Mengatupkan bibir, jantungku mendadak berdebam ketika mas Pandu merangkum wajahku setelah memutar badanku.
Aku sedikit mendongak menatapnya, "Jangan takut, kamu dan ibuku akan aman berada di sana" ujarnya, manik matanya bergerak gelisah mengikuti gerakan manik hitamku.
"Kenapa mas tidak ikut serta tinggal di Hongkong bersama kami?" sahutku masih mengunci netranya yang kelam.
"Kalau aku ikut tinggal bersama kalian" jawab mas Pandu membalas tatapanku "Kalian pasti selalu dalam bahaya. Percaya padaku Nay"
"Aku percaya, tapi bisakah aku mempercayai komitmenmu?"
Mas Pandu tampak mengernyitkan dahi. "Komitmen?" tanyanya bingung.
"Menjadikanku satu-satunya wanita yang mas tiduri"
Melihat mas Pandu yang tetap bungkam, aku melepaskan tangan mas Pandu yang merangkum wajahku, lalu berniat pergi dari hadapannya, namun dengan cepat dia meraih tanganku.
Pria di hadapanku menatapku dengan sorot mata yang kian menajam "Aku harus apa agar kamu percaya?" tanyanya dengan sedikit menunduk karena perbedaan level mata kami.
Tanpa sadar aku meremat tangan kami yang saling menggenggam. Kami sama-sama diam.
Membuang napas pelan, aku menunduk menatap sepasang tangan kami yang saling bertaut.
Detik kemudian tangannya terurai dari genggamanku, dan kembali merangkum wajahku "Aku akan membahagiakanmu, dan kamu harus percaya itu. Kita sudah menikah Nayla, dan pernikahan bagiku adalah simbol kesetiaan" Ku lihat dia seperti menelan salivanya, lalu kembali bersuara "kamu dan ibuku, adalah dua wanita yang aku prioritaskan" lanjutnya dengan sorot sepenuhnya fokus padaku.
Mendengar perkataannya, ada rasa haru yang meledak-ledak dalam hatiku. Dan untuk saat ini, aku memilih untuk percaya dan menyakini apa yang di katakan mas Pandu.
Selama beberapa saat kami hanya diam saling menatap. Sekian detik kemudian, mas Pandu menyatukan bibirnya pada bibirku. Aku terdiam dengan kedua tangan masing-masing memegang pergelangan tangan mas Pandu yang masih menangkup wajahku.
Jantungku berdebar kian cepat ketika dia mel*umat bibirku.
"Tidak ada yang perlu kamu takuti" Pungkasnya mencoba meyakinkanku. "Sekarang mandilah, besok kita habiskan waktu kita di rumah, dan lusanya kita ke Hongkong" ucapnya lagi lalu mengecup keningku sedikit lebih lama.
Laki-laki ini, kadang membuatku kesal, kadang membuatku takut, namun detik kemudian membuatku tenang sekaligus nyaman.
"Aku akan siapkan air hangat untukmu" katanya setelah mengecup keningku, lalu berjalan memasuki kamar mandi.
Aku terdiam menatap dirinya dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Ku amati gerakannya yang tengah menyiapkan air hangat untuk aku mandi.
Memejamkan mata erat-erat.
Aku belum mencintainya, tapi kenapa seolah tidak rela jika ada wanita lain di hatinya.
"Sekarang sudah bisa mandi" ucapnya membuat tubuhku berjengit dan reflek menoleh padanya.
"Makasih" jawabku lalu berjalan menuju kamar mandi.
Berendam dengan air hangat, membuatku lebih ringan dalam berfikir. Bahkan hati dan pikiran seolah berjalan beriringan, dan bekerja dengan baik. Usai berendam dalam waktu lebih dari tiga puluh menit, aku melihat sosoknya sudah terlelap di atas tempat tidur. Mungkin dia lelah, dan itu bagus, aku bisa membuat jantungku beristirahat dengan baik.
Jantungku, yang selalu di buat marathon olehnya, selalu berdetak secara tiba-tiba, yang selalu membuat pikiranku malang melintang, sehingga tidak bisa berfikir dengan jernih.
Menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan sembari meraih cream yang selalu ku oleskan di wajahku setiap menjelang tidur.
*******
Sepanjang malam, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikiranku seolah di penuhi oleh ketakutan yang bermunculan silih berganti. Teringat tentang percakapan mas Pandu dengan sang asisten, takut akan penghianatan dari mas Pandu karena kami akan tinggal terpisah, dan ketakutan akan bertemu dengan ibu mertuaku, serta rasa takut karena mas Pandu bisa membuangku kapan saja. Sampai keesokan paginya, rasanya energiku seperti terkuras, bahkan aku terbangun saat sarapan sudah tersaji.
"Kok tumben jam segini baru bangun?" tanya mas Pandu saat aku tengah mengumpulkan kesadaranku sedikit-demi sedikit. Dia menghampiriku dan membawa sarapan ke kamar.
"Memang sekarang jam berapa?" tanyaku polos.
"Setengah sembilan"
Mengerutkan kening, aku seolah tak percaya dengan jawaban mas Pandu, reflek mataku melirik jam di dinding, dan benar memang, sekarang sudah pukul setengah sembilan pagi.
