Malam ini tampak begitu indah, sang bulan yang tidak tertutup awan, tampak begitu cemerlang dan sinarnya mampu menerangi kegelapan malam. Begitu juga sang bintang, mereka menunjukan rasinya masing-masing.
Jika saja orang tidak sibuk dengan urusannya, mereka pasti menyadari bahwa jumlah bintang yang bersinar malam ini tampak begitu menakjubkan.
Sepoi angin yang mampu menggugurkan dedaunan pun tidak terlalu buruk, justru memberi kesejukan di penghujung musim gugur ini.
"Mas" panggilku sedikit ragu dan takut.
Aku yang baru saja kembali dari kamar ibu, dan sedikit berbincang-bincang dengan Nuri selagi menemani ibu terlelap, dengan canggung menghampiri mas Pandu yang tengah menyesap batang rokok di atas balkon kamar kami.
"Apa?" sahutnya dingin dan langsung memadamkan bara api pada rokoknya yang masih lumayan panjang, kemudian menatapku penuh selidik.
Aku mengambil posisi duduk di sebelah mas Pandu, kami sama-sama menghadap ke timur sembari menikmati langit malam.
"Boleh aku tahu, bagaimana mas bisa bertemu dengan tanteku lalu membeliku?"
"Yakin kamu ingin tahu?" tanya mas Pandu yang sama sekali tak mengalihkan tatapannya dariku.
Ku anggukan kepalaku setelah beberapa detik, sebagai respon atas pertanyaanya.
"Itu tidak penting, yang terpenting saat ini kamu milikku, bukan lagi milik tantemu"
Mendengar responnya, entah kenapa rasa kesalku justru terpancing. Menghembuskan napas sedikit kasar, aku akhirnya berdiri. "Aku masuk dulu" pamitku lalu meninggalkannya sendiri di balkon.
Aku tidak bisa melawan omongannya, karena aku benar-benar belum memiliki keberanian untuk berdebat dengannya.
Membaringkan tubuh di atas kasur, aku memaksakan diri untuk memejamkan mata. Detik kemudian mas Pandu menyusulku memasuki kamar, namun langkahnya tertuju ke dalam kamar mandi. Ku pastikan dia akan membersihkan diri sebelum tidur.
Hampir setengah jam sejak aku berusaha terlelap, terdengar suara pintu terbuka, lalu berjalan ke arah lemari.
Sesaat setelah mengenakan piyama, dia membaringkan tubuhnya di sampingku. Mas Pandu yang baru saja mandi, wangi aromanya tercium oleh inderaku.
"Aku tahu kamu belum tidur"
Ucapannya membuatku otomatis membuka mata.
Ketika dia merapatkan tubuhnya, ku rasakan hembusan napasnya tepat di belakang kepalaku.
"Aku bertemu tantemu di tempat perjudian di Macau" ucapnya lirih. "Dia sedang bermain judi melawan alvin, dan tantemu kalah telak olehnya. Di situlah dia menjualmu" Mas Pandu menjeda kalimatnya sejenak untuk menghirup udara "Tadinya Alvin yang akan membelimu, tapi aku pikir, sayang sekali jika seorang gadis di jual pada lelaki bejad seperti dia. Lalu aku menemui tantemu untuk memperingatkan supaya jangan menjualmu pada Alvin"
Sunyi dan hening, hanya ada suara detik jam, dan samar hembusan napasnya.
"Terus" tanyaku ketika mas Pandu tak kunjung melanjutkan ceritanya.
"Ku pikir yang akan dia jual adalah anaknya, tetapi di pertemuanku dengannya, dia mengatakan bahwa yang akan di jual adalah keponakannya. Saat tantemu memperlihatkan fotomu padaku, aku langsung tertarik dan menawarkan harga tinggi untuk membelimu"
"Apa yang membuat mas tertarik dengan fotoku?"
"Karena ini" sahut mas Pandu sambil menunjuk tahi lalatku yang bertengger di dekat tulang selangka sebelah kanan, menggunakan jari telunjuknya. "Aku suka melihat tahi lalatmu itu, kecil, namun tetap tampak, membuatmu terlihat seksi"
Mendengar jawabannya, aku reflek berdehem. Sekian detik kemudian, mas Pandu memutar tubuhku menjadi berhadapan dengannya.
"Itu cuma foto, bisa saja itu foto milik orang lain kan?" kataku sembari menenangkan detak jantungku.
Melihat posisi kami yang tidur saling berhadapan, dengan jarak yang tak terkikis, membuat jantungku menjadi seliar ini.
