Ibu baru saja meninggalkan rumah. Aku masih bisa memandang punggungnya masuk kedalam mobil yang menanti di halaman. Masih terngiang di telingaku apa yang ibu sampaikan tadi.
"Kamu sama Nehan sudah menikah selama 8 tahun Rum, itu bukan waktu yang sebentar."
"Mana usahamu untuk bisa punya momongan?"
"Bapak sama ibu sudah tua, pastinya kami ingin ada penerus keluarga."
" Siapa yang akan meneruskan semua usaha bapak dan suamimu kalau kalian tidak memiliki keturunan."
Aku mendengarkan tanpa bersuara, karena aku faham benar ketika aku menjawab, aku hanya akan menjadi seorang menantu yang kurang ajar.
"Kamu jangan diam saja, jawab pertanyaan ibu!"
"Setahuku selama ini aku tidak memiliki menantu bisu."
Aku berusaha tersenyum, "kami sudah berusaha mengikuti program hamil Bu."
"Kalau perlu ikut bayi tabung Rum."
"Kalau program hamil yang biasa belum tentu jadi," wajah ibu mulai menunjukkan rasa kesal.
"Tapi Mas Nehan ingin yang alami Bu."
"Ah, kamu, bawa-bawa nama suami, kalau kamu yang minta, Nehan pasti mau mengikuti maumu."
"Kamu nya saja yang kurang mau berusaha."
"Tapi, Bu..."
"Sudah, kamu kalau diberi kesempatan untuk menjawab jadi kurang ajar!"
Aku menarik nafas, cangkir teh yang aku pegang terasa makin panas. Harusnya sekarang sudah dingin, tapi ini lebih panas dari sebelumnya.
Ibu mengambil tasnya yang tergantung di kursi, merapikan kebayanya dan mengatakan sesuatu sebelum melangkah pergi.
"Aku akan menemui Nehan, kamu siapkan dirimu, apapun nanti yang aku putuskan, kamu hanya perlu menurut."
Aku mengangguk sambil tersenyum dan meraih tangan ibu untuk kucium.
"Sedang memikirkan kalimat ndoro sepuh, ndoro putri?" suara mbok Nah membuyarkan lamunanku. Mbok Nah adalah seorang abdi yang sudah mengikuti keluarga suamiku bertahun-tahun, bahkan Mbok Nah lah yang merawat suamiku waktu kecil.
"Sedikit Mbok," kalimat ibu yang terakhir tadi membuat hatiku khawatir.
"Ndoro sepuh memang seperti itu, jangan dipikirkan," Mbok Nah membersihkan dua cangkir teh yang ada diatas meja.
"Tehnya masih panas ya mbok?"
"Ah, tidak kok ndoro putri, tehnya sudah dingin," tapi kenapa tadi waktu aku bicara dengan ibu teh itu tidak mau dingin. Kalau dia dingin, paling tidak dia akan bisa mendinginkan hatiku.
"Ya sudah mbok, tolong bersihkan ya."
"Baik, ndoro putri."
Aku membawa kakiku menuju kebun mawar di halaman belakang. Aku sangat suka mawar, indah karena memiliki banyak warna, tapi memang harus hati-hati karena mawar adalah jenis bunga yang memiliki duri.
Mbok Nah mengikutiku ke kebun belakang setelah selesai membersihkan meja ruang tengah tempat aku dan ibu tadi berbincang.
"Sudah selesai mbok membersihkan mejanya?"
"Kalau sudah, tolong ambilkan saya gunting yang ada di meja di sana itu," ditengah kebun ada sebuah meja dan dua buah bangku dengan posisi berhadapan yang biasanya digunakan untuk istirahat setelah lelah merawat kebun.
"Ini ndoro putri," sebuah gunting diulurkan kepadaku.
"Apa tidak sebaiknya si Jono saja yang melanjutkan, jangan terlalu capek ndoro putri," Mbok Nah memang seorang abdi yang selalu perhatian padaku. Dia bilang kalau dia sangat menyayangi Mas Han, karena Mas Han sangat mencintaiku, jadi Mbok Nah juga sangat menyayangiku.
"Tidak mbok, kali ini saya ingin melakukannya sendiri."
"Sambil mencari keringat."
Cara ini adalah satu-satunya cara yang aku tahu untuk mengurangi beban hatiku. Ibu yang selalu mendesak ku, sedangkan Mas Han selalu menolak permintaanku dengan alasan tidak tega melihatku menanggung sakit. Entah siapa yang bilang kalau program bayi tabung itu menyakitkan, aku sendiri tidak tahu.