Aku menyandarkan punggungku pada headboard, sedikit bergeser karena mas Pandu mengambil posisi duduk tepat di sampingku. "Mikir apa semalam?" tanyanya dengan punggung jari telunjuk menjentikkan sesuatu di pipiku seolah ada yang melekat di sana.
"Seperti apa ibunya mas?" tanyaku ragu-ragu "Maksudku, apakah dia galak?"
Konyol, begitulah kedengarannya dari pertanyaanku. Akibat tidak bisa tidur nyenyak, mulut dan pikiranku tidak bisa bekerja dengan normal.
"Nanti kamu bisa menilai sendiri" jawabnya lalu menyuapkan garpu berisi spageti, dan mulutku secara alami terbuka menerima suapan darinya.
"Biar aku makan sendiri"
Mas Pandu menyodorkan piring, lalu beranjak membuka lemari. Ia mengeluarkan sebuah koper, dan menata baju-baju yang akan ku bawa ke Hongkong. Hanya menyisakan dua stel piyama dan dua gaun.
"Satu bulan lagi akan berganti musim dingin" ucapannya membuatku menatap dirinya. "Nanti aku akan persiapkan baju hangat untukmu" lanjutnya sambil melipat pakaian dalamku.
Malu, itulah yang ku rasakan sekarang, bisa-bisanya dia meraih pakaian dalamku satu persatu dan menata dengan rapi di dalam koper. Sementara aku kembali menunduk pada piring menyembunyikan wajahku.
*****
Perjalanan dari Macau menuju Hongkong di tempuh dalam waktu kurang lebih satu jam menggunakan kapal Ferry.
Awalnya sedikit takut, sebab ini pertama kalinya aku menaiki kendaraan laut. Namun rasa takutku terkalahkan oleh genggaman erat dari tangan mas Pandu.
Hingga tak terasa kapal besar ini telah mendarat di Negara yang baru pertama kali ku pijak buminya. Aku mengeratkan genggamanku membuat mas Pandu memindai sorotnya jatuh pada genggaman tangan kami.
"Jangan takut, dan jangan khawatirkan apapun. Kamu aman disini"
"Mas tidak punya musuh di sini?" tanyaku sambil terus berjalan mengikuti langkah mas Pandu, dengan kondisi tangan yang masih saling bergenggaman.
"Tidak" jawabnya "Bahkan mereka tidak tahu kalau aku masih memiliki ibu yang ku sembunyikan di sini".
Aku sempat terkejut, bagaimana bisa dia merahasiakan ibunya dari para musuh-musuhnya. "Mereka hanya tahu kalau Clara dan Ayik Btari, serta Paman Marco-lah keluargaku" lanjutnya.
"Paman Marco?"
"Papanya Clara" jawabnya Singkat.
Sampai akhirnya kami sampai di tempat imigration guna pengecekan dokumen. Salah satu gerbang masuk dan keluar yang menjadi pembatas antara satu Negara dengan Negara lain.
Dan kami lolos dalam pengecekan dokumen. Mas Pandu kembali menggandeng tanganku dan tangan lainnya menarik koper, dia membawaku ke tempat pemberhentian taxi.
Lagi-lagi otaku di buat traveling, ketika kami sudah menaiki mobil berwarna merah bertuliskan taxi.
Dunia baruku, bersama ibu mertuaku. Aku akan anggap dia sebagai ibuku sendiri. Akan aku lakukan bagaimanapun caranya untuk mengambil hatinya.
"Mikir apa?" tanyanya tanpa menatapku "Masih mikir kalau ibuku galak?"
Aku menggeleng meski dia tidak tahu gelengan kepalaku, karena pandangannya tertuju ke luar jendela sebelah kanan.
"Aku hanya tidak menyangka akan sampai di sini" jawabku dengan pandangan ke sisi jendela sebelah kiri, menikmati view kota Hongkong yang terkenal dengan Betonnya.
Ku rasakan mas Pandu menggerakan tangannya lalu melingkupi tanganku yang berada di pangkuanku.
"Sekarang aku dan ibuku adalah keluargamu, jadi jangan pernah merasa sendiri" Perkataanya membuatku terharu dan entah kenapa mataku mendadak hangat karena genangan air yang tertahan di kelopak mataku "Jangan pernah ragu untuk membagikan bebanmu padaku atau ibuku, meskipun ibuku tidak bisa melakukan apapun, tapi dia punya hati yang bisa merasakan sesuatu"
Mendengar ucapannya, aku reflek menolehkan wajah ke samping kanan, berusaha mencari tahu apa maksudnya.
Ingin bertanya lebih banyak, tapi keraguan lebih dulu merundungku, akhirnya aku hanya bisa diam dan kembali fokus menatap jalannan yang ramai dengan bis-bis bertingkat, sesekali memandang jembatan yang kami lalui. Pemandangan alamnya yang sama sekali tidak awut-awutan, bersih dan tersusun rapi.
Next...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Nurlaila Ginting
penasaran gimana sikap ibunya nnt.
2022-03-13
0
Fifi Damai
Karya2mu mmg bgs dan sgt menarik utk dibaca thor,sy suka bgt
2021-12-19
1
Demi sya
penulis paporit bahasanya enak bgt deh santao kaya di pantai
2021-12-10
0