Sayup-sayup terdengar muadzin mengaji sebelum mengumandangkan adzan. Aku membuka mataku yang masih terasa berat. Aku menggerakkan punggung dan tanganku bergantian, tubuhku sakit semua.
Semalam suamiku mengerjaiku habis-habisan. Dengan segala puji dan sanjungan cintanya, aku tak bisa menolak apapun yang dia inginkan. Sekarang dia masih bergelung dengan dunia mimpi yang sepertinya enggan dia tinggalkan.
Melihat dia yang masih nyenyak tertidur membuatku ikut malas untuk bangun. Sampai akhirnya aku kembali menarik selimut dan meringkuk di bawah lengan suamiku. Aroma tubuhnya memberiku rasa nyaman dan menenangkan. Entah bagaimana dan pada detik keberapa, aku kembali memejamkan mata dan tertidur.
"Rum..." aku dengar suara suamiku memanggilku perlahan. Beberapa kali kurasakan kecupan di pipi dan bibirku. Aroma nafasnya begitu segar.
"Mmm...," aku berusaha membuka mataku yang masih saja enggan kuajak bangun. Aku malah menempelkan tubuhku dan merangkul tubuh suamiku erat.
"Kamu buka mata sebentar saja, matahari hampir muncul Rum," bisik suamiku tepat di telinga.
"Jam berapa sekarang, mas?" tanyaku masih dengan mata terpejam.
"Jam lima."
"Apa?!"
"Mas...," teriakku, aku melompat turun dari ranjang, selimut aku tinggal begitu saja. Aku dengar tawa mas Han mengudara melihat tingkahku. Tubuh polosku kubawa lari masuk ke kamar mandi.
"Jangan lama-lama kalau mandi, atau akau akan ikut masuk dan kamu harus mandi besar sekali lagi."
"Jangan coba-coba mas, kamu sudah menggangguku semalaman," teriakku.
Waktu keluar kamar mandi ternyata Mas Han tidak ada dalam kamar, aku bisa sholat shubuh dengan tenang. Pagi ini aku ingin menghabiskan sedikit lebih banyak waktu di atas sajadah, berpasrah dan meminta dikuatkan hati ini.
"Mau keramas lagi?" tanya suamiku sambil memeluk dari belakang ketika aku merapikan mukena dan melipat sajadah.
"Aku mau lipat mukena sama sajadah dulu mas," jawabku berusaha melepaskan diri.
"Tuh..." dia menunjuk meja rias dengan gerakan matanya. Diatasnya sudah ada nampan dengan nasi goreng plus telor mata sapi dan segelas susu.
Aku memutar tubuhku dan menatap matanya, "terimakasih," ucapku sambil menundukkan pandangan.
"Aku suamimu Rum, tatap mataku."
"Aku malu mas," jawabku.
"Aku mencintaimu Rum, menyukai sikap malu-malumu, menyukai kepatuhanmu yang tanpa syarat, menyukai semua yang ada padamu."
Aku melipat tanganku di pangkuan, mendengarkan semua yang Mas Han ucapkan selalu membuatku salah tingkah.
"Sekarang kamu makan dulu, itu sudah aku siapkan. Aku sendiri yang menggoreng nasi dan telornya," wajah suamiku begitu semangat menanti aku mencicipi masakannya. Ada senyum tersungging di bibirnya.
Aku tersenyum melihat tampilan nasi goreng diatas piring, "pasti enak," pujiku. Aku mendekati meja dan mengambil piring, menyuapkan sesendok nasi, "mas pengen nikah lagi?" candaku.
Mendengar kalimatku senyumnya secepat kilat memudar, "kalau ngomong kira-kira Rum, kamu mau aku nikah lagi?" semburnya.
"Nggak lah mas, aku bercanda, gitu aja ngambek, mecucu, tak cium lo ya."
"Lah, itu tadi bilang, nikah lagi."
"Habis nasinya sedikit keasinan."
"Keasinan ya, mau dibuatkan lagi?"
"Nggak, ah...ini saja, tak habiskan, enak kok," kulahap nasi goreng buatan suamiku dengan suapan-suapan besar.
"Rum."
"Hmmm," aku memandang suamiku.
"Semalam ibu kirim pesan,"
Aku meletakkan sendok dan piring yang isinya tandas ke atas nampan, menikmati susu hangat berusaha menenangkan debaran jantungku yang tiba-tiba datang.
"Nanti siang ibu akan kemari."
Aku masih diam tidak menjawab, aku berharap suamiku menuntaskan ceritanya.
"Aku punya permintaan padamu Rum."
Kali ini aku mendekati suamiku yang duduk di sisi ranjang, kupeluk lengannya dan kurebahkan kepalaku di dadanya, "apapun untukmu mas."