Padahal kami sudah melakukan semua cara, termasuk juga mencari pengobatan alternatif yang katanya manjur dan bisa membuat seseorang dengan mudahnya hamil. Tapi entah mengapa itu tidak berguna bagi kami berdua.
Karena kegalauan hatiku, aku putuskan untuk mendatangi kantor Mas Han, satu hal yang selama ini belum pernah aku lakukan.
Aku meninggalkan kebun bunga menuju kamar, setelah menutup pintu, aku lepaskan pakaianku sambil berjalan menuju kamar mandi. Tubuh polosku memantul indah pada sebuah kaca besar di kamar mandi.
Ah, tubuhku masih tetap sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Setiap kali kami bercinta, Mas Han selalu membisikkan kata, "kamu selalu cantik Rum, tubuhmu sama sekali tak berubah, tetap sama seperti dulu."
Aku tersenyum, tapi sebentar kemudian senyumku menghilang. Kenapa tubuhku tetap sama? Aku ingin seperti wanita yang lain setelah menikah. Aku ingin ada selulit di perutku, aku ingin tubuhku menjadi lebih gemuk, atau ukuran cup behaku berubah menjadi lebih besar, karena itu menandakan kalau aku pernah hamil.
Dalam hati aku berteriak, wahai para wanita jangan keluhkan tubuhmu yang banyak berubah, karena aku iri pada kalian. Lihatlah tubuhku yang tetap langsing dan mulus, aku benci itu, karena aku menginginkan tawa bayi atau celoteh balita dalam rumahku.
Ada setitik air mata mengalir di sudut-sudut mataku. Tapi kemudian aku menarik diriku kembali ke dunia nyata, aku harus kuat, air mataku hanya boleh mengalir untuk sesuatu yang penting.
Aku berdiri di bawah shower, membiarkan air mengalir menghapus air mata yang tadi sempat tumpah. Setelah mandi badanku menjadi segar dan hatiku lebih tenang. Mbok Nah berdiri menungguku di depan kamar mandi.
"Mau pakai baju apa ndoro putri?"
Mataku melirik sekilas ke arah ruang ganti yang terbuka. Ada banyak baju, aksesoris dan sepatu berjajar rapi.
"Pilihkan saya pakaian apa saja dengan warna hitam putih mbok."
"Saya ingin tampil dengan kesan rapi dan tidak terlalu mencolok."
"Karena hari ini pertama kali saya mendatangi kantor Mas Han."
Mbok Nah tersenyum, dia masuk dan memilihkan ku pakaian yang sesuai lengkap dengan aksesoris dan sepatu.
"Monggo Ndoro Putri, semua sudah saya siapkan."
"Terimakasih mbok," aku melihat pilihan pakaian dari Mbok Nah tidak terlalu buruk.
"Seleramu bagus juga mbok," godaku.
"Wo alah, ndoro putri ini bercanda, saya hanya suka melirik teman-temannya ndoro sepuh yang kadang suka diajak kemari."
"Oh, iya benar," jawabku sambil tertawa.
"Seharusnya ndoro putri memilih sendiri pakaian yang mau dipakai."
"Tidak, ini saja, sudah sesuai kok, untuk saya pakai ke kantor Mas Han."
"Sekarang Mbok Nah keluar, beri tahu Pak Dul untuk menyiapkan mobil, ya," pintaku kepada perempuan sepuh yang setia itu.
"Baik ndoro putri."
Aku memakai baju yang disediakan mbok Nah lengkap dengan aksesorisnya. Sebuah tas tangan sedang dan sebuah sepatu tanpa hak warna silver juga sudah siap. Rambutku aku Gelung rendah. Semoga dandananku ini sesuai dan tidak memalukan.
Pak Dul menunggu di sisi pintu mobil yang sudah terbuka ketika aku keluar. Dia adalah sopir serba bisa yang disediakan Mas Han khusus untuk mengantarku kemana-mana, padahal dia sendiri tidak mau menggunakan jasa sopir.
"Sudah siap ndoro putri?" tanya Pak Dul sopan sekali.
"Iya, mari pak, kita ke kantor bapak ya."
"Siap ndoro putri, serahkan semuanya pada saya," ucap Pak Dul menutup pintu setelah aku duduk di bangku belakang.
"Biasanya sedikit macet ndoro putri," ucap Pak Dul ketika mobil mulai melaju perlahan.
"Iya, saya tahu."
"Kita santai saja, pak. Tidak perlu terburu-buru," aku tak ingin perjalanan siang ini tergesa, biarkan aku menikmati pemandangan jalanan kota di siang hari, pemandangan yang sudah lama tidak kulihat.
