Meminta maaf adalah tindakan sederhana, tapi masih banyak yang enggan melakukan dan menganggapnya remeh. Padahal, di dalamnya terkandung kemuliaan.
“Bersegeralah meminta maaf biarpun kita dalam posisi benar, itulah kemuliaan. Apalagi jika kita bersalah, maka kita harus segera meminta maaf." (Buya Yahya).
Meja makan di rumah Ain, kini kembali hangat seperti dulu. Duduk bersama menikmati hidangan sederhana dari tangan wanita hebat di rumah mereka.
"Mi, kita jalan-jalan, yuk! Sudah lama, ya, rasanya tidak keliling-keliling," ajak Ikram setelah menyelesaikan sarapan bersama mereka.
Kedua anaknya bersorak, "Jalan-jalan! Ayuk, Bi! Ayuk, Umi kita jalan-jalan!" rengek mereka pada Ain.
"Wah, Abi benar sudah lama kita tidak jalan-jalan. Hayu atuh lah, gaskeun, Abi! Jenuh Umi di rumah terus," sambut Ain yang menambah keceriaan di rumah itu.
"Ke mana, ya?" Ruby berpikir.
"Pantai!"
"Mall!"
"Kolam renang!"
"TimeZone!"
"Wah, jauh-jauh sekali! Tidak ada yang dekat? Di Rangkasbitung belum ada mall, sayang," ucap Ikram mengingatkan anaknya.
"Di Rangkasbitung memang belum ada, Bi, tak ada Timezone, kan, di rabinza. Kita main di sana," sahut Ruby yang juga mengingatkan.
"Tidak! Kita ke pergi ke Serang, sesekali Umi ingin menikmati suasana dalam mall," ucap Ain berkhayal sembari tersenyum kecil.
"Hah ... ya sudah kita ke Serang," putus Ikram pada akhirnya. Senyum keluarganya ternyata membuat hati terasa damai. Melihat Ain dan ketiga anaknya yang tertawa gembira Ikram serasa mendapatkan kembali dunianya.
"Tapi, Umi ... apa kita perlu mengajak Bunda?" celetuk Ruby yang memudarkan keceriaan Ain seketika. Ikram melirik pada mereka, ia menunggu jawaban Ain meski dari riak wajahnya saja sudah menjawab semua yang ia keberatan jika Nadia ikut serta.
"Terserah Abi dia juga, 'kan, istri Abi," sahut Ain tidak mengenakan.
Ikram tersenyum, tak ingin senyum di wajah Ain pudar ia menyerahkan keputusan pada istrinya itu.
"Biar Umi saja yang memutuskan, supir terima beres saja. Kalau Umi ingin mengajaknya, ya, ajak saja. Kalau tidak mau, ya, sudah!" Sungguh bertolak belakang dengan hati kecilnya. Namun, Ikram mengatakannya dengan senyum seperti biasa di bibir. Hal itu menyakinkan hati Ain bahwa Ikram benar-benar menyerahkan keputusan padanya.
"Baiklah, Umi akan pikirkan," kata Ain pada akhirnya.
Ia dan kedua anaknya pergi ke yayasan menemui Nadia. Bukan dengan tujuan untuk mengajak istri kedua Ikram itu jalan-jalan, tapi untuk menyerahkan amplop yang diberikan Ikram padanya.
Suasana di aula yayasan ramai oleh anak-anak yang sedang belajar melukis di atas kanvas dengan guru bimbingan yang didatangkan Nadia langsung. Ruby dan Bilal antusias segera menghampiri Nadia. Keduanya ingin ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Nadia memberikan masing-masing satu alat melukis pada keduanya. Empat orang guru professional mengajari mereka dengan telaten. Nadia berdiri memperhatikan sembari tersenyum penuh kebahagiaan.
Ain yang masih berada di kejauhan memperhatikan gelagat wanita itu. Ia tak menampik Nadia memang berbeda, dia rela menghandle semua kebutuhan anak-anak yatim di yayasan. Mulai dari makannya, pendidikannya, dan segala sesuatu yang dibutuhkan anak-anak malang tersebut. Nadia tidak merasa keberatan sama sekali meskipun semua itu ia tanggung dengan uang pribadinya sendiri.
Ain menghampiri Nadia yang berdiri di bagian belakang anak-anak. Sendiri tanpa turut campur bersama guru yang membimbing mereka.
"Dek!" panggil Ain yang membuat Nadia seketika menoleh.
"Eh, Kak!" Nadia mendekat ia meraih tangan Ain dan mencium punggungnya.
Sambil tersenyum ia berucap, "Kakak yang mengantar anak-anak ke sini?"
Ain mengangguk, "Terima kasih karena telah memberikan hiburan pada anak-anak di yayasan," ucap Ain meski dikatakan dengan dingin dan raut wajah datar. Ia bahkan tak melihat ke arah Nadia seolah enggan bersitatap dengan madunya itu.
Nadia tersenyum kecut, hatinya ngilu terasa. Dia memang salah tak perlu lagi menanyakannya.
"Tidak masalah, Kak. Yang penting semua anak-anak di sini bahagia," sahutnya dengan lirih sembari melempar pandangan pada anak-anak yang antusias bertanya.
"Kak ...," Nadia menjeda ucapan, ia menarik napas dalam menguatkan hatinya.
"Katakan saja apa yang mau kamu katakan," sahut Ain saat menyadari kegugupan Nadia untuk berbicara dengannya.
