Hari ini aku ingin mencuci otak dan mataku yang beberapa hari ini dipenuhi dengan hal yang membuatku jengah. Harapanku sedikit udara segar dapat menghapus sesak yang aku rasakan.
Mbok Nah sudah memberi tahu Pak Dul untuk menyiapkan mobil sesuai permintaanku. Kali ini aku pakai dress panjang dibawah lutut warna pink, sepatu tanpa hak berwarna merah agar tampilan ku terkesan santai tapi tetap manis.
"Pak Dul hari ini kita jalan-jalan ke mall ya."
"Ya begitu ndoro putri, sekali-sekali keluar rumah, jalan-jalan biar fresh."
"Walah basamu Dul, kaya wong tahu mangan bangku sekolahan wae (walah bahasamu Dul, seperti orang yang pernah makan bangku sekolahan saja)," ujar Mbok Nah, "Monggo ndoro putri masuk dulu."
"loh, la apa ko pikir aku rayap to mbok, mangan bangku sekolahan (loh, la apa dipikir saya ini rayap mbok, makan bangku sekolahan)?"
"Sekolah Dul, sekolah."
"Wo alah sekolah to," Pak Dul tertawa mendengar kalimat mbok Nah.
"Siap nggih ndoro putri?" aku mengangguk, "berangkat..." ucap Pak Dul menirukan adegan di salah satu sinetron yang terkenal sambil memukul kemudi.
Aku sengaja membawa mbok Na untuk ikut kali ini, biar dia juga ikut fresh lagi.
"Dul, kowe ki apa yo ra pengen rabi neh to, apa enak urip dewe (Dul, kamu apa tidak ingin nikah lagi to, apa enaknya hidup sendiri)?"
"Heleh mbok, wong kowe yo urip dewe, mending aku nate rabi, lah Kowe (Halah mbok, mbok kan juga hidup sendiri, mending aku pernah menikah, mbok sendiri)?"
"La iyo, tibake awak dewe sebelas dua belas ya Dul ( la iya, ternyata kita sebelas dua belas ya Dul)?" Mbok Nah kemudian terkekeh sendiri.
Aku yang ikut mendengar jadi geli sendiri. Ini mereka berdua sedang ngomongin apa, arahnya kemana?
Ini yang membuat aku lebih nyaman ngobrol bareng abdi dari pada berbincang dengan keluarga suamiku, kadang aku merasa kurang klik dengan mereka.
"Pak Dul nanti ikut masuk ya, jangan hanya tunggu di mobil, ikut belanja juga, kalau mau beli sesuatu beli saja, saya yang bayarin," dari spion aku bisa melihat ekspresi Pak Dul jadi lebih cerah.
"Wah...terimakasih Ndoro Putri."
Kami bertiga jalan berkeliling. Sejak awal aku memang tidak berencana untuk khusus membeli sesuatu. Aku ajak mereka masuk ke beberapa outlet agar bisa membeli pakaian atau apapun yang mereka butuhkan.
Wajah keduanya yang ceria diselingi canda sangat menghiburku, sebuah momen yang pasti sulit mereka dapatkan karena kesibukan mengurus rumah.
"Sudah semua yang mau dibeli?" tanyaku.
"Sudah Ndoro putri, wah saya belanja banyak sekali hari ini, terimakasih lo," aku melihat barang belanjaan yang dibawa Pak Dul, saking sederhananya ini orang, membeli sepasang kemeja dan celana serta beberapa kebutuhan harian membuat dia senang setengah mati.
"Sekarang kita makan ya," kali ini aku diskusi nya sama Mbok Nah, "Mbok Nah mau makan apa?" tanyaku.
"Makan apa ya ndoro?"
"Makan sesuatu yang jarang dimakan ya."
"Makan apa Ndoro?"
"Ikut saja, ayo," aku lihat ada sebuah restoran yang menyajikan berbagai masakan Korea.
"Kita makan nasi rames saja ndoro, lidah saya tidak kenal sama masakan mana ini, ko_rea? itu makanan dari Kroya gitu toh?"
"Ha...ha...ha, Korea mbok bukan Kroya."
Ketika melihat daftar menu, lagi-lagi aku mendengar pembahasan absurd dari mereka berdua.
"Mbok, ini namanya dak_koc_hi, delengen to mbok gambare (lihat gambarnya mbok)," mereka berdua dengan serius melihat gambar pada sajian menu, aku mengamati tingkah keduanya sambil tersenyum.
"Walah Dul, ki ngunu sate (ini ternyata sate)."
"Lah iki enek neh, mbok (lah ini ada lagi mbok), Jap_cha_ee, delengen mbok gambare (lihat gambarnya mbok)."
"Kok ra podo, karo capje ne Jawa ya Dul (kok tidak sama dengan capje nya orang Jawa ya Dul)?" aku lagi-lagi tersenyum.
"Yo, ra podo lah, cara Jawa karo cara Kroya (ya tidak sama lah, cara Jawa dibandingkan dengan cara Kroya)."
"Iki bihun goreng Dul, kalau capje Jawa isinya sayur, udang, ayam, bakso sama sayuran."
"Sudah puas melihat gambarnya?" tanyaku tak tahan lagi mendengar percakapan keduanya, lama-lama tawaku bisa meledak kalau begini caranya.
"Kami pesan sate sama bihun saja Ndoro Putri."
Aku menahan tawaku, akhirnya mereka pesan sate dan bihun katanya, makanan Korea dengan nama kearifan lokal.
Kami menikmati makanan yang kami pesan. Kelucuan obrolan Pak Dul dan Mbok Nah terus membuat aku tertawa. Tapi tawaku langsung menghilang ketika ada dua orang memasuki restoran tempat kami makan. Aku melihat Ibu dan Sekar.
