Malam semakin sunyi senyap. Kegelapan mencekam dan udara semakin dingin terasa. Perlahan Ikram melepas pelukan saat Nadia tak lagi memberontak, wanita itu segera membungkus tubuh dengan selimut dan berpaling dari pandangan suaminya.
Ikram mengenakan sarungnya, duduk di tepi ranjang. Keduanya saling memunggungi tanpa ada kata penjelasan dari Ikram.
"Bukankah tujuan pernikahan itu adalah untuk mendapatkan keturunan? Apa lagi selain itu? Apa hanya untuk menumpahkan ***** semata? Atau ada tujuan lainnya lagi?"
Suara gemetar Nadia memecah kesunyian di dalam kamar tersebut. Ikram membalik dan mendapati istrinya masih berbaring memunggungi.
"Bukan begitu. Mas juga sangat ingin mempunyai anak dari kamu, tapi Mas tidak bisa melakukannya. Mas harap kamu mengerti dan tolong maafkan Mas," ucap Ikram tanpa menjelaskan inti dari masalah sedang mereka hadapi. Ia pun sama sedihnya dengan Nadia, hanya saja Ikram terlanjur berjanji kepada Ain.
Nadia berbalik bertatapan dengan Ikram yang gugup dan gelisah. Ia beranjak duduk dan beringsut mundur bersandar pada kepala ranjang.
"Lantas apa yang Mas lakukan ini? Aku yakin Mas lebih tahu dan lebih mengerti tentang hukum. 'Azl makruh dilakukan jika tidak ada alasan juga kesepakatan dari istri. 'Azl boleh dilakukan saat istri sepakat untuk melakukannya dengan tujuan tertentu. Bukan begitu, Mas?" selidik Nadia memindai wajah suaminya yang menunduk dengan gelisah.
Ikram tak dapat menimpali ucapan Nadia karena apa yang dikatakan Nadia adalah benar dan dia tidak bisa mengelak dari hukum syari'at.
"Apa Mas memiliki alasan melakukan ini yang aku tidak tahu? Kenapa tidak membicarakannya sebelum kita melakukan ini agar kita menyepakatinya bersama. Mas, istri itu berhak mendapatkan kesenangan yang tidak merusak dan Mas berkewajiban menunaikannya," ucap Nadia masih dengan raut kecewa yang jelas tercetak di wajahnya.
Nadia memandang Ikram dengan sendu. Kebahagiaan yang ia impikan menguap begitu saja. Laki-laki di hadapannya menunduk menyembunyikan raut sedih di wajahnya. Nadia tahu Ikram pun merasa bersalah, tapi ia terlanjur kecewa dibuatnya.
"Apakah Kak Ain yang meminta Mas melakukannya? Apakah untuk dapat menikah denganku ada kesepakatan itu antara kalian?" selidik Nadia lagi dengan hati yang diremas nyeri.
Ikram bungkam, pandangannya menyiratkan jawaban atas apa yang baru saja dikatakan Nadia. Sungguh sakit bukan main, mereka seolah sedang mempermainkan pernikahan.
"Jadi benar?" Sakit bukan kepalang. Nadia kembali menangis. Ikram tak dapat melakukan apa-apa saat melihatnya. Berucap saja tidak, karena lidahnya kelu tak dapat menguntai kata.
"Maaf-"
"Seharusnya Mas bicarakan ini dulu sebelum melakukannya. Seharusnya sudah tidak ada rahasia lagi antara kita. Mas pikir aku hanya ingin bermain-main menikah dengan Mas?" ungkap Nadia meluapkan hatinya yang perih. Air matanya semakin menganak sungai tak terkendali. Mencipta sebak di dada yang membuatnya sesak.
Ikram mencoba meraih tangan istri keduanya, tapi ditepis Nadia dengan cepat. Ia bahkan membuang pandangan dari Ikram enggan bertatapan dengannya.