Mas Han mengecup puncak kepalaku lembut, "apapun yang dikatakan ibu atau yang dilakukan ibu nanti, aku minta kamu diam, serahkan semua padaku Rum."
Aku mengangguk, "aku juga punya permintaan padamu mas."
"Hmm, apa?"
"Sebelum menjawab, aku mau kamu berjanji dulu padaku," tanganku membelai dada suamiku.
"Jangan minta aku berjanji yang tak bisa aku penuhi Rum."
Aku melepaskan pelukan, memberi sedikit jarak agar aku bisa memandang wajah tampannya ketika berbicara, ku beri dia senyum terindah yang kupunya, "setelah ibu pulang, apapun yang aku minta nanti, kamu harus menuruti, mas."
"Pasti, apapun maumu akan aku penuhi Rum, selama itu masuk akal dan demi kebaikan kita."
Aku peluk lagi suamiku, aku mungkin tidak tahu apa tujuan ibu kesini nanti siang, mas. Tapi sepertinya aku bisa meraba maksud kedatangannya. Semoga dugaanku salah, tetapi kalaupun apa yang kupikirkan benar, aku sudah memutuskan semuanya untuk kita. Semoga kamu bersedia melakukannya.
"Kamu mau sampai kapan memelukku seperti ini Rum?" tanya suamiku, tetapi tangannya makin erat menenggelamkan tubuhku dalam kehangatan tubuhnya.
"Sampai kamu yang melepaskan aku mas."
"Aku nggak akan pernah melepas kamu Rum."
"Meskipun aku merasa sesak dan tersakiti?" Mas Han diam tidak menjawab, tapi aku bisa merasakan limpahan kasih yang luar biasa untukku.
Aku sedikit menggeliat, "aku mau keluar mas."
Mas Han melepaskan pelukannya, "karena ini hari minggu, aku akan mengikutimu kemana-mana, jangan mengusirku."
Aku tertawa, kita lihat saja, berapa lama kamu betah mengikuti aku.
"Selamat pagi mbok," mbok Nah sudah siap di dapur dengan belanjaan dan peralatan tempurnya.
"Selamat pagi ndoro putri, ndoro Kakung."
"Mau apa ke dapur? Ayo sana ndoro putri sama ndoro Kakung, menikmati waktu berdua, biar saya membereskan urusan dapur."
"Hmmm, mbok salah, hari ini kami yang akan ngurusi dapur."
"Tadi pagi Mas Han sudah masuk dapur untuk masak nasi goreng, sekarang Mas Han yang akan membantu saya masak buat tamu istimewa nanti siang, mbok," jelasku sesekali melirik ekspresi suamiku tercinta.
Ternyata wajahnya bengong bibirnya juga menganga, "jangan suruh aku membantumu memasak Rum, kan aku bilang mengikutimu, bukan membantu," protesnya.
"Sayang tenaganya mas, ayo!" aku menarik tangannya. Mengambil apron dan memasangkan pada tubuh Mas Han.
"Apa ini Rum, aku malu tahu," beberapa mbak yang bekerja di dapur meninggalkan kami sambil tertawa kecil. Tubuh suamiku yang atletis terbungkus apron menjadi tontonan asik yang tidak setiap hari bisa dilihat.
"Kamu makin ganteng mas," pujiku sambil memakai apronku sendiri, aku tertawa kecil.
"Nggak lucu Rum," lag-lagi kalimatnya bernada protes.
"Sekarang, mas kupas bumbu-bumbu ini dan ulek jadi satu."
"Rum..."
"Ayo, hari ini tidak boleh protes," aku siapkan cobek dan ulekan di depannya.
Baru beberapa menit suamiku teriak, "Rum, mataku pedih."
Menit berikutnya, "Rum tanganku panas."
"Hahaha...jangan manja mas, ngurusin pegawai yang jumlahnya ratusan bisa nyantai, masa kalah sama bawang dan cabai yang cuman beberapa biji."
Sekali-sekali mengerjai mas suami ternyata asik juga, "mbok siapkan tempatnya ya, ini masakannya sudah hampir siap."
"Baik ndoro putri," bahkan mbok Nah pun tertawa-tawa kecil melihat tingkah suamiku yang ribut dari tadi.
"Sekarang bersihkan semua kulit bawang yang kamu serakkan itu mas," perintahku lagi. Dapur sudah seperti kapal pecah saja. Menghaluskan bumbu terciprat kemana-mana, kulit bawang berserakan, dan aku begitu menikmati ekspresi lucu suamiku.