Selama perjalanan, Pak Dul banyak bercerita, sesekali dia melihat kaca spion untuk melihatku yang duduk di belakang. Bagaimana suasana kantor, nanti siapa yang harus kutanya. Aku tersenyum dan mengiyakan semua yang disampaikan lelaki tengah baya itu, meskipun aku faham betul bagaimana harus bersikap nanti di kantor suamiku.
Ternyata kantor suamiku banyak berubah, sekarang gedungnya lebih megah dan modern. Dulu waktu kami awal menikah aku pernah datang beberapa kali, tapi setelah itu aku lebih senang diam di rumah sambil mengurus mawar-mawarku. Untuk menghadiri agenda kantor pun tidak selalu aku sanggupi, aku akan hadir pada acara yang sangat penting saja.
Aku langsung menuju resepsionis dan menanyakan dimana kantor Mas Han, suamiku. Dari situ aku tahu kalau Mas Han sekarang menempati lantai 13. Aku sampaikan kalau aku adalah istrinya dan ingin memberi kejutan, jadi petugas resepsionis aku minta untuk tidak menghubungi Mas Han.
Sampai di lantai yang aku tuju, ternyata hanya ada satu ruangan saja. Di pintunya juga tertulis angka 13, apa-apaan suamiku ini, sikapnya yang memilih lantai tiga belas menjadi lantai tertinggi dan angka 13 yang menempel di pintu membuat kepalaku mengembang dan telingaku menjadi panas, tahu kenapa? karena tiga belas adalah tanggal kelahiran ku.
Aku memacu langkahku lebih cepat, tidak sabar untuk memberinya sebuah kejutan. Ketika aku akan mengetuk pintu, tanganku kutarik kembali karena mendengar suara ibu dan Mas Han sedang berdebat di dalam.
"Kami sudah melakukan semuanya Bu."
"Mulai medis sampai alternatif, bahkan Nehan mendatangi orang pintar yang katanya bisa memudahkan seseorang punya keturunan."
"Kita hanya harus menunggu Bu, sabar."
"Dokter bilang kami sehat kok, tidak ada yang salah dengan kami berdua."
"Ibu tidak mau tahu Han."
"Kamu harus segera punya anak, kalau tidak, ibu akan mencari cara lain agar kamu punya anak."
"Cara apa lagi yang ibu maksud?" aku dengar suara Mas Han bernada ingin membantah ibunya.
"Aku akan Carikan kamu perempuan yang bisa mengandung anakmu."
Tubuhku kaku, kakiku gemetar, tanganku bahkan tidak bisa ku gerakkan. Aku diam mematung, tanpa tahu harus bagaimana. Otakku rasanya mati. Tuhan...apa yang harus aku lakukan sekarang? teriakku dalam hati.
...***...
Aku masih berdiri di tempatku. Tidak mampu beranjak. Tanganku ku ulurkan dan menyentuh gagang pintu, tapi kemudian kutarik kembali. Ku keluarkan ponselku, aku mengetuk nama Pak Dul. Aku balik arah, sambil berjalan aku menghubungi Pak Dul, "pak, tunggu saya di depan lobi, kita pulang."
Melihatku berjalan tergesa, petugas resepsionis di meja depan mengejarku, "maaf Bu, apakah sudah bertemu dengan bapak?"
Aku lupa kalau ekspresi dan sikapku bisa mengundang tanya, "sudah, sudah...tidak apa, mmm..., tolong jangan sampaikan sama bapak kalau saya kesini ya," pintaku.
"Baik, Bu."
"Selamat jalan Bu," aku masih mendengarnya memberikan salam terakhir sebelum aku pergi, aku tersenyum dan masuk dalam mobil.
"Kok cepat, Bu?"
"Bapak tidak ada?" tanya Pak Dul yang heran karena aku sudah meminta pulang.
Aku tidak menjawab, "kita ke pesisir pinggir kota ya, pak," pintaku pada Pak Dul.
"Baik Bu," aku tidak peduli meskipun aku tahu Pak Dul pasti memendam tanya dalam hati.
Selama perjalanan, pikiranku berkutat pada perkataan ibu yang akan mencarikan perempuan lain untuk suamiku. Bukan salahku kalau aku belum memiliki momongan, lagi pula Mas Han yang tidak setuju melakukan proses bayi tabung.
"Bayi tabung itu sakit Rum," ucapnya waktu itu.
"Tapi aku ingin mencoba Mas," pintaku. Aku memang benar-benar menginginkan seorang anak dalam rumah tangga kami.
"Aku tidak tega melihatmu menahan sakit," jawabnya.
"Belum tentu juga akan berhasil."
