemana aku pergi.
Aku berjalan ke arah dapur dimana Mbok Nah sering menghabiskan sebagian besar waktunya, entah apa saja yang dilakukannya di tempat itu.
"Mbok, tolong bilang Pak Dul untuk siapkan mobil, saya mau keluar sebentar, saya tunggu di teras ya mbok."
"Baik ndoro putri."
Aku meninggalkan dapur menuju teras, duduk di kursi yang sering kami duduki berdua.
"Mari ndoro putri," kadang aku kagum dengan pengabdian semua abdi di rumah ini yang sangat luar biasa, mereka begitu cepat dan cekatan.
"Ke rumah Ibu ya Pak Dul."
Seperti biasa tanpa banyak bertanya mereka akan langsung berkata iya dan segera melaksanakan tugasnya.
Ibu tidak tampak ketika aku datang. Bapak duduk dengan berwibawa sambil mengepit cangklong di bibirnya, satu kebiasaan yang sudah jarang dilakukan di jaman sekarang.
"Selamat sore pak," aku mencium punggung tangan laki-laki yang sangat kuhormati ini.
"Sore, Nduk, apa ibumu memanggilmu?' tanya bapak.
"Injih pak," jawabku hormat, bapak sudah aku anggap seperti bapakku sendiri karena aku kehilangan orang tua laki-laki sejak kecil.
"Rum..." suara ibu terdengar lantang dari dalam, bapak menganggukkan kepala, memberi tanda agar aku segera menemui ibu.
"Sini," di atas meja dekat ibu duduk tergeletak sebuah map kertas.
"Duduk terus baca," titah ibu padaku.
Sekeras apapun aku menerka apa isi di dalam map itu tetap saja aku gagal mengira-ngira.
"Kenapa kamu diam? dibuka terus dibaca, jangan cuman dilihat saja."
Aku raih map itu, di dalamnya ternyata ada sebuah surat. Yang aku lihat pertama adalah tanda tangan yang tertera di bawah, ada namaku, mas Han dan nama Sekar. Juga ada beberapa saksi.
Setelah melihat tanda tangan yang ada dibawah aku baru melihat dari atas dan membaca surat itu. Ya Allah, apakah ini yang membuat Mas Han pulang awal dan dalam keadaan emosi? Aku memandang ibu mertuaku, benar-benar aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Uthie
Bukan hanya ada anak durhaka, tapi Orangtua yg Durhaka juga ada.... kaya gtu tuhhh 😡
2022-01-22
1