Pagi hari, aku beraktifitas seperti ketika aku tinggal di apartemen Clara. Yang membedakan adalah saat ini aku sudah menjadi seorang istri, dan kini tinggal di apartemen milik suamiku.
Selagi aku menunggu sup yang tengah ku masak, pikiranku mendadak kacau saat mengingat sentuhan-sentuhan lembut darinya tadi malam. Aku bahkan tidak sadar saat sup yang ku buat sudah mendidih. Saking tak fokusnya, lenganku tiba-tiba menyentuh panci panas, hingga membuatnya meninggalkan jejak kemerah-merahan lumayan lebar.
"Kenapa?" tanyannya saat aku tengah mengguyur lenganku di bawah air mengalir yang berasal dari kran.
Reflek aku menggeleng. Saat aku memindai wajahnya, pandangannya jatuh pada lenganku yang tadi menyentuh panci panas.
"kenapa?" tanyanya ulang dengan sorot mata tajam. Mungkin dia mendengar pekikanku saat lenganku baru saja menyentuh benda panas. Dan dia dengan cepat menghampiriku.
"Tidak kenapa-kenapa"
"Duduk!" perintahnya membuat jantungku seperti akan meledak
"Tapi aku sedang memasak"
"Aku bilang duduk Nayla"
Aku melihat mas Pandu sekilas, lalu menuruti perintahnya tanpa mengatakan apapun. Setelah dia mematikan kompornya, dia menyusulku duduk di ruang makan. Tiba-tiba mas Pandu meraih tanganku lalu mencermatinya. "Ini kenapa?" tanyanya menatapku masih dengan sorot tajam. "Apa terkena benda panas?"
Mendengkus pelan, mas Pandu yang tadi duduk berhadapan denganku, kini bergerak bangkit ketika aku tetap bungkam.
"Diam di sini" ucapnya dingin.
Tak menunggu lama, laki-laki itu kembali dengan membawa serta tube kecil, seperti salep.
"Cuma luka sedikit mas, aku tidak apa-apa" kataku ketika mas Pandu duduk, dan dia tak merespon ucapanku.
Tangannya sibuk mengoleskan salep beraroma mint pada lenganku yang terkena benda panas.
"Mikir apa?" tanyanya, dengan ekspresi yang tidak ku tahu karena dia menunduk sambil terus meratakan salep itu.
Saat aku tak langsung menjawab, kepalanya terangkat, dengan cepat aku menunduk dan menjatuhkan pandangan pada lenganku. Entah kenapa tindakannya membuatku justru salah tingkah, dan mengingatkanku pada seseorang yang begitu perhatian saat aku kecil.
"Ada lagi yang luka?"
"Tidak ada" jawabku kikuk. Setelah itu samar ku dengar helaan napas panjangnya
"Lain kali hati-hati!"
Aku mengangguk merespon ucapannya. "Aku akan lanjut memasak" ujarku mencoba menghindar.
Setelah mendengar ucapanku, kali ini helaan napasnya terdengar sangat jelas di telingaku. "Biar aku yang lanjutkan"
"Tapi,," Sergahanku di interupsi oleh mas Pandu ketika dia tiba-tiba bangkit dari duduknya sambil memotong ucapanku.
"Jangan membantah" tegasnya, seraya berlalu "Aku akan memasak untuk sarapan" lanjutnya, detik kemudian aku mendengar suara kompor di nyalakan.
Usai sarapan yang sedikit terlambat, aku merapikan meja, lalu mengangkat piring-piring bekas kami makan untuk di cuci.
"Sini biar aku yang cuci piring-piringnya" pungkasnya yang membuatku mengerjap menatapanya.
"Tidak usah"
Baru saja aku menuangkan sabun di spoon, mas Pandu segera merebutnya, lalu membuka kran air untuk membilas tanganku yang sempat terkena busa sabun. Setelah busa di tanganku bersih, mas Pandu meraih kain untuk mengeringkan tanganku.
"Ini biar aku yang cuci, kamu buatkan aku kopi dan letakan di ruang kerja"
Perintahnya membuatku terdiam sesaat, sebab aku masih belum tahu takaran yang pas untuk kopinya. Karena ini pertama kali dia menyuruhku membuatkan kopi untuknya.
"Kenapa diam?"
"Aku belum tahu takaran yang pas yang mas sukai" jujurku sekenanya, karena memang aku benar-benar belum tahu.
Kulirik dengan ekor mataku, mas Pandu melengkungkan bibir membentuk senyuman.
"Tidak perlu takaran, cukup ambil satu bungkus kopi instan, dan jangan tambahkan gula" Sahutnya dengan tangan terus bergerak membilas piring yang sedang ia cuci.