Kemudian dia akan menutup dengan satu kata yang selalu mampu membuatku luluh dan mengalah menuruti permintaannya, "aku mencintaimu Rum, kamu saja sudah cukup bagiku, aku tidak membutuhkan yang lain," sekarang apa yang harus kulakukan.
"Ndoro putri tidak apa-apa?" suara Pak Dul menarikku kembali pada realita.
"Ah, iya pak, saya baik-baik saja," tak lupa kuberikan sebuah senyum untuk membuktikan bahwa aku baik-baik saja.
Aku memejamkan mata, lelah tiba-tiba menghampiri. Kurebahkan tubuhku pada sandaran kursi, untuk mengistirahatkan otak dan hatiku.
"Ndoro, kita sudah sampai, Ndoro putri...," aku merasa tubuhku digoyang perlahan. Ternyata aku tertidur, entah untuk berapa lama, ketika aku membuka mata mobil sudah berhenti.
Aku membenahi posisi dudukku, "bapak tunggu disini ya, saya akan jalan-jalan sebentar, mencari angin," ucapku.
"Tapi udaranya panas."
"Ini masih jam satu, apa tidak sebaiknya nanti sore saja, ndoro putri," mungkin Pak Dul heran melihatku ingin keluar dari mobil yang notabene nyaman ketika udara sedang panas di luar.
"Tidak pak, saya juga mau sholat dhuhur dulu."
"Oh begitu, Inggih Ndoro putri, saya juga mau sholat, mau saya temani jalan ke mushola?"
Sebuah tawaran yang sulit ditolak, "apa tidak apa-apa kita meninggalkan mobil disini?" tanyaku, karena aku melihat tidak ada petugas parkir yang berjaga.
"Tidak apa, Ndoro Kakung membeli mobil yang memiliki pengamanan maksimal," ucap Pak Dul menjawab kekhawatiranku. Suamiku, yah...mana mungkin dia akan membeli barang dengan kualitas sembarangan.
"Baik, ayo Pak Dul temani saya jalan ke Mushola," paling tidak, aku tidak sendiri dalam suasana hati kacau begini.
Setelah sholat, Pak Dul memutuskan untuk tinggal di Mushola, sedangkan aku memilih untuk menyusuri pantai. Memandang laut yang luas membuat hatiku lebih lapang, hembusan angin seperti membawa gundahku pergi.
Aku tarik nafas dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, membuang semua beban yang tiba-tiba makin berat, setelah kutahan bertahun lamanya.
Aku duduk di pantai beralaskan sepatu. Bayangan wajah Ibu yang bahagia ketika Mas Nehan melamarku dulu kembali menari di depan mata. "Ibu, apa yang harus kulakukan sekarang?"
Lembayung senja menggantung di kaki cakrawala, sepertinya sekarang waktunya untuk pulang. Mas Nehan pasti khawatir kalau dia sudah sampai rumah, sedangkan aku tidak ada.
Kulangkahkan kakiku menuju mushola, membangunkan Pak Dul yang tertidur. Pantas saja pesanku tidak juga dijawab.
"Maaf ndoro, saya ketiduran, apakah sudah waktunya untuk pulang?" kasihan matanya yang mengantuk terpaksa terbuka karena kubangunkan.
"Iya pak Dul, sudah sore kasihan Mas Han kalau saya tidak ada di rumah."
Aku pulang membawa hati yang lebih ringan. Semua beban aku buang di bentangan laut luas.
"Assalamualaikum," ucapku ketika memasuki rumah. Di halaman ada mobil milik ibu mertuaku, berarti dia ada disini.
"Waalaikumsalam, kowe ki Nyang ndi wae, mana ada istri yang keduluan suaminya sampai rumah."
"Kamu lihat itu Han, istrimu."
"Itu perempuan yang kamu banggakan."
"Aku dulu sudah merasa, dia perempuan gembos, kompong, tidak bisa punya anak."
"Sekarang bahkan merawatmu pun dia tak mampu," hatiku tercabik, sakit...
"Ibu!" seru Mas Han.
Suamiku berdiri mendekati aku, merangkul pundakku dan menuntunku duduk di sebelahnya.
"Saya hanya ingin jalan sebentar Bu," jawabku. Meskipun aku tahu usahaku untuk membela diri bisa dipastikan akan sia-sia.
"Nduk, wong wadon ki, ora pantes keluyuran ora karo bojone."
(Nduk, perempuan itu, tidak pantas pergi sendirian tanpa suami)
"Selain itu, lah wong suami waktunya pulang kok kamunya malah tidak ada di rumah."
"Bu, saya tidak apa-apa, saya malah senang Rumi keluar rumah," Mas Han menggenggam tanganku, dia yang menjawab kalimat ibu mertuaku yang panjang lebar, aku memilih untuk diam dan mendengarkan tanpa komentar.
