Aku masih berdiri di tempatku. Tidak mampu beranjak. Tanganku ku ulurkan dan menyentuh gagang pintu, tapi kemudian kutarik kembali. Ku keluarkan ponselku, aku mengetuk nama Pak Dul. Aku balik arah, sambil berjalan aku menghubungi Pak Dul, "pak, tunggu saya di depan lobi, kita pulang."
Melihatku berjalan tergesa, petugas resepsionis di meja depan mengejarku, "maaf Bu, apakah sudah bertemu dengan bapak?"
Aku lupa kalau ekspresi dan sikapku bisa mengundang tanya, "sudah, sudah...tidak apa, mmm..., tolong jangan sampaikan sama bapak kalau saya kesini ya," pintaku.
"Baik, Bu."
"Selamat jalan Bu," aku masih mendengarnya memberikan salam terakhir sebelum aku pergi, aku tersenyum dan masuk dalam mobil.
"Kok cepat, Bu?"
"Bapak tidak ada?" tanya Pak Dul yang heran karena aku sudah meminta pulang.
Aku tidak menjawab, "kita ke pesisir pinggir kota ya, pak," pintaku pada Pak Dul.
"Baik Bu," aku tidak peduli meskipun aku tahu Pak Dul pasti memendam tanya dalam hati.
Selama perjalanan, pikiranku berkutat pada perkataan ibu yang akan mencarikan perempuan lain untuk suamiku. Bukan salahku kalau aku belum memiliki momongan, lagi pula Mas Han yang tidak setuju melakukan proses bayi tabung.
"Bayi tabung itu sakit Rum," ucapnya waktu itu.
"Tapi aku ingin mencoba Mas," pintaku. Aku memang benar-benar menginginkan seorang anak dalam rumah tangga kami.
"Aku tidak tega melihatmu menahan sakit," jawabnya.
"Belum tentu juga akan berhasil."
Kemudian dia akan menutup dengan satu kata yang selalu mampu membuatku luluh dan mengalah menuruti permintaannya, "aku mencintaimu Rum, kamu saja sudah cukup bagiku, aku tidak membutuhkan yang lain," sekarang apa yang harus kulakukan.
"Ndoro putri tidak apa-apa?" suara Pak Dul menarikku kembali pada realita.
"Ah, iya pak, saya baik-baik saja," tak lupa kuberikan sebuah senyum untuk membuktikan bahwa aku baik-baik saja.
Aku memejamkan mata, lelah tiba-tiba menghampiri. Kurebahkan tubuhku pada sandaran kursi, untuk mengistirahatkan otak dan hatiku.
"Ndoro, kita sudah sampai, Ndoro putri...," aku merasa tubuhku digoyang perlahan. Ternyata aku tertidur, entah untuk berapa lama, ketika aku membuka mata mobil sudah berhenti.
Aku membenahi posisi dudukku, "bapak tunggu disini ya, saya akan jalan-jalan sebentar, mencari angin," ucapku.
"Tapi udaranya panas."
"Ini masih jam satu, apa tidak sebaiknya nanti sore saja, ndoro putri," mungkin Pak Dul heran melihatku ingin keluar dari mobil yang notabene nyaman ketika udara sedang panas di luar.
"Tidak pak, saya juga mau sholat dhuhur dulu."
"Oh begitu, Inggih Ndoro putri, saya juga mau sholat, mau saya temani jalan ke mushola?"
Sebuah tawaran yang sulit ditolak, "apa tidak apa-apa kita meninggalkan mobil disini?" tanyaku, karena aku melihat tidak ada petugas parkir yang berjaga.
"Tidak apa, Ndoro Kakung membeli mobil yang memiliki pengamanan maksimal," ucap Pak Dul menjawab kekhawatiranku. Suamiku, yah...mana mungkin dia akan membeli barang dengan kualitas sembarangan.