Dua abdiku segera mengikuti pandangan mataku, Pak Dul dan Mbok Nah langsung menghentikan obrolan yang tadi sangat menghiburku.
"Ndoro Putri?" Mbok Nah menyentuh tanganku.
"Ndoro," aku baru bereaksi ketika mbok Nah memanggilku untuk yang kesekian kali.
"Apa Ndoro ingin pergi?" tanya Mbok Nah.
Aku menggeleng, tidak perlu, aku tidak mau menjadi pesakitan dan melarikan diri seperti orang yang bersalah.
"Apa mbok tahu, apa hubungan Sekar dengan keluarga Mas Han, karena selama ini saya tidak pernah melihat anak itu hadir dalam acara keluarga apapun."
"Maaf Ndoro, saya sendiri juga kurang paham apa hubungan Ndoro Sekar dengan keluarga Ndoro sepuh. Tapi dari yang saya dengar Ndoro Sekar masih ada hubungan dekat dengan Ndoro Broto."
"Lek Broto?" pantas Lek Broto yang paling ngotot menjodohkan mas Han selain ibu.
Aku mengamati dari tempat aku duduk. Untungnya tempat kami cukup tersembunyi. Nanti saja aku berpamitan ketika akan pulang.
Ibu dan Sekar tampak begitu akrab, beberapa kali aku melihat keduanya saling cicip makanan. Tak lama kemudian aku lihat Lek Broto masuk dan turut bergabung bersama ibu.
"Kami sudah selesai Ndoro," Mbok Nah menyentuh tanganku, makananku hampir tak kusentuh. Nafsu makanku hilang.
"Sebaiknya Ndoro habiskan dulu makanannya, sayang masih utuh."
"Tidak mbok," aku tersenyum, "kita pulang ya, tapi pamit dulu ke meja ibu."
"Baik Ndoro."
Kami berjalan mendekati meja tempat ibu makan. Sama-sama datang bertiga tapi dengan formasi yang jauh berbeda. Perbedaan kasta kami sangat mencolok. Lagi-lagi aku merasa kecewa, aku yang sudah delapan tahun menjadi menantu, tidak sekalipun pernah diajak keluar berdua.
"Selamat siang, Bu," aku mencium punggung tangan ibu dan lek Broto seperti biasanya, "lek Broto," sapaku takzim, kemudian sedikit mengangguk waktu menyapa Sekar.
"Siang, wah kalian bertiga jalan-jalan ya, cocok sekali," senyum ibu sinis melihat kami.
"Kami mau langsung pamitan bu, lek Broto, Sekar."
Sekar menatapku tanpa ekspresi, aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan, kalaupun mereka membicarakan tentang aku, bagiku tak masalah selama aku tak mendengar secara langsung
"Rum," suara ibu menahan langkahku.
"Iya Bu," aku kembali menghadap ibu.
"Ingatkan Nehan kalau dia sekarang punya dua istri, kamu jangan menghalangi Nehan kalau ingin mengunjungi Sekar."
Waktu aku melirik, Sekar tampak biasa saja, ekspresi wajahnya juga tidak berubah. Dia malah menikmati jus alpukat di depannya.
"Iya, laki-laki itu biasa punya istri lebih dari satu, kamu jangan suka cari perhatian, jangan suka ngilang-ngilang, biar dikasihani ya...," apa?! tahu apa dia tentang kehidupan kami?
Aku kembali melirik Sekar, hebat sekali anak ini, wajahnya tetap sama. Kalau sampai Lek Broto tahu, berarti dia bercerita, iya kan?
"Iya, ndak usah manja, sudah lama menikah masih suka cari perhatian kamu itu," kata-kata ibu makin membuat hatiku dongkol.
"Maaf lek Broto, Ibu...apa yang ibu dan lek Broto bicarakan?"
Apa kalian ingin aku diam? tidak akan pernah! aku memandang tajam ketiga orang yang duduk di depanku.
"Ndoro putri, mari kita pulang," mbok Nah menyentuh tanganku lembut.
"Sebentar Mbok, ada yang ingin saya luruskan. Lek Broto, ibu...saya tidak pernah sekalipun berniat dengan sengaja untuk mencari perhatian. Kalau Mas Han memperhatikan saya, itu memang sudah semestinya, saya tidak perlu mencari Bu, perhatian itu datang dengan sendirinya."
"Heleh pintar ngomong, nyatanya bukti dan saksi yang bicara," laki-laki kok mulutnya lemes seperti perempuan sih, beda jauh dengan bapak.
Tapi lagi-lagi, aku harus pandai menahan diri menghadapi manusia tak beradab seperti mereka.
"Ndoro putri," Mbok Nah menyentuh tanganku lagi.
Aku mengangguk, "silahkan ibu dan lek Broto berpikir apapun, atau silahkan tanya pada yang bersangkutan, mengapa Mas Han begitu memperhatikan saya."
"Hah, nggak perlu!" sahut ibu sinis.
Aku tak lagi menjawab, "saya permisi dulu."
"Ayo Mbok, pak Dul," aku berlalu dari hadapan ibu, Lek Broto dan Sekar.
Selama berjalan menuju mobil, Mbok Nah berkali-kali mengingatkan, "sabar Ndoro...Ndoro harus kuat."
Aku akan kuat, mbok. Tapi entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan kekuatan yang aku punya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Masiah Cia
Sekar benar 2 licik ya .....dan ibu mertua mendukung
2022-01-13
1
Ukhty Anty
ok
2021-12-16
0
Ish_2021
satu
2021-12-16
0