"Kamu itu selalu seperti itu."
"Membela istri itu boleh, tapi buka matamu, istri macam apa yang kamu bela."
"Maaf ibu, memangnya saya istri yang seperti apa?" tanyaku. Apa yang selama ini aku lakukan untuk melayani suami masih kurang atau tidak cukup baik?
"Kamu istri mandul, Ndak bisa punya anak," betapa ringan kalimat itu keluar dari bibir ibu dan telak menikam jantungku.
"Ibu," Mas Han berdiri, aku menggenggam tangannya lebih erat.
"Makanya, kalau kamu tidak mau aku terus mengata-ngatai istrimu, turuti permintaan ibu, kamu harus bersedia menerima wanita yang mau mengandung anakmu."
"Ibu," kali ini aku tak bisa lagi menahan amarah suamiku, Mas Han berdiri, genggaman tanganku dikibaskan hingga terlepas.
"Sudah berapa kali Nehan bilang, Nehan minta ibu berhenti meminta Nehan untuk menerima perempuan lain."
"Meskipun itu hanya sekedar untuk menggantikan Rumi mengandung anak kami."
"Mas," aku memandang Mas Han teduh. Aku tidak mau mempunyai konflik dengan ibu mertuaku.
"Rum, ini tidak bisa dibiarkan, untuk memintamu mengikuti program hamil saja aku berpikir ribuan kali, apalagi ini, bagaimana aku bisa menitipkan anakku pada rahim wanita lain."
"Rum, dengarkan ibu," kali ini ibu mengambil tanganku dan membawaku duduk di sebelahnya.
"Kamu ingin kalian hidup bahagia bukan?" aku mengangguk.
"Kamu juga ingin kami, sebagai orang tua juga merasa bahagia bukan?" lagi-lagi aku mengangguk
"Kebahagiaan kami adalah cucu yang berlarian di rumah ini, Rum."
"Kalau kamu ingin membahagiakan kami dan orang tuamu juga, lapangkan hatimu untuk menerima perempuan lain yang akan hamil anak kalian."
Aku tidak mampu menjawab, kualihkan pandanganku ke arah Mas Han, aku membayangkan wajah bahagia ibuku kalau rumah tanggaku tentram. Aku membayangkan mertuaku memancarkan kebahagiaan di wajah mereka ketika ada anak berlarian di rumah kami.
Pada akhirnya aku hanya bisa berkata, "kami akan bicarakan nanti Bu, jangan khawatir, kami pasti menemukan jalan terbaik untuk mengatasi masalah ini."
"Rum..." suamiku sepertinya tahu apa yang ada dalam pikiranku.
"Kamu, Nehan...ikuti apapun nanti keputusan istrimu."
"Ibu tidak mau kamu beralasan lagi."
"Jangan bilang kalau mau ikut program hamil sekarang, ibu sudah tidak sabar menimang cucu."
Ibu mengambil tas nya yang diletakkan diatas meja dengan kasar. Kemudian meninggalkan kami dengan langkah cepat keluar rumah, "bicarakan yang baik, ibu akan berhenti mengganggu kalian kalau kalian segera menuruti permintaan ibu," seru ibu sambil berjalan tanpa menengok ke belakang.
"Rum," tanpa menunggu ibu benar-benar tidak terlihat, Mas Han menarikku masuk ke dalam kamar.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, jangan memaksaku melakukan sesuatu yang tidak masuk akal," ucap mas Han sambil menggenggam tanganku ketika kami sudah duduk di sisi ranjang.
"Mas, aku hanya ingin semua bahagia."
"Aku tidak apa-apa berkorban demi pernikahan kita, asal orang tuamu bahagia."
"Aku yang tidak bisa Rum."
"Versi ibu tentang ibu pengganti pasti beda dengan versi kita, kamu paham kan maksudku."
Hatiku berdesir hebat, tapi aku tahan, "aku tahu mas, bagi ibu yang dimaksud dengan ibu pengganti adalah seorang selir, iya kan?"
"Hahaha..., kamu bisa saja dengan istilahmu," tawa suamiku terdengar sumbang, kemudian dia melanjutkan, "apa kamu rela aku menikah lagi?"
"Aku tidak mau Rum," ada nada pilu disana.
Air mataku luruh, "maafkan aku mas."
"Untuk apa?"
"Untuk semua cinta dan kasih sayangmu."
"Aku juga mencintaimu mas, sangat," ucapku.
Tanpa kuminta Mas Han memelukku erat. Maafkan aku mas, maafkan atas apa yang akan aku lakukan nanti dan selanjutnya. Apapun itu, tolong mengerti aku, apa yang aku lakukan semua untuk kebaikan kita.