"Ada apa ini, apa-apaan kamu Han?!" tiba-tiba terdengar suara teriakan ibu. Ketika aku menoleh ibu berdiri di pintu penghubung antara dapur dan taman yang terdapat di halaman tengah. Dapur memang kami pisahkan letaknya dari rumah utama.
"Ibu," senyumku menghilang, wajahku berubah pias.
"Kamu menyuruh suamimu masak Rum?" matanya memerah.
"Tidak Bu, kami hanya bersenang-senang," jawabku berusaha menjelaskan.
"Ini yang kamu sebut senang-senang?"
"Kamu meminta suamimu masuk ke dapur, dan ini kamu sebut senang-senang?!"
"Bu," mas Han berusaha menenangkan, tangannya kesulitan melepas apron yang terikat di tubuhnya.
"Kamu perempuan tidak tahu diuntung, kurang ajar sama suami."
"Berani-beraninya kamu meminta suamimu masuk dapur, ora patut, ngerti po ra Kowe?" ibu meneriakiku.
Mas Han memeluk ibunya dan membawanya keluar dari dapur, apron masih menempel di tubuhnya, rupanya dia gagal melepas apron itu tadi. Sambil berjalan pergi aku masih mendengar Mas Han membelaku, "Han yang minta membantunya Bu, ini kan hari Minggu, lagi pula ndak ada salahnya seorang laki-laki masuk dapur."
Mas Han mengedipkan mata padaku. Tanganku yang sedikit gemetar berusaha melepas ikatan apron di punggung. Ternyata memang susah melepas apron kalau lagi gemetar begini. Setelah aku berhasil melepas apron, aku berjalan mengikuti suami dan ibu mertuaku masuk ke ruang tengah.
Baru saja berhenti melangkah, apron melayang tepat mengenai wajahku, "lipat ini," teriak ibu masih dengan nada tinggi. "Ingat Rum, derajatmu itu jauh dari kami, awas kalau kamu berani kurang ajar lagi."
"Bu..." aku dengar suara Mas Han menenangkan ibunya.
Mas Han mendatangiku, setelah ibunya sedikit tenang, dirangkulnya bahuku dan dituntunnya aku untuk duduk di sebelahnya. tangannya menggenggam tanganku. Tenang Rum, yang penting adalah sumimu mencintai kamu.
"Broto, bawa Sekar masuk,"
Sekar...siapa Sekar?
"Iya yu...," Lik Broto adalah adik dari ibu mas Nehan, setelah dipanggil, dia masuk ruang tengah dengan seorang perempuan cantik yang usianya sepertinya jauh dibawahku.
"Duduk Nduk," perintah ibu pada perempuan muda nan cantik itu, tubuhnya juga molek menggiurkan mata lelaki manapun yang memandangnya, aku yakin itu.
"Perempuan muda ini namanya Sekar Lalita, dia biasa dipanggil Sekar," aku melirik suamiku. Ya Tuhan ternyata mata suamiku lurus memandangku yang duduk di sisinya, aku menunduk, tersenyum kecil karena bahagia dan malu.
"Iya Bu," karena suamiku tidak menjawab akhirnya aku yang menjawab kalimat ibu mertuaku.
"Selamat siang mbak, mas," senyumnya juga manis sekali.
Aku menepuk punggung tangan suamiku dan memberi tanda untuk menjawab salam dari perempuan ayu yang duduk di depan kami.
"Iya, siang," jawab suamiku tanpa ekspresi.
"Siang," jawabku hampir bersamaan dengan mas Nehan tetapi dengan ekspresi yang berbeda.
"Dia ini kerabat jauh dari Lik Broto, masih keturunan ningrat juga," lanjut ibu dengan nada angkuh.
"Injih ibu," jawabku.
Aku memang bukan ningrat, tapi bukan aku yang minta untuk masuk dalam kehidupan kalian. Mas Han lah yang datang ke ibu ku dan meyakinkannya kalau bisa membuat hidupku bahagia, pedih rasanya setiap kali kata ningrat disebut.
Lik Broto hanya diam membiarkan ibu bicara, tapi aku tahu Lik Broto adalah tipe orang yang selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Asap rokok terus mengepul dari bibir dan hidung Lik Broto.
"Aku punya tujuan membawa Sekar kemari," aku masih menunggu apa yang akan disampaikan oleh ibu.
"Iya, dia akan menjadi istri kedua Nehan, biar kalian memiliki keturunan," telingaku bagai disengat lebah ketika mendengar kalimat yang disampaikan Lik Broto. Kepalaku kebas, telingaku terasa lebih tebal dari sebelumnya, wajahku memanas. Bagaimana ini?
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Uthie
paling juga wanita gampangan yg diperdaya sama Lik Broto....
2022-01-22
1