Ahh sial,,!!!
"Sabar kak! mungkin memang jaringan sedang buruk sekarang" tegur Clara yang beberapa hari tidak bertemu denganku. Dan hari ini menemaniku menerima tantangan dari Alvin.
Dia yang kudengar baru memenangkan judi di Las Vegas, dan hasil kemenangannya itu ia pertaruhkan untuk melawanku malam ini.
"Kak Nayla pasti baik-baik saja kak"
"Sialan kamu sinyal!" umpatku kesekian kali sambil menatap layar ponsel dengan indikasi sinyal kosong.
"Kak lebih baik kita persiapkan diri, permainan kartu sudah akan di mulai"
"Kenapa ndu?" sela Alvin dengan tatapan mengejek. "Kenapa belum duduk di sana?" tanyanya seraya menunjuk meja Casino dengan lirikan matanya "Apa kamu masih belum siap melawanku?"
"Bisakah kamu diam?" Mataku memerah membalas tatapannya.
"Santai bosku, tidak usah ngegas" sahut Alvin
"Bukannya kamu yang selalu ngegas?"
Setelah mengucapkan itu, aku berdiri dan menyiapkan diri duduk di tempat yang telah di sediakan untuk menerima tantangan Alvin.
Sepanjang permainan kartu, fokusku terbagi antara permainan di hadapanku dan Nayla. Aku akui dia berhasil mengisi hatiku dengan sangat sempurna, bukan hanya saat ini, tetapi saat dulu.
Bukan karena wajahnya yang rupawan yang membuatku akhirnya melihatnya, tetapi caranya dia berbicara padakulah, yang mampu mengisi pikiranku.
Gadis berusia lima tahun, dengan tahi lalat di atas bibirnya, meluluhkan mataku untuk terus menatapnya.
"Coba lebih fokus lagi kak?" bisik Clara tiba-tiba. Dia terlihat gusar saat Alvin menguasai permainannya.
Satu menit, dua menit, hingga berganti menjadi beberapa menit, aku kembali berhasil mengejarnya, hingga waktu permainan sudah melebihi satu jam, Alvin melakukan Fold dengan tatapan amarah yang tertahan. Ia menyerah dengan meletakkan kartu tertutup di atas meja.
Seketika telingaku mendengar pekikan Clara dan Rondi secara bersamaan.
Setelah berhasil mengalahkannya, aku langsung keluar dari area perjudian, tujuanku adalah apartemen, sebab aku sudah tidak sabar ingin menelfon Nayla untuk mendengar suaranya.
Biar Rondi dan Clara yang mengurus kemenanganku.
Berdiri di balkon, aku mengeluarkan sebatang rokok dan korek api kemudian menyalakannya. Setelahnya tangan kananku meraih ponsel di kantong celanaku. Jariku dengan gesit mencari kontak bernama Nayla, lalu menyentuh tombol dial untuk menghubungkanku padanya.
Panggilan yang tidak langsung di jawab, mungkin dia sudah tidur karena ini sudah lewat pukul sepuluh malam.
"Halo" suara di sebrang sana, seketika membuat bulu kuduku meremang, Lembut namun terdengar parau. Dan tanganku reflek mengusap tengkukku.
Setelah sedikit lama terlibat dalam perbincangan, dia mengatakan bahwa dia sudah mengantuk. Aku memintanya untuk tidak mematikan sambungannya.
Entah kenapa, setiap kalimat yang terucap dari bibirnya, membuatku merasa tenang, bahasanya yang halus dan lembut sesuai dengan budaya orang timur, membuatku ingin terus mendengarnya.
Aku tidak bisa membayangkan jika gadis kecilku ini di beli oleh Alvin.
Saat itu, entah dorongan darimana, hati kecilku mengatakan untuk mencegah Nancy yang ku tahu dia akan menjual anak gadisnya pada Alvin.
Aku belum tahu kalau gadis itu adalah Nayla, gadis kecil yang selalu aku temani saat dia menunggu sang papah menjemputnya. Gadis kecil yang membuatku ingin selalu bersamanya.
Bertahun-tahun aku mencarinya, bahkan mengunjungi rumah orang tua Nayla yang merupakan harapanku satu-satunya, tapi justru pemiliknya sudah berganti. Dan di saat aku akan menyerah, disitulah Nancy memperlihatkan foto seorang wanita cantik keponakannya yang akan dia jual. Awalnya aku hanya ingin mengingatkan untuk jangan menjualnya pada Alvin, tapi mataku di buat membulat ketika aku melihat dengan saksama foto wanita itu.