...***...
Sayup-sayup terdengar muadzin mengaji sebelum mengumandangkan adzan. Aku membuka mataku yang masih terasa berat. Aku menggerakkan punggung dan tanganku bergantian, tubuhku sakit semua.
Semalam suamiku mengerjaiku habis-habisan. Dengan segala puji dan sanjungan cintanya, aku tak bisa menolak apapun yang dia inginkan. Sekarang dia masih bergelung dengan dunia mimpi yang sepertinya enggan dia tinggalkan.
Melihat dia yang masih nyenyak tertidur membuatku ikut malas untuk bangun. Sampai akhirnya aku kembali menarik selimut dan meringkuk di bawah lengan suamiku. Aroma tubuhnya memberiku rasa nyaman dan menenangkan. Entah bagaimana dan pada detik keberapa, aku kembali memejamkan mata dan tertidur.
"Rum..." aku dengar suara suamiku memanggilku perlahan. Beberapa kali kurasakan kecupan di pipi dan bibirku. Aroma nafasnya begitu segar.
"Mmm...," aku berusaha membuka mataku yang masih saja enggan kuajak bangun. Aku malah menempelkan tubuhku dan merangkul tubuh suamiku erat.
"Kamu buka mata sebentar saja, matahari hampir muncul Rum," bisik suamiku tepat di telinga.
"Jam berapa sekarang, mas?" tanyaku masih dengan mata terpejam.
"Jam lima."
"Apa?!"
"Mas...," teriakku, aku melompat turun dari ranjang, selimut aku tinggal begitu saja. Aku dengar tawa mas Han mengudara melihat tingkahku. Tubuh polosku kubawa lari masuk ke kamar mandi.
"Jangan lama-lama kalau mandi, atau akau akan ikut masuk dan kamu harus mandi besar sekali lagi."
"Jangan coba-coba mas, kamu sudah menggangguku semalaman," teriakku.
Waktu keluar kamar mandi ternyata Mas Han tidak ada dalam kamar, aku bisa sholat shubuh dengan tenang. Pagi ini aku ingin menghabiskan sedikit lebih banyak waktu di atas sajadah, berpasrah dan meminta dikuatkan hati ini.
"Mau keramas lagi?" tanya suamiku sambil memeluk dari belakang ketika aku merapikan mukena dan melipat sajadah.
"Aku mau lipat mukena sama sajadah dulu mas," jawabku berusaha melepaskan diri.
"Tuh..." dia menunjuk meja rias dengan gerakan matanya. Diatasnya sudah ada nampan dengan nasi goreng plus telor mata sapi dan segelas susu.
Aku memutar tubuhku dan menatap matanya, "terimakasih," ucapku sambil menundukkan pandangan.
"Aku suamimu Rum, tatap mataku."
"Aku malu mas," jawabku.
"Aku mencintaimu Rum, menyukai sikap malu-malumu, menyukai kepatuhanmu yang tanpa syarat, menyukai semua yang ada padamu."
Aku melipat tanganku di pangkuan, mendengarkan semua yang Mas Han ucapkan selalu membuatku salah tingkah.
"Sekarang kamu makan dulu, itu sudah aku siapkan. Aku sendiri yang menggoreng nasi dan telornya," wajah suamiku begitu semangat menanti aku mencicipi masakannya. Ada senyum tersungging di bibirnya.
Aku tersenyum melihat tampilan nasi goreng diatas piring, "pasti enak," pujiku. Aku mendekati meja dan mengambil piring, menyuapkan sesendok nasi, "mas pengen nikah lagi?" candaku.
Mendengar kalimatku senyumnya secepat kilat memudar, "kalau ngomong kira-kira Rum, kamu mau aku nikah lagi?" semburnya.
"Nggak lah mas, aku bercanda, gitu aja ngambek, mecucu, tak cium lo ya."
"Lah, itu tadi bilang, nikah lagi."
"Habis nasinya sedikit keasinan."
"Keasinan ya, mau dibuatkan lagi?"
"Nggak, ah...ini saja, tak habiskan, enak kok," kulahap nasi goreng buatan suamiku dengan suapan-suapan besar.
"Rum."
"Hmmm," aku memandang suamiku.
"Semalam ibu kirim pesan,"
Aku meletakkan sendok dan piring yang isinya tandas ke atas nampan, menikmati susu hangat berusaha menenangkan debaran jantungku yang tiba-tiba datang.
"Nanti siang ibu akan kemari."
Aku masih diam tidak menjawab, aku berharap suamiku menuntaskan ceritanya.
"Aku punya permintaan padamu Rum."