"Baik, ayo Pak Dul temani saya jalan ke Mushola," paling tidak, aku tidak sendiri dalam suasana hati kacau begini.
Setelah sholat, Pak Dul memutuskan untuk tinggal di Mushola, sedangkan aku memilih untuk menyusuri pantai. Memandang laut yang luas membuat hatiku lebih lapang, hembusan angin seperti membawa gundahku pergi.
Aku tarik nafas dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, membuang semua beban yang tiba-tiba makin berat, setelah kutahan bertahun lamanya.
Aku duduk di pantai beralaskan sepatu. Bayangan wajah Ibu yang bahagia ketika Mas Nehan melamarku dulu kembali menari di depan mata. "Ibu, apa yang harus kulakukan sekarang?"
Lembayung senja menggantung di kaki cakrawala, sepertinya sekarang waktunya untuk pulang. Mas Nehan pasti khawatir kalau dia sudah sampai rumah, sedangkan aku tidak ada.
Kulangkahkan kakiku menuju mushola, membangunkan Pak Dul yang tertidur. Pantas saja pesanku tidak juga dijawab.
"Maaf ndoro, saya ketiduran, apakah sudah waktunya untuk pulang?" kasihan matanya yang mengantuk terpaksa terbuka karena kubangunkan.
"Iya pak Dul, sudah sore kasihan Mas Han kalau saya tidak ada di rumah."
Aku pulang membawa hati yang lebih ringan. Semua beban aku buang di bentangan laut luas.
"Assalamualaikum," ucapku ketika memasuki rumah. Di halaman ada mobil milik ibu mertuaku, berarti dia ada disini.
"Waalaikumsalam, kowe ki Nyang ndi wae, mana ada istri yang keduluan suaminya sampai rumah."
"Kamu lihat itu Han, istrimu."
"Itu perempuan yang kamu banggakan."
"Aku dulu sudah merasa, dia perempuan gembos, kompong, tidak bisa punya anak."
"Sekarang bahkan merawatmu pun dia tak mampu," hatiku tercabik, sakit...
"Ibu!" seru Mas Han.
Suamiku berdiri mendekati aku, merangkul pundakku dan menuntunku duduk di sebelahnya.
"Saya hanya ingin jalan sebentar Bu," jawabku. Meskipun aku tahu usahaku untuk membela diri bisa dipastikan akan sia-sia.
"Nduk, wong wadon ki, ora pantes keluyuran ora karo bojone."
(Nduk, perempuan itu, tidak pantas pergi sendirian tanpa suami)
"Selain itu, lah wong suami waktunya pulang kok kamunya malah tidak ada di rumah."
"Bu, saya tidak apa-apa, saya malah senang Rumi keluar rumah," Mas Han menggenggam tanganku, dia yang menjawab kalimat ibu mertuaku yang panjang lebar, aku memilih untuk diam dan mendengarkan tanpa komentar.
"Kamu itu selalu seperti itu."
"Membela istri itu boleh, tapi buka matamu, istri macam apa yang kamu bela."
"Maaf ibu, memangnya saya istri yang seperti apa?" tanyaku. Apa yang selama ini aku lakukan untuk melayani suami masih kurang atau tidak cukup baik?
"Kamu istri mandul, Ndak bisa punya anak," betapa ringan kalimat itu keluar dari bibir ibu dan telak menikam jantungku.
"Ibu," Mas Han berdiri, aku menggenggam tangannya lebih erat.
"Makanya, kalau kamu tidak mau aku terus mengata-ngatai istrimu, turuti permintaan ibu, kamu harus bersedia menerima wanita yang mau mengandung anakmu."
"Ibu," kali ini aku tak bisa lagi menahan amarah suamiku, Mas Han berdiri, genggaman tanganku dikibaskan hingga terlepas.
"Sudah berapa kali Nehan bilang, Nehan minta ibu berhenti meminta Nehan untuk menerima perempuan lain."
