Selama perjalanan pulang dari jalan-jalan, mobil yang kami tumpangi dikepung sepi. Tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami bertiga. Aku memandang keluar jendela melihat jalanan yang padat merayap.
Ting
Notifikasi pesan pada ponsel ku berbunyi. Aku ambil ponsel dari dalam tas, aku lihat ada pesan dari mas Han.
Kamu sedang dimana Rum?
Ha?...nggak biasanya suamiku menghubungi jam segini dan tanya aku sedang dimana. Aku tak membalas, kumasukkan kembali ponselku dalam tas.
Aku langsung masuk kamar ketika sampai rumah, duduk di sisi ranjang dan melamun. Pesan dari Mas Han yang aku terima tadi mengganggu pikiranku. Sejak kapan Mas Han mempermasalahkan hal sepele seperti itu.
Sekarang, ketika Mas Han berdiri di depanku, ingin sekali aku meluapkan kejengkelan tapi tidak bisa, kalau dipikir lagi pesan yang tadi dikirim juga masih wajar.
"Kemana kamu tadi Rum?" aku hanya memandang wajah suamiku sekilas, tidak ingin menjawab apalagi menjelaskan.
Aku berdiri meninggalkan Mas Han sendiri, menuju almari, mengambil handuk dan piyama untuk mas Han mandi dan ganti. Aku ingin dia mandi dulu biar semua setan jalanan yang nempel di tubuhnya pergi.
Dia paham benar bagaimana tabiatku. Mas Han tidak mengulang pertanyaannya. Sementara Mas Han mandi, aku menuju dapur dan meminta Mbok Nah menyiapkan minuman hangat dan kudapan. Aku membawa talam yang disiapkan Mbok Nah ke dalam kamar.
Aroma sabun menguar memenuhi kamar tidur kami. Suamiku keluar kamar mandi dengan wajah segar. Aku menantinya duduk di sofa dengan makanan yang tadi kubawa siap diatas meja.
"Apa ini Rum?" tanya suamiku turut duduk di sisiku.
"Teh hangat dan bolu karamel, tadi aku beli waktu jalan-jalan bareng Mbok Nah dan Pak Dul."
Mas Han tersenyum, dia memberiku pelukan hangat dan ciuman bertubi-tubi, "jadi kau tadi pergi dengan orang-orang kesayanganmu Rum?"
"Dari siapa Mas tahu kalau aku keluar rumah? lagi pula sejak kapan mas meributkan ijin ketika aku ingin keluar?"
"Ibu yang bilang," jawabnya singkat.
"Tapi ibu tidak bilang kalau aku keluar dengan Mbok Nah dan Pak Dul? padahal tadi kami bertemu bertiga."
"Ibu hanya bilang kalau bertemu kamu, sudahlah tidak usah diperpanjang lagi."
"Ingatkan aku, lain kali aku akan ijin dulu sebelum keluar rumah," aku meninggalkan Mas Han menikmati bolu karamel yang kusediakan. Aku beranjak nak ke ranjang untuk tiduran.
"Jangan ngambek Rum, aku khawatir kamu ngilang lagi," Mas Han menyusulku ke atas ranjang.
Kami tidur berhadapan, aku menatap suamiku, "Mas, kalau kamu ingin mengunjungi Sekar, aku sama sekali tidak keberatan."
Mas Han menghembuskan napasnya keras, "Itu lagi yang kamu bicarakan Rum."
"Aku serius, aku berharap dia hamil mas, kalau dia hamil berarti kamu harus sering mengunjungi anak itu, kamu nggak mau anak itu ada masalah dengan kehamilannya bukan?"
Mas Han termenung, mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuhku dalam pelukannya.
"Kalau itu lain cerita Rum. Aku ingin semuanya melalui kamu Rum, kamu harus sering-sering menanyakan keadaannya, kalau aku harus datang berkunjung, berarti harus berkunjung denganmu."
Aku mengangguk, baiklah mas aku ikuti maumu. Setelah ini aku akan lebih sering menghubungi anak itu untuk menanyakan keadaannya.
...***...
Tak terasa beberapa Minggu berlalu telah berlalu. Hubunganku dengan Sekar belum sepenuhnya baik. Seperti kesepakatan yang aku buat dengan Mas Han, aku chat Sekar setiap hari Sabtu, sesuatu yang memang sengaja kujadwal.
Hari ini pun begitu, pagi setelah aku dan Mas Han olah raga, aku akan menghubungi anak itu untuk menanyakan keadaannya. Tapi baru mengambil ponsel, dari pintu aku mendengar suara ibu.
"Han...," kebiasaan, kalau datang bukannya salam yang diucapkan tapi pasti memanggil salah satu dari kami penghuni rumah.
"Ibu mas," kami bergegas keluar menyambut.
"Kamu gimana sih jadi suami," ini kebiasaan yang lainnya, langsung main sambar saja, "kamu pasti tidak tahu kan kalau Sekar sedang hamil?"
Apa?! aku melirik mas Han, mas Han melakukan hal yang sama denganku. Ada yang terasa longgar dalam hati, kelegaan yang luar biasa.