Kali ini aku mendekati suamiku yang duduk di sisi ranjang, kupeluk lengannya dan kurebahkan kepalaku di dadanya, "apapun untukmu mas."
Mas Han mengecup puncak kepalaku lembut, "apapun yang dikatakan ibu atau yang dilakukan ibu nanti, aku minta kamu diam, serahkan semua padaku Rum."
Aku mengangguk, "aku juga punya permintaan padamu mas."
"Hmm, apa?"
"Sebelum menjawab, aku mau kamu berjanji dulu padaku," tanganku membelai dada suamiku.
"Jangan minta aku berjanji yang tak bisa aku penuhi Rum."
Aku melepaskan pelukan, memberi sedikit jarak agar aku bisa memandang wajah tampannya ketika berbicara, ku beri dia senyum terindah yang kupunya, "setelah ibu pulang, apapun yang aku minta nanti, kamu harus menuruti, mas."
"Pasti, apapun maumu akan aku penuhi Rum, selama itu masuk akal dan demi kebaikan kita."
Aku peluk lagi suamiku, aku mungkin tidak tahu apa tujuan ibu kesini nanti siang, mas. Tapi sepertinya aku bisa meraba maksud kedatangannya. Semoga dugaanku salah, tetapi kalaupun apa yang kupikirkan benar, aku sudah memutuskan semuanya untuk kita. Semoga kamu bersedia melakukannya.
"Kamu mau sampai kapan memelukku seperti ini Rum?" tanya suamiku, tetapi tangannya makin erat menenggelamkan tubuhku dalam kehangatan tubuhnya.
"Sampai kamu yang melepaskan aku mas."
"Aku nggak akan pernah melepas kamu Rum."
"Meskipun aku merasa sesak dan tersakiti?" Mas Han diam tidak menjawab, tapi aku bisa merasakan limpahan kasih yang luar biasa untukku.
Aku sedikit menggeliat, "aku mau keluar mas."
Mas Han melepaskan pelukannya, "karena ini hari minggu, aku akan mengikutimu kemana-mana, jangan mengusirku."
Aku tertawa, kita lihat saja, berapa lama kamu betah mengikuti aku.
"Selamat pagi mbok," mbok Nah sudah siap di dapur dengan belanjaan dan peralatan tempurnya.
"Selamat pagi ndoro putri, ndoro Kakung."
"Mau apa ke dapur? Ayo sana ndoro putri sama ndoro Kakung, menikmati waktu berdua, biar saya membereskan urusan dapur."
"Hmmm, mbok salah, hari ini kami yang akan ngurusi dapur."
"Tadi pagi Mas Han sudah masuk dapur untuk masak nasi goreng, sekarang Mas Han yang akan membantu saya masak buat tamu istimewa nanti siang, mbok," jelasku sesekali melirik ekspresi suamiku tercinta.
Ternyata wajahnya bengong bibirnya juga menganga, "jangan suruh aku membantumu memasak Rum, kan aku bilang mengikutimu, bukan membantu," protesnya.
"Sayang tenaganya mas, ayo!" aku menarik tangannya. Mengambil apron dan memasangkan pada tubuh Mas Han.
"Apa ini Rum, aku malu tahu," beberapa mbak yang bekerja di dapur meninggalkan kami sambil tertawa kecil. Tubuh suamiku yang atletis terbungkus apron menjadi tontonan asik yang tidak setiap hari bisa dilihat.
"Kamu makin ganteng mas," pujiku sambil memakai apronku sendiri, aku tertawa kecil.
"Nggak lucu Rum," lag-lagi kalimatnya bernada protes.
"Sekarang, mas kupas bumbu-bumbu ini dan ulek jadi satu."
"Rum..."
"Ayo, hari ini tidak boleh protes," aku siapkan cobek dan ulekan di depannya.
Baru beberapa menit suamiku teriak, "Rum, mataku pedih."
Menit berikutnya, "Rum tanganku panas."
"Hahaha...jangan manja mas, ngurusin pegawai yang jumlahnya ratusan bisa nyantai, masa kalah sama bawang dan cabai yang cuman beberapa biji."
Sekali-sekali mengerjai mas suami ternyata asik juga, "mbok siapkan tempatnya ya, ini masakannya sudah hampir siap."
"Baik ndoro putri," bahkan mbok Nah pun tertawa-tawa kecil melihat tingkah suamiku yang ribut dari tadi.
"Sekarang bersihkan semua kulit bawang yang kamu serakkan itu mas," perintahku lagi. Dapur sudah seperti kapal pecah saja. Menghaluskan bumbu terciprat kemana-mana, kulit bawang berserakan, dan aku begitu menikmati ekspresi lucu suamiku.
