Berbagi Cinta: Derita Istri Kedua
"Dokter, bagaimana keadaan putri saya? Apakah sudah lebih baik?" tanya seorang wanita paruh baya di depan ruang pemeriksaan Rumah Sakit.
Dokter yang usianya lebih tua itu menghela napas berat, ia sendiri terlihat bingung harus bagaimana menyampaikan kabar tentang kondisi putrinya tersebut.
"Maafkan saya, Bu, tapi kondisi Nona Nadia sungguh sangat buruk. Jika dalam waktu dekat ini ia tidak juga mendapatkan pendonor, saya khawatir keadaannya akan semakin memburuk dan akan memperpendek usianya. Kita berdoa saja semoga ada utusan Allah yang berbaik hati mendonorkan ginjal untuknya," jawab dokter tersebut sembari menepuk salah satu bahu wanita itu untuk memberinya semangat.
Ia menutup mulutnya tak percaya, padahal anaknya itu rutin melakukan cuci darah setiap dua Minggu sekali, tapi tetap saja kondisinya tak kunjung membaik. Ia menangis tergugu setelah dokter meninggalkannya sendiri.
Putrinya sekarat, ia diambang kematian. Keinginan terbesarnya adalah menikah sebelum Malaikat Maut datang menjemput.
Sarah menghapus air matanya, ia meredakan tangis terlebih dahulu sebelum memberanikan diri memasuki ruangan di mana anaknya dirawat.
Dibukanya pintu perlahan dan ditutupnya pula. Ia tersenyum getir saat pandangnya bertemu dengan manik hazel milik gadis yang terbaring di atas ranjang pesakitan itu.
"Mamah, kenapa lama sekali? Aku mau cepat pulang, Mah," keluhnya dengan manja.
Dia Nadia Almira, gadis berusia dua puluh lima tahun. Merintis sebuah pabrik konveksi bersama Sarah saat ia masih duduk di bangku SMA, dan kini pabrik itu telah menjadi pabrik terbesar di kotanya.
Divonis gagal ginjal sejak tiga tahun lalu. Keadaannya semakin memburuk beberapa bulan belakangan ini. Dokter menyarankan untuk segera mencari pendonor jika Nadia ingin kembali normal seperti semula. Namun, sudah berbagai cara dilakukan tetap saja penolong itu belum juga datang.
"Maafkan Mamah, Nak. Tadi ada kendala sedikit di pabrik masalah pesanan dari pesantren Al-Masthur itu. Kamu ingat, bukan? Ustadz Ikram?" jawab Sarah sembari tersenyum pada Nadia. Ia mendaratkan tubuh di atas kursi samping ranjang Nadia.
Gadis itu bersemu saat mendengar nama Ustadz Ikram disebutkan. Sudah lama hatinya mengagumi sosok bersahaja nan tampan itu. Sarah bukannya tidak tahu, hanya saja setiap kali nama itu disebutkan senyum bahagia terbit di wajah putrinya. Hal itu cukup membuat hatinya ikut bahagia.
"Apa dia memesan seragam lagi, Mah?" tanyanya antusias. Rona merah di pipinya masih menyisakan rasa hangat di dalam pori-pori kulit wajahnya.
"Benar, Nak. Beliau memesan seragam olahraga untuk para santri kecil di pondoknya. Tadi, beliau menanyakanmu juga. Katanya, sudah lama tidak bertemu dengan kamu," sahut Sarah menumbuhkan harapan di hati Nadia yang rapuh.
"Benarkah? Aku ingin cepat sembuh, Mah. Aku ingin cepat keluar dari ruangan membosankan ini," katanya dengan kedua bibir yang mengerucut dan pandangan mengedar dengan malas ke seluruh penjuru ruangan.
"Kamu menyukainya?" selidik Sarah ingin tahu kepastian hati anaknya. Nadia membuang pandangan, antara malu dan takut akan penolakan dari Sarah.
"Apa Mamah akan marah kalau aku menyukainya?" tanyanya dengan pandangan memelas yang membuat hati tuanya melemah.
"Bukan begitu, tapi kamu tahu, bukan kalau Ustadz Ikram itu sudah punya istri dan tiga orang anak? Apa tidak masalah untuk kamu?" tanya Sarah hati-hati. Ia belai rambut putrinya yang halus dan sedikit rontok itu. Hatinya meringis sedih saat ia mendapati beberapa helai rambut Nadia ikut tercabut dan menempel di tangannya.
"Aku tahu, Mah, tapi cinta ini datang dengan sendirinya. Aku sudah menolaknya beberapa kali, tetap saja ia semakin tumbuh setiap kali bertemu. Aku tidak tahu, Mah. Aku sendiri bingung mengatasi perasaan ini, tapi Mah aku tidak masalah kalau Ustadz Ikram mau menjadikan aku istri keduanya," ucap Nadia lagi kali blak-blakan mengatakan semuanya pada Sarah.
Berdesir hati wanita itu, mendengar penuturan jujur dari putrinya ia terenyuh. Bagaimana caranya ia membujuk Ikram untuk menikahi Nadia? Berpikir dengan keras mencari cara untuk mengabulkan keinginan Nadia.
"Kamu berdoa saja, kalau kalian jodoh dia pasti akan datang atas izin dari Yang Esa. Sekarang, banyak istirahat dan makan agar kamu cepat sembuh dan cepat pulang," bujuk Sarah lagi sembari terus tersenyum meski getir terasa di hati.
Gadis itu mengangguk antusias mengaminkan doa ibunya dengan semangat.
Beberapa hari dirawat, Nadia dinyatakan lebih baik dan sudah diperbolehkan pulang ke rumah.
