Mengenakan kain berbahan sutra, dengan riasan make up tipis di wajah, Aku termangu menatap bayanganku sendiri di balik cermin.
Aku akan menikah hari ini.
Menghirup napas berat, Ku tundukan pandangan menatap kain segi empat di atas pangkuanku, Kain rajut buatan tangan bertuliskan Pipo di pojok kanan atas. Sebuah sapu tangan pemberian dari pahlawan masa kecilku.
Akankah ada keajaiban yang membuatmu menyelamatkanku dari pernikahan ini?, ataukah kamu akan membiarkanku menjadi milik pria lain?"
Sembari mengatur nafas, ku hirup dalam-dalam aroma yang melekat pada kain ini.
Tidak mungkin.
"Kak Nayla!" panggilan suara dari wanita yang sudah ku hafal pemiliknya, membuatku mengangkat kepala lalu memindai dirinya melalui pantulan cermin. Ada sosok Clara yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangku dengan senyum tersungging, menampakan lesung pipi di sebelah kiri, membuat senyumnya kian manis.
Wanita yang belakangan ini bersikap baik, semenjak Pandu mengatakan akan menikahiku.
"Sudak siap kak"
Aku buru-buru menyimpan sapu tangan kesayanganku.
"Seperti yang kamu lihat" sahutku seraya berdiri.
"Kalau begitu, ayo kita keluar" Ajak Clara masih dengan senyum khasnya "Semua sudah menunggumu" lanjutnya sambil menggamit lenganku kemudian berjalan ke arah pintu.
Setibanya di ruang tamu, aku tersenyum membalas senyuman tulus dari orang tua Clara, berusaha menutupi ketakutan yang merongrongku sejak tadi.
"Kamu cantik" puji wanita yang ku tahu bernama Btari, ibu dari Clara, yang tak lain adalah bibi Pandu.
"Terimakasih bibi"
Tersenyum tipis sebelum kemudian kembali bersuara. "Kamu boleh panggil aku Yiyi"
Aku menatap heran padanya "Yiyi?"
Tiba-tiba suara bas milik Pandu keluar dari mulutnya. "bibi, bahasa sini Yiyi atau ayik" Jelas Pandu "Panggil saja Btari yiyi" sambungnya dengan suara datar.
Mengatupkan bibir, aku mengangguk meski pelan.
"Mobil sudah siap Ndu, kita bisa turun sekarang" Sela Rondi teman Pandu.
Kami berjalan menuju lift yang akan membawa kami ke lantai dasar tempat parkir.
Apartemen mewah yang ku tahu Pandulah pemilik seluruh properti ini. Di bangun dengan uang hasil kemenangannya mungkin. Selain apartemen, dia juga memiliki sebuah hotel dan restauran yang menyebar di sini.
Akan tetapi, di balik hidupnya yang bergelimang harta, dia memiliki banyak musuh. Itulah yang sempat ku dengar dari Rondi, teman setia, sekaligus asisten Pandu.
Dengan pandangan kosong, aku menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi dari balik jendela mobil, hingga tak terasa telah sampai di sebuah masjid tertua di Macau.
Di sinilah pria itu akan mengikrarkan ijab qobul. Sebuah kalimat yang akan membuatku terikat dengannya.
Suara lantangnya, terdengar merdu di telingaku. Namun aku berharap ada seseorang yang mampu menghentikan ucapannya.
Sampai ketika ikrar itu selesai di ucapkan, tak ada seorangpun yang tiba-tiba datang menggagalkan pernikahan ini. Aku sudah mengira, bahwa harapanku memang akan ku telan mentah-mentah.
Ku cium punggung tangan lelaki yang telah sah menjadi suamiku. Pria dingin irit senyum, dan tak banyak bicara. Raut wajah penuh misteri, bahkan tak seorangpun mampu menebak keinginannya termasuk teman dekatnya Rondi, atau sepupunya Clara.
Usai acara ini, kami pergi ke sebuah restauran untuk makan siang. Pandu membawaku untuk berganti baju di sebuah ruangan yang tertuliskan president director's room, tersisip nama Mahardani di bawahnya. Dari sini aku tahu, bahwa restauran ini kemungkinan milik Pandu.
Ruangan mewah berisi tempat tidur, merangkap dengan ruang kerja, aku benar-benar takjub dengan kekayaan pria ini.
"Ada baju yang lain?" tanyaku setelah melihat sebuah dres mini di tanganku.
"Kamu bisa pilih sendiri di lemari" jawabnya dengan ekspresi datar, dagunya menunjuk ke sebuah lemari besar berwarna hitam.