"Tolong maafkan Mas, Nadia. Mas memang salah. Seharusnya Mas membicarakan ini dulu dengan kamu sebelum melakukannya, tapi Mas takut kamu tidak dapat menerimanya. Tolong maafkan, Mas," ucap Ikram sembari mencium tangan Nadia dan menggenggamnya erat.
Nadia masih berpaling muka darinya. Rasa sakit bercampur kecewa memupuskan harapannya dari kebahagiaan yang ia impikan sebelum menikah dengan Ikram.
"Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh laki-laki adalah alqawwamah. Kepemimpinan. Islam memberikan hak kepemimpinan kepada laki-laki karena mereka dianggap mampu dan cocok untuk melaksanakan tanggung jawab kepemimpinan sesuai dengan tabiatnya. Memimpin adalah suatu beban yang sesuai dengan tabiat laki-laki, susunan otot, dan tubuhnya. Laki-laki dianggap lebih mampu berjuang dan menghadapi segala musibah serta cobaan hidup secara alami dan sosial-"
"Bahkan Al-Qur'an menyebutkan, "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
(An-Nisa : 34)
Penuturan panjang Nadia semakin membuat Ikram merasa dirinya lemah.
"Bukankah Mas selalu mengatakan itu saat berceramah. Seorang suami ada pemimpin, nahkoda, dalam rumah tangga. Ia harus kuat dan menguatkan. Ia harus mengerti dan membuat mengerti awak kapalnya. Ia harus mengarahkan mereka yang dipimpinnya saat berada di jalur yang salah. Kenapa Mas justru tidak menunjukkan adanya alqawwamah dalam diri Mas sebagai laki-laki, sebagai suami kami?" ungkap Nadia lagi semakin membuat Ikram terdiam. Kata-kata yang diucapkan Nadia begitu menohok hatinya.
Secara tidak langsung Ikram sadar ia telah menginjak harga dirinya sendiri dengan bersikap lemah saat Ain mengajukan syarat itu. Seharusnya ia memberi pengertian kepada istri pertamanya untuk dapat menerima Nadia sebagai istrinya juga. Namun, kembali lagi pada hati wanita yang tak pernah mau berbagi cinta.
"Apa yang kamu katakan itu semuanya benar, seharusnya Mas tidak selemah ini. Mas telah menginjak-injak harga diri Mas sendiri. Mas malu kepada kamu, Nadia. Mas malu. Apa yang harus Mas lakukan untuk menebus semuanya? Mas terlanjur menerima syarat itu tanpa berpikir kamu akan tersakiti karena hal itu. Maafkan Mas yang belum bisa menjadi pemimpin yang baik untuk kamu, untuk kalian semua," ucap Ikram menyadari kelemahannya.
"Bagaimana kami akan dapat bersikap kuat sementara nahkoda kami sendiri mengaku lemah dan berputus asa? Mas, kamu adalah pemimpinnya. Mau di bawa ke mana bahtera kita, kamu yang menggerakkannya. Kamu harus bisa bersikap adil antara kami agar bahtera kita tidak mengalami goncangan-"
"Aku mengerti bagaimana rasa sakitnya hati Kak Ain saat suaminya menikah lagi, tapi aku juga tidak berniat merebut Mas darinya. Kita bisa hidup dengan rukun, bukan? Tanpa harus menyakiti salah satunya. Tanpa harus saling iri dan dengki, kita bisa berjalan bersama-sama menuju rido Allah agar rahmat dan berkahnya selalu melimpah dalam rumah tangga kita. Aku yakin Mas tahu apa yang harus Mas lakukan," ujar Nadia lagi yang kali ini memandang Ikram dengan tatapan kecewa dan pilu.
"Mari kita berjalan bersama-sama, Mas! Pulanglah, aku tidak akan menahan Mas untuk menginap di sini," ucap Nadia dengan hatinya yang perih.
"Tidak! Mas akan menginap di sini saja," sahut Ikram dengan cepat.
"Aku