Sementara aku, bergegas memasak air untuk menyedu kopinya. Begitu kopi yang ku sedu sudah siap, aku membawanya ke ruang kerja seperti yang di perintahkan.
Aku meletakan kopi yang ku buat di samping laptopnya. Saat aku beranjak keluar, kami berpapasan di ambang pintu, reflek aku menepi memberi celah agar mas Pandu bisa masuk.
"Mau kemana?" tanyanya ketika aku berjalan keluar dari ruang kerjanya, dia berdiri di belakangku, tangannya memegang setumpukan kertas.
"Membereskan kamar" jawabku berusaha tenang.
Dia suamiku, tapi entah kenapa, jantungku selalu berdesir setiap kali berhadapan dengannya.
*****
Malam harinya, ketika aku tengah duduk dengan menyandarkan punggungku pada headboard, tiba-tiba mendengar suara pintu terbuka. Jantungku nyaris berhenti ketika melihat mas Pandu masuk dengan membawa laptopnya.
"Belum tidur?" tanyanya sembari melangkah ke arah tempat tidur, dan aku langsung menutup buku yang sedang ku baca.
Diam tanpa bersuara, aku menggeleng setelah sekian detik. Lalu berbaring seraya menarik selimut hingga batas dada.
Mas Pandu memadamkan lampu utama setelah menyalakan lampu di atas nakas. Ku pastikan dia tak akan langsung tidur. Dan benar saja, dia yang mengambil tempat di sampingku, duduk merentangkan kaki dengan punggung bersandar pada kepala ranjang, kemudian mulai sibuk dengan laptopnya.
Tak ada percakapan apapun, aku memiringkan badan membelakanginya, Sementara mas Pandu fokus dengan pekerjaannya.
Hampir setengah jam aku mencoba memejamkan mata namun tak berhasil, sepertinya mas Pandu telah selesai berkutat dengan laptopnya. Sebab aku sempat merasakan ada pergerakan besar darinya seperti meletakkan laptop di atas nakas, lalu menarik selimut yang juga sedang ku pakai.
"Tidur sambil memikirkan sesuatu itu tidak baik untuk kesehatan" ujarnya yang sepertinya kini dalam posisi terlentang. Dan entah kenapa perasaanku mendadak gelisah dan takut.
Aku di buat tergagap ketika pria ini mengubah posisiku menjadi terlentang, Posisinya yang tengah menopang kepalanya dengan satu tangan, lengkap dengan tatapan yang begitu teduh membuat debaran jantungku di dalam sana berpacu semakin kencang.
Mas Pandu menatapku selama beberapa detik, sebelum kemudian dia menciumku sangat lembut dan dalam.
Aku menelan ludah dengan setengah mati seraya membatin Aku tidak bisa menghindar lagi kali ini.
Ku biarkan dia mencumbuku untuk melepaskan gelegak dahaga yang tertunda. Kamar yang tadi memancarkan suhu dingin karena Ac menyala, kini menghilang tanpa meninggalkan jejak. Hanya panas yang menyerangku karena sentuhan tangannya semakin meliar, saat tubuhnya menindihku, akal sehatku seolah melayang, apalagi ketika bibirnya berpindah ke bibirku, seketika aku lupa dengan niatku yang ingin menolaknya. Hingga lenguhan panjang mengakhiri aktivitas kami, ku rasakan dia kian melemah lalu menjatuhkan kepalanya di perpotongan antara leher dan pundakku.
Tak sampai di situ, setelah gelegak dahaga terlepaskan, mas Pandu tak langsung meninggalkanku, ia justru menghujaniku dengan ciuman ketika tahu aku masih menahan nyeri. Menit berikutnya, mas Pandu membaringkan tubuhnya di sampingku, lalu menariku ke dalam pelukannya.
"Sakitnya tidak akan lama" ucapnya membuatku kikuk "Sekarang tidurlah, aku tidak akan meninggalkanmu" sambungnya sambil mengeratkan pelukannya.
Jujur Ucapannya begitu mengesankan, tapi belum bisa membuatku yakin dan percaya dengan segala omongannya.
Maafkan aku yang masih belum bisa menerima pernikahan ini, apalagi mencintaimu sepenuh hati. Ini ku lakukan semata hanya untuk memenuhi kewajibanku sebagai istri.
Aku hanya bisa membatin sambil menghirup napas dalam dan perlahan memejamkan mata, berharap tak akan ada hal buruk yang akan menimpaku esok hari.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Vina Suzanna
pipo itu pandu ya thor ...
semangat thor , sehat sehat yaa ... 😍
2022-01-14
0
Liz Chelink
seperti'a pipo itu pandu....🤔🤔
2021-12-02
1
Demi sya
next
2021-11-28
0