"Ada apa ini, apa-apaan kamu Han?!" tiba-tiba terdengar suara teriakan ibu. Ketika aku menoleh ibu berdiri di pintu penghubung antara dapur dan taman yang terdapat di halaman tengah. Dapur memang kami pisahkan letaknya dari rumah utama.
"Ibu," senyumku menghilang, wajahku berubah pias.
"Kamu menyuruh suamimu masak Rum?" matanya memerah.
"Tidak Bu, kami hanya bersenang-senang," jawabku berusaha menjelaskan.
"Ini yang kamu sebut senang-senang?"
"Kamu meminta suamimu masuk ke dapur, dan ini kamu sebut senang-senang?!"
"Bu," mas Han berusaha menenangkan, tangannya kesulitan melepas apron yang terikat di tubuhnya.
"Kamu perempuan tidak tahu diuntung, kurang ajar sama suami."
"Berani-beraninya kamu meminta suamimu masuk dapur, ora patut, ngerti po ra Kowe?" ibu meneriakiku.
Mas Han memeluk ibunya dan membawanya keluar dari dapur, apron masih menempel di tubuhnya, rupanya dia gagal melepas apron itu tadi. Sambil berjalan pergi aku masih mendengar Mas Han membelaku, "Han yang minta membantunya Bu, ini kan hari Minggu, lagi pula ndak ada salahnya seorang laki-laki masuk dapur."
Mas Han mengedipkan mata padaku. Tanganku yang sedikit gemetar berusaha melepas ikatan apron di punggung. Ternyata memang susah melepas apron kalau lagi gemetar begini. Setelah aku berhasil melepas apron, aku berjalan mengikuti suami dan ibu mertuaku masuk ke ruang tengah.
Baru saja berhenti melangkah, apron melayang tepat mengenai wajahku, "lipat ini," teriak ibu masih dengan nada tinggi. "Ingat Rum, derajatmu itu jauh dari kami, awas kalau kamu berani kurang ajar lagi."
"Bu..." aku dengar suara Mas Han menenangkan ibunya.
Mas Han mendatangiku, setelah ibunya sedikit tenang, dirangkulnya bahuku dan dituntunnya aku untuk duduk di sebelahnya. tangannya menggenggam tanganku. Tenang Rum, yang penting adalah sumimu mencintai kamu.
"Broto, bawa Sekar masuk,"
Sekar...siapa Sekar?
"Iya yu...," Lik Broto adalah adik dari ibu mas Nehan, setelah dipanggil, dia masuk ruang tengah dengan seorang perempuan cantik yang usianya sepertinya jauh dibawahku.
"Duduk Nduk," perintah ibu pada perempuan muda nan cantik itu, tubuhnya juga molek menggiurkan mata lelaki manapun yang memandangnya, aku yakin itu.
"Perempuan muda ini namanya Sekar Lalita, dia biasa dipanggil Sekar," aku melirik suamiku. Ya Tuhan ternyata mata suamiku lurus memandangku yang duduk di sisinya, aku menunduk, tersenyum kecil karena bahagia dan malu.
"Iya Bu," karena suamiku tidak menjawab akhirnya aku yang menjawab kalimat ibu mertuaku.
"Selamat siang mbak, mas," senyumnya juga manis sekali.
Aku menepuk punggung tangan suamiku dan memberi tanda untuk menjawab salam dari perempuan ayu yang duduk di depan kami.
"Iya, siang," jawab suamiku tanpa ekspresi.
"Siang," jawabku hampir bersamaan dengan mas Nehan tetapi dengan ekspresi yang berbeda.
"Dia ini kerabat jauh dari Lik Broto, masih keturunan ningrat juga," lanjut ibu dengan nada angkuh.
"Injih ibu," jawabku.
Aku memang bukan ningrat, tapi bukan aku yang minta untuk masuk dalam kehidupan kalian. Mas Han lah yang datang ke ibu ku dan meyakinkannya kalau bisa membuat hidupku bahagia, pedih rasanya setiap kali kata ningrat disebut.
Lik Broto hanya diam membiarkan ibu bicara, tapi aku tahu Lik Broto adalah tipe orang yang selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Asap rokok terus mengepul dari bibir dan hidung Lik Broto.
"Aku punya tujuan membawa Sekar kemari," aku masih menunggu apa yang akan disampaikan oleh ibu.
"Iya, dia akan menjadi istri kedua Nehan, biar kalian memiliki keturunan," telingaku bagai disengat lebah ketika mendengar kalimat yang disampaikan Lik Broto. Kepalaku kebas, telingaku terasa lebih tebal dari sebelumnya, wajahku memanas. Bagaimana ini?
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!