"Memangnya aku sebodoh itu, mau membeli kucing dalam karung?"
"Lalu?" tanyaku kian penasaran.
"Aku datang sendiri ke Jogja untuk memastikan bahwa photo itu asli kamu, dan saat aku benar-benar menyetujuinya, tantemu justru tidak jadi menjualmu, dia bilang ada yang menawarkan harga lebih tinggi dari harga yang sudah ku sepakati bersama tantemu saat di Macau"
"Lalu?" apa mas juga menawarkan harga yang lebih tinggi lagi?" tanyaku hati-hati, dan mas Pandu menganggukan kepalanya sebagai jawaban.
"Berapa?"
"Empat kali lipat dari harga awal"
Entah kenapa, jawaban mas Pandu memantik rasa nyeri di dalam dadaku. Begitu tega tanteku menjualku untuk kesenangannya sendiri dengan harga yang sangat mahal.
"Kalau sakit untuk di dengar" ucap mas Pandu seraya membawaku ke dalam pelukannya, seolah ikut merasakan rasa nyeri di hatiku "lebih baik jangan bertanya lagi" sambungnya menyembunyikan wajahku di dada bidangnya.
Ku hirup napas dalam-dalam, sambil menikmati aroma wangi yang melekat di tubuh mas Pandu. Beberapa saat kemudian, mas Pandu melakukan pergerakan besar, ia memposisikan dirinya di atasku. Tatapannya yang teduh, lekat menghunus hingga ke lapisan dalam mataku.
"Kamu istri yang sempurna untukku" ucapnya lembut "Aku tidak akan pernah menghianatimu" tambahnya lalu menciumku. Hangat dan lembut, membuatku pada akhirnya mulai berani membalas ciumannya yang semakin dalam dan memabukkan.
"Belum ngantuk?" tanya Mas Pandu ketika ciuman kami terurai. Napasnya menderu sekaligus hangat menerpa wajahku.
"Mas sendiri, apa belum ngantuk?" tanyaku balik dan mas Pandu membalasnya dengan senyuman.
"Tidak apa-apa melakukannya sebelum kita tidur kan?" bisik mas Pandu di depan wajahku lalu mengecup sekilas. "Setelahnya baru kita tidur okey?"
Aku menangkap sepasang manik mata mas Pandu yang kian kelam sebelum kemudian mengangguk. Dia kembali mengecupku sedikit lebih lama, hingga kecupan itu berubah menjadi ciuman serta cumbuan yang kian intens dan dalam.
****
Paginya, aku memasak makanan untuk sarapan di bantu oleh Nuri. Sedangkan mas Pandu, tampak sedang membantu ibu menggerak-gerakan tanganya perlahan.
Melihat interaksi mas Pandu dengan ibunya, seketika membuat hatiku terenyuh. Siapapun yang benar-benar tidak mengenal mas Pandu, pasti akan memberikan penilaian yang sama sepertiku saat pertama kali mengenalnya.
Semalam aku tahu, di balik sikap datarnya, mas Pandu ternyata adalah sosok yang sangat perhatian, dan penyayang. Itu terbukti dari caranya dia memperlakukanku dan juga ibunya.
Belum lagi saat dia mengoleskan salep saat lenganku terkena benda panas, menyiapkan sarapan untukku, membantuku mencuci piring bekas makan, dan ketika dia membantuku mengeringkan rambut usai mandi setelah pergumulan kami semalam.
Untuk kedua kalinya aku melayani mas Pandu di atas ranjang. Konyol memang, kalau mas Pandu tahu aku menghitungnya, pasti dia akan menertawakanku.
Mendesah pelan, aku menggelengkan kepala sembari menyembunyikan senyum tipis di bibirku dari pandangan Nuri, sebab mengingat mas Pandu, membuatku kembali mengingat kejadian tadi malam. Pesonanya, membuatku lupa diri, dan sentuhannya membuatku terhanyut kedalam muara cintanya.
Dan cintaku padanya, bertambah di setiap harinya meski belum seratus persen, karena hatiku masih tertuju pada Pipo, si pemberi sapu tangan yang masih ku simpan hingga detik ini.
Mas Pandu, maafkan aku, aku merasa nyaman denganmu, tapi aku juga mencintainya.
next..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
cha
aku memanh mecibtainya tapi aku nyaman denganmu ..aiish apa sih🤪😅
2022-01-08
0
Demi sya
pandulah masa kcil nay
2021-12-10
0
Ita Sinta
pipo siapa kah🤔
2021-12-04
0