"Meskipun itu hanya sekedar untuk menggantikan Rumi mengandung anak kami."
"Mas," aku memandang Mas Han teduh. Aku tidak mau mempunyai konflik dengan ibu mertuaku.
"Rum, ini tidak bisa dibiarkan, untuk memintamu mengikuti program hamil saja aku berpikir ribuan kali, apalagi ini, bagaimana aku bisa menitipkan anakku pada rahim wanita lain."
"Rum, dengarkan ibu," kali ini ibu mengambil tanganku dan membawaku duduk di sebelahnya.
"Kamu ingin kalian hidup bahagia bukan?" aku mengangguk.
"Kamu juga ingin kami, sebagai orang tua juga merasa bahagia bukan?" lagi-lagi aku mengangguk
"Kebahagiaan kami adalah cucu yang berlarian di rumah ini, Rum."
"Kalau kamu ingin membahagiakan kami dan orang tuamu juga, lapangkan hatimu untuk menerima perempuan lain yang akan hamil anak kalian."
Aku tidak mampu menjawab, kualihkan pandanganku ke arah Mas Han, aku membayangkan wajah bahagia ibuku kalau rumah tanggaku tentram. Aku membayangkan mertuaku memancarkan kebahagiaan di wajah mereka ketika ada anak berlarian di rumah kami.
Pada akhirnya aku hanya bisa berkata, "kami akan bicarakan nanti Bu, jangan khawatir, kami pasti menemukan jalan terbaik untuk mengatasi masalah ini."
"Rum..." suamiku sepertinya tahu apa yang ada dalam pikiranku.
"Kamu, Nehan...ikuti apapun nanti keputusan istrimu."
"Ibu tidak mau kamu beralasan lagi."
"Jangan bilang kalau mau ikut program hamil sekarang, ibu sudah tidak sabar menimang cucu."
Ibu mengambil tas nya yang diletakkan diatas meja dengan kasar. Kemudian meninggalkan kami dengan langkah cepat keluar rumah, "bicarakan yang baik, ibu akan berhenti mengganggu kalian kalau kalian segera menuruti permintaan ibu," seru ibu sambil berjalan tanpa menengok ke belakang.
"Rum," tanpa menunggu ibu benar-benar tidak terlihat, Mas Han menarikku masuk ke dalam kamar.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, jangan memaksaku melakukan sesuatu yang tidak masuk akal," ucap mas Han sambil menggenggam tanganku ketika kami sudah duduk di sisi ranjang.
"Mas, aku hanya ingin semua bahagia."
"Aku tidak apa-apa berkorban demi pernikahan kita, asal orang tuamu bahagia."
"Aku yang tidak bisa Rum."
"Versi ibu tentang ibu pengganti pasti beda dengan versi kita, kamu paham kan maksudku."
Hatiku berdesir hebat, tapi aku tahan, "aku tahu mas, bagi ibu yang dimaksud dengan ibu pengganti adalah seorang selir, iya kan?"
"Hahaha..., kamu bisa saja dengan istilahmu," tawa suamiku terdengar sumbang, kemudian dia melanjutkan, "apa kamu rela aku menikah lagi?"
"Aku tidak mau Rum," ada nada pilu disana.
Air mataku luruh, "maafkan aku mas."
"Untuk apa?"
"Untuk semua cinta dan kasih sayangmu."
"Aku juga mencintaimu mas, sangat," ucapku.
Tanpa kuminta Mas Han memelukku erat. Maafkan aku mas, maafkan atas apa yang akan aku lakukan nanti dan selanjutnya. Apapun itu, tolong mengerti aku, apa yang aku lakukan semua untuk kebaikan kita.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Sulati Cus
astaga mulut bumer kok g ada saringan nya
2022-09-23
1
Uthie
Ujian cinta....
2022-01-22
1
coralskie
ibu mertuanya galak banget
2021-12-15
1