"Nayla" batinku saat itu bersamaan dengan Nancy yang juga menyebut foto itu bernama Nayla.
Butuh waktu hingga dua hari untuk menyelidiki wanita dalam foto itu adalah Nayla. Tidak menunggu lama setelah mengetahui kebenarannya, aku langsung bertolak menuju Jakarta, lalu Jogja. Bahkan aku rela menaikan harga ketika Nancy sadar bahwa aku sangat ingin membelinya. Tidak tanggung-tanggung dia menaikan empat kali lipat dari harga kesepakatan awal. Namun persetan dengan uang, yang aku butuhkan hanyalah Nayla.
Bahkan aku merasakan sakit setelah mendengar kabar tentang pak Ramadhan yang telah meninggal bersama istrinya dalam kecelakaan pesawat.
Pak Ramadhan, yang selalu membelikanku ice cream, kerana sudah menemani anak gadisnya, membuatku bertekad dan berjanji dalam hati untuk selalu menjaga anak gadisnya.
Nayla dengan segala daya tariknya, membuatku ingin terus bersamanya. Bahkan saat dia mengatakan bahwa dia mencintai pria masa kecilnya, dalam sekian detik aku menerbitkan senyum, ingin berteriak, namun sadar, Nayla sedang bersamaku saat itu.
Kenangan yang kami ukir saat kecil, benar-benar bersemayam dalam ingatan kami hingga detik ini.
Tentang istriku, aku tidak akan mengizinkan otaku untuk membayangkan wajahnya, karena jika itu terjadi, aku benar-benar harus menahan diri dan melupakan segalanya tentang percintaan kami di atas ranjang. Sosoknya dengan segala kelebihannya selalu membuatku ingin segera menemuinya.
Hingga wanitaku benar-benar terlelap, aku baru mematikan ponselnya.
Aku harus memasang alat pengedap suara di kamar kami, sebab jarak kamar dengan kamar ibu cukup dekat, dan tanganku tidak selalu bisa konsentrasi untuk membekap mulutnya setiap kali kami bercinta.
******
Keesokan paginya, aku kembali menghubungi nomor ponselnya, kali ini aku ingin menatap wajahnya sebelum mengurus hotel dan restauranku.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" jawabku menjaga volume suara, karena aku melihat dia masih berada di atas tempat tidur dengan di balut selimut. "Sudah bangun, apa kebangun gara-gara telponku?"
"Sudah bangun, tapi ini masih di kamar"
Kudengar helaan napas panjangnya, mungkin dia tengah mengumpulkan kesadarannya sedikit demi sedikit.
Kemudian kami sama-sama diam, dengan fokus mataku terus menatapnya.
"Kok diam" lanjutnya yang masih terus menunduk tidak berani menatapku.
Tanpa sadar aku tersenyum melihat bagaimana dia terus menyembunyikan wajahnya.
"Mas" Panggilnya ketika aku masih diam
"Ya" sahutku singkat.
"Kalau gitu aku mau bangun dulu, mau ke toilet"
"Boleh ikut ke toilet?" tanyaku yang Seketika membuat wajahnya mendongak.
"Tidak boleh"
"Ya sudah aku tunggu, tapi jangan di matiin"
"Kenapa tidak bangun?" tanyaku ketika dia masih berada di tempatnya "katanya mau ke toilet"
"Nanti saja"
"Besok aku pulang, tapi kemungkinan malam"
"Kok malam?"
"Ada pekerjaan di hotel"
"Seberapa malam?"
"Pukul sebelas atau dua belas sampai"
"Memang dari Macau jam berapa?"
"Sembilan"
"Aku tutup dulu ya mas, ibu sepertinya sudah bangun. Assalamualaikum" pamitnya buru-buru
"Aku kangen kamu Nay" ucapku lalu membalas salamnya.
Dia tak menjawab ucapanku, dan aku tahu, kalau sebenarnya bukan karena dia tidak merindukanku, melainkan gengsi untuk mengatakan aku juga merindukanmu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
BERARTI SI PANDU ADALAH PIPO YG BERIKAN NAYLA SAPU TANGAN
2023-07-01
0
Jumadin Adin
lha clue sdh terjawab klo pandu teman kecil yg selalu mene nanu nayla kala menunggu jemputan papanya
2023-04-15
0
Demi sya
lanjut kak
2021-12-10
1