Aku mendekati ibu, seperti biasa mencium tangannya, "benarkah Bu?" tanyaku memastikan, pasti ibu bisa melihat kebahagiaanku.
"Kamu juga, tahu kalau punya madu, tapi tidak perhatian sama sekali, piye toh, tanyakan apa yang dia butuhkan, suruh suamimu itu untuk mengunjungi Sekar," kali ini aku tidak akan mendebat bu, aku akan diam karena aku bahagia.
"Injih Bu," aku menggenggam tangan mas Han, senyumku terus mengembang. Apapun yang dikatakan ibu, akan aku iya kan saja. Aku sedang bahagia, hari ini aku akan menelan mentah-mentah apapun yang kudengar,
Ketika ibu berpamitan, aku tidak membuang waktu lagi, "mas, aku mau ke rumah Sekar."
Mas Han melihatku heran, "yakin kamu mau kesana sekarang, kemungkinan ibu sedang kesana sekarang," ah, iya...betul juga.
"Kalau begitu kamu hubungi Sekar, anak itu sedang mengandung anakmu mas, ayo...mas, ayo...," kenapa Mas Han wajahnya lempeng-lempeng saja sih.
"Kamu saja yang menghubungi, lagi pula kenapa dia nggak bilang sih kalau sudah hamil, padahal kamu kan selalu tanya bagaimana kabarnya, Rum. Masa harus ibu yang tahu lebih dulu, aku sedikit kesal tahu Rum!"
"Ayolah mas, sekarang ini kita mustinya bahagia, akan ada anak di rumah kita sebentar lagi. Aku tidak mau mempermasalahkan hal-hal kecil."
Mas Han memandangku tanpa melakukan apa-apa, sedikit demi sedikit senyumnya mengembang, "baiklah, aku ambil ponselku dulu, tapi kamu yang ketik pesannya ya..."
"Iya...iya," yang penting harus kamu yang menghubungi dia mas.
Alih-alih menunggu, aku ikut masuk kamar untuk mengambil ponsel, "eh...malah ikut kesini, aku kan bilang tunggu."
"Aku nggak sabar, kelamaan nunggu kamu bolak-balik."
Mas Han tertawa sambil mengacak rambutku.
"Ini," aku menerima telepon dari tangan Mas Han dan mengetikkan sesuatu.
"Ngomongnya gimana ya mas, ini kan pesan pertama kamu buat anak itu."
"Apa sajalah, langsung tanya juga nggak apa-apa, nggak usah pakai basa-basi."
"Ih kamu mas, makanya dari kemarin-kemarin kan aku sudah bilang, kirim pesan...kamu nggak mau nurut, begini kan jadinya, bingung mau ngomong apa."
"Lama Rum, sini," akhirnya aku serahkan ponselnya kembali pada Mas Han.
Bagaimana keadaanmu, kata ibu, sekarang kamu sedang mengandung.
Aku ambil ponsel dari tangan Mas Han dan membaca pesan yang dia kirim, apa ini?
"Mas, begini amat kirim pesannya," bukan aku yang menerima pesan, tapi aku jadi ikut gondok baca pesannya, "pakai basa basi dikit kek."
Tiba-tiba ponsel bergetar lama, "anak itu telepon mas, angkat...angkat, jangan lupa loud speaker dihidupkan."
Hallo, Assalamualaikum...
Waalaikumsalam, tumben kamu yang chat aku suami..., aku seperti dapat durian runtuh tadi bacanya.
Iya...Rumi yang suruh.
Aku memukul lengan suamiku keras, "aduh Rum, sakit," aku melotot, aku letakkan jari di depan bibirku. Suamiku ini lugu atau bodoh wanita mana yang mau di perhatikan karena diminta oleh wanita lain.
Ah...begitu rupanya, aku baik-baik saja kandunganku juga baik, aku bisa jaga diri, kalau begitu aku tutup dulu.
Sambungan telepon kami pun terputus. Aku pukul mas Han berkali-kali, "kamu lugu apa oon sih mas, dia kecewa tahu, kenapa pakai nyebut nama aku segala sih."
"Emang salah ya, kan memang kamu yang suruh Rum."
Haduh mas Han, punya suami nggak pengalaman ya begini ini. Tahunya langsung sembur nggak kenal apa itu yang namanya basa-basi. Semua diungkapin, nggak bisa milah milih mana yang musti disampaikan mana yang nggak. Masa iya aku musti ngajari dia bagaimana cara mendua.
...***...
Nggak usah aneh-aneh kamu Rum, kalau Nehan jadi pinter bermain, nanti bisa-bisa hatimu dipermainkan lo...
Happy reading gaess.
Buat kalian yang seneng main, jempolnya dimainkan boleh kok klik like atau komen.
Thank You sudah bersedia mampir dan baca kisah Nehan dan Rumi 😘🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Uthie
sikap Rumi gtu nanti jd penyesalan tersendiri dehh buatnya 😌
2022-01-22
1
Ish_2021
fourth
2021-12-17
0