Malam selalu datang membawa gulitanya. Menutupi terangnya dunia dengan kegelapan yang tiada tara. Menghilangkan pandangan karena cahaya yang redup dan tenggelam dalam pekatnya.
Di kota Rangkasbitung, kota kecil sejuta kenangan. Nadia duduk di balkon kamarnya seorang diri. Menikmati hembusan angin yang menerpa lembut pada kulit tipisnya. Entah apa yang mengganggu pikirannya saat ini. Pandangannya jauh mengawang menatap langit dengan segala pernak-perniknya.
Ia tersenyum tatkala sesosok wajah tampan menyembul dari balik cahaya rembulan. Wajahnya yang menyejukkan membuat hati merasa damai hanya dari melihat senyumnya saja.
"Mas Ikram seandainya kamu belum memiliki istri, aku ingin sekali menjadi istrimu. Namun, jikapun Mas mau menjadikan aku istri kedua aku rela melakukannya. Aku mengagumimu, Mas," gumamnya terdengar lirih dan perih.
Ikram laki-laki dewasa berusia tiga puluh lima tahun, telah menikah dan memiliki tiga orang anak dari istrinya. Parasnya tampan dan mempesona, ia juga mapan dengan toko pakaian terbesar di kota yang sama dengan Nadia. Ia memimpikan menikah dengannya.
Suara batuk mengusik ketenangan. Membuat Sarah yang sedang bersembunyi tak kuasa melihat wajah pucatnya. Sarah tak tega melihat anaknya menderita di usia muda. Sudah berapa laki-laki dijodohkannya, tetap saja Nadia hanya melihat Ikram seorang.
"Aku tidak tega melihatnya terus seperti itu. Dokter mengatakan umurnya sudah tidak lama lagi. Aku ingin mengabulkan keinginannya sebelum ajal datang. Apakah Ikram mau jika aku memintanya untuk menjadi suami Nadia? Aku akan mencobanya," gumam Sarah dengan tekad yang kuat di hatinya.
Ia masuk menghampiri Nadia yang kini berdiri meski tubuh sudah menggigil kedinginan. Memberi sapuan lembut pada lengannya seraya mendekap menghantarkan kehangatan.
"Di luar sangat dingin, sebaiknya kamu istirahat di dalam. Lagi pula ini sudah sangat malam, tidak baik untuk kesehatan kamu. Kamu baru saja pulih, sayang," ucap Sarah mengingatkan. Nadia menurut dan beranjak masuk seraya berbaring di peraduan. Bermimpi tentang pernikahan dengan laki-laki yang ia cintai selama ini.
Pagi datang begitu cepatnya. Sarah berpamitan pada Nadia karena suatu alasan yang tidak dikatakannya. Nadia yang sudah beberapa hari ini tidak keluar rumah mengangguk tanpa banyak bertanya. Menunggu bersama asisten rumah tangga yang selalu setia menjadi temannya.
"Mamah pergi ke mana, Bi? Apa Bibi tahu?" tanya Nadia sembari memakan sarapannya berupa roti isi yang menjadi sarapan favorit nya.
"Bibi juga tidak tahu, Non. Katanya Ibu ada perlu sebentar ketemu teman lama di luar," sahut Bibi seadanya.
Embusan napas berat dilakukan Nadia demi mengurai rasa sesak yang tiba-tiba mendera. Ia tidak tahu laki-laki mana yang akan didatangkan Sarah untuk dikenalkan lagi kepadanya. Ia tidak percaya diri untuk menikah karena penyakit yang dideritanya. Bagaimana kalau mereka menolak dan menelantarkannya begitu saja?
Berbeda jika Ikram yang melamarnya, dia laki-laki yang berbeda dari yang lainnya. Mengerti tentang agama dan segala *****-bengeknya. Dia tidak akan menyakiti hatinya meskipun menjadi istri yang kedua.
"Aku ke kamar dulu, Bi!" pamitnya seraya beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
Ia membuka laptop memeriksa laporan keuangan pabrik konveksi yang dikirimkan lewat email padanya. Bibir sensualnya membentuk senyuman puas akan hasil yang didapatkan oleh timnya.
Usai memeriksa laporan ia merebahkan diri di kasur menatap langit-langit kamar berwarna merah muda. Lambang penuh cinta dan keromantisan yang selalu ia damba. Hingga tanpa sadar matanya perlahan menutup dan hanyut alam buai alam mimpi yang tiada luka.
"Di mana Nadia?" tanya Sarah pada asisten rumah tangganya saat ia kembali ke rumah siang harinya.
"Non Nadia di kamarnya, Bu. Tadi setelah makan siang Non Nadia langsung pamit ke kamarnya," jawab Bibi sembari membungkuk sopan.
"Oh, ya sudah. Terima kasih sudah menjaga anak saya," ucap Sarah dengan senyum tulus di bibirnya.
"Sudah tugas saya, Bu," sahut Bibi lagi.
Sarah nampak berbinar meski lelah jelas tercetak di wajahnya. Ada apa gerangan hingga ia terlihat begitu bahagia? Ke mana sebenarnya ia pergi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
Lili Astuti
kenapa harus jatuh cinta sama suami orang nadia
2023-08-13
2
Nur Aulia
lanjut tor,ngomong"Rangkas Bitungnya mana tor
2023-05-21
1
Kerimpak Kaca Luya
Nadia dan sarah itu sama² egois....gara² menginginkan anaknya bahagia...dia rela menghancurkan perasaan wanita yg bergelar isteri....dan juga ikram egois....mana ada isteri mahu dimadu...lelaki serakah
2022-10-18
1