"Aku minta maaf, jika hadirku sangat mengganggu ketenangan hidup Kakak. Aku mohon ampun kalau keberadaanku sebagai istri Mas Ikram sangat-sangat menyakiti hati Kakak. Aku benar-benar minta maaf karena tidak berpikir panjang saat menerima lamaran darinya. Seharusnya aku memikirkan perasaan Kakak-"
"Maafkan aku, Kak. Tolong jangan bersikap dingin padaku seperti ini. Di sini aku tidak memiliki siapa pun selain Kakak dan Mas Ikram. Aku rela melakukan apa saja, asal Kakak tidak menganggapku orang lain," ungkap Nadia.
Ia memandang Ain dengan sendu, manik hazelnya memancarkan kejujuran dan ketulusan. Ain memandangnya, terbersit rasa kasihan di hatinya pada istri kedua Ikram tersebut. Apakah dia sudah keterlaluan hingga membuatnya memohon seperti saat ini.
Ain tidak melihat kebohongan di matanya, Nadia benar-benar tulus meminta maaf padanya, tapi tetap saja tidak mengobati rasa sakit di hatinya.
Pandang keduanya terpaku cukup lama sebelum Ain mengembuskan napas dengan berat.
"Aku akan merasa lebih baik kalau kamu mau memenuhi satu permintaanku," ucap Ain. Nadia mengangguk pasti. Ain tersenyum.
"Baiklah, kamu sudah dengar apa yang Kakak rasakan kemarin. Ini-"
"Uang dari Mas Ikram, kamu juga berhak mendapatkan nafkah darinya," ucap Ain sembari memberikan amplop yang diberikan Ikram padanya.
Nadia melirik amplop berwarna putih di tangan Ain. Rasa bersalah di hati pada Ain menolak menerima uang tersebut.
Ia tersenyum, "Terima kasih." Nadia mengambilnya dan mendekatkannya di dada bergumam entah apa.
"Aku sudah menerima uang ini dan sekarang aku berikan lagi pada Kakak. Gunakan untuk keperluan anak-anak atau untuk anak santri." Nadia kembali memberikan amplop tersebut pada Ain tanpa beban.
"Tapi itu hak kamu, Nadia," tolak Ain dengan kerutan di dahi.
"Aku tahu, tapi Kakak lebih membutuhkannya dari pada aku. Bukannya aku tidak menghargai pemberian mas Ikram, tapi aku merasa belum membutuhkannya. Dari pada tidak terpakai aku sedekahkan saja untuk anak-anak santri di pondok. Sepertinya itu lebih bermanfaat," ucap Nadia.
Lagi-lagi Ain melihat kejujuran dan ketulusan di maniknya. Ain tak pernah menduga, Nadia memang tidak serakah. Ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan nafkah dari Ikram.
"Kenapa tidak kamu ambil saja, bukannya kamu juga punya kebutuhan?" selidik Ain masih ingin tahu alasan sebenarnya.
"Aku memang punya kebutuhan, tapi kebutuhan aku tidak sebanyak kebutuhan Kakak. Jadi, ambil saja aku sudah menerimanya," katanya mengepalkan amplop tersebut di tangan Ain.
Ain menerimanya meski dengan berat hati. Senyum yang terukir tulus di bibir pucat Nadia, tak dapat membuatnya menolak. Keduanya kembali memperhatikan anak-anak dengan perasaan masing-masing. Ain melirik Nadia, wanita itu terus tersenyum menatapi semua anak-anak.
"Mmm ... Kak? Aku mau meminta izin pada Kakak," ucap Nadia memecah keheningan.
"Apa?" sahut Ain tanpa berpaling padanya. Teringat Ikram yang mengatakan akan mengajak Nadia berjalan-jalan selama tiga hari. Apakah dia ingin meminta izin untuk itu.
"Hari ini adalah hari Minggu, dan anak-anak sedang libur. Boleh tidak aku mengajak mereka bertamasya? Hanya anak-anak, Kakak bisa pergi berdua dengan mas Ikram," ucap Nadia sembari menoleh pada Ain yang seketika membeku mendengar penuturannya.
"Kenapa?"
"Hari ini ulang tahunku, aku ingin merayakannya bersama anak-anak," sahut Nadia pula.
Ain gamang. Pasalnya ia pun memiliki rencana untuk mengajak anak-anak jalan-jalan. Ain menunduk memikirkan langkah apa yang harus dia ambil.
"Tapi Abi mereka memiliki rencana lain. Mungkin tidak hari ini, tidak apa-apa, bukan?" ucap Ain setelah berpikir beberapa saat.
Nadia tersenyum meskipun kecewa, tapi mau bagaimana lagi.
"Oh, ya sudah. Kalau begitu, aku akan mengajak anak-anak yayasan saja. Rencananya begitu ... aku ingin mengajak anak-anak berjalan-jalan, tapi kalau Ruby dan Bilal punya agenda sendiri, ya, tidak apa-apa," ucapnya lagi.
"Maaf, ya. Coba kamu lebih awal mengatakannya ...."
Aku akan tetap tidak mengizinkannya. Dalam hati Ain melanjutkan.
"Tidak apa-apa, Kak mungkin lain waktu saja," sahut Nadia.
Keduanya tetap berdiri di sana hingga jam belajar selesai. Ain segera berpamitan pada Nadia bersama kedua anaknya. Ia akan langsung pergi sesuai rencana, Ain pun menyampaikan pada Ikram tentang Nadia yang akan mengajak jalan-jalan anak-anak di yayasan. Jadilah mereka pergi dengan masing-masing tujuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
Novita Dwi Je
ya begitulah cinta derita nya tiada akhir...
2023-01-03
0
Hera
yg namanya egois bisa saja ya ada malah lebih banyak sekalipun itu istri yg seorang yg ngerti akan artinya berbagi
2022-12-08
0
senja
manusia kebanyakan syarat....manis dimulut lain dihati...inilah dia ain...
2022-10-10
0