Saat ku buka, sekali lagi aku di buat takjub. Mataku memindai susunan beberapa potong pakaian yang tertata rapi. Dari sebelah kiri ke kanan ada beberapa potong pakaian wanita. Setelahnya, aku sempat terdiam ketika melihat deretan selanjutnya. Ada gantungan kemeja lengkap dengan celana panjang dan jas, yang ku yakini pemiliknya adalah Pandu.
Selain rapi, lemari ini juga wangi, ada dua pewangi pakaian yang tergantung menyelip di antara pakaian itu. Pewangi yang menguarkan aroma lembut kesukaan wanita.
"Bisa cepat sedikit?" ucapnya dari balik punggungku.
Seketika aku menoleh ke samping kanan, ku lihat dengan ekor mataku, dia berada satu langkah di belakangku.
"Perlu di ulang?" tanyanya dingin dan masih tanpa ekspresi.
Aku menggeleng, ragu-ragu meraih dress berwarna hijau botol, lalu menutup kembali pintunya. Meski pakaian ini sangat ketat, setidaknya ini lebih baik dari yang lain.
Dress berlengan panjang, dengan panjang baju hingga batas betis, di lengkapi belahan samping kurang lebih satu jengkal, membuatku menggembungkan mulut pasrah.
"Butuh berapa jam untuk mengganti bajumu?" tanyanya pelan, suaranya begitu dekat, sebab dia mengatakannya tepat di telinga kananku.
"Aku bantu melepaskan mahkota di kepalamu" sambungnya seraya memutar tubuhku perlahan. Dan punggungku, secara otomatis menempel pada pintu lemari.
Ketika kami saling berhadapan, jantungku mendadak bergetar. Susah payah menelan ludahku sendiri untuk menormalkan ritme jantung yang kian meliar. Satu tangan Pandu berada di dalam kantong celana, dan tangan lainnya bergerak ke atas kepalaku.
"Kamu tahu kan? Kalau kita sudah di tunggu sama yang lain untuk makan siang?" Matanya yang kelam, terus menyoroti manik hitamku, sesekali menatap rambutku.
Sedangkan aku, hanya bisa diam tak merespon, Posisi seperti ini membuatku kian panik. Kedua tangan yang tengah memegang baju, reflek ku daratkan di depan dada.
Hembusan napasnya sangat teratur, kurasakan berbanding terbalik denganku yang justru menahan napas.
"Perlu di bantu ganti baju?"
"Tidak perlu" jawabku cepat tanpa menatapnya. Dan aku langsung melangkah menuju toilet.
Saat baru saja keluar dari kamar mandi, ku lihat dia terpaku menatapku dengan jakun bergerak naik turun, bisa ku tebak, jika dia terpesona dengan penampilanku yang memperlihatkan lekuk tubuhku.
Mendengkus pelan, ku abaikan tatapannya yang kian menajam, lalu berjalan menuju meja rias, untuk mengecek penampilan dan mengikat rambutku.
"Aku sudah siap" ucapku ragu. Pria yang baru beberapa jam menjadi suamiku, berjalan mendekat ke arahku, tanpa ku duga, tangan kirinya menggandeng tanganku.
Hanya bersentuhan tangan saja, keringat dinginku bercucuran, bagaimana jika dia menyatukan tubuhnya dengan tubuhku.
Aku harap waktu berjalan lambat hari ini. Aku belum siap jika harus menyerahkan mahkotaku pada pria yang tidak aku cintai.
Ketika sampai di tempat yang sudah di pesan, ku lihat beberapa menu sudah tersaji di atas meja. Dia menarik kursi untuku, detik berikutnya untuk dirinya sendiri.
Hanya sebatas ini perayaan pernikahanku dengannya. Tak ada pesta, namun kami sempat mengabadikan di foto dan video, meskipun senyum yang ku ukir, adalah senyum terpaksa.
Pandu mengerti dengan sikapku yang masih belum menerima pernikahan ini. Aku tak melayaninya di meja makan. Sebaliknya dialah yang melayaniku.
Ku tundukan pandanganku, dan netraku langsung tertuju pada tangan di pangkuanku. Sebuah cincin bertahtakan berlian melingkar di jari manis. Seketika aku ingat ucapan mamah beberapa tahun silam.
"Karena papah suami mama, jadi mama harus bersikap baik, dan harus melayani papah"
Jawaban mamah berawal ketika aku menanyakan kenapa mama selalu melayani papah saat makan. Dan ucapannya tidak bisa di mengerti olehku yang saat itu berusia 8 tahun. Tapi sekarang aku tahu, Pandu adalah jawabannya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Rini Mariani
ini film prangnaree kalo gk salah. pernah juga visual ini dinovvel lain . emg visual ini gk pernah gagal menurut akuuu. thebessstt
2022-06-06
0
Nuah Lira
semangat nah. semoga pandu bener bener serius sama Nayla
2021-12-18
0
Demi sya
kamu harus kua nay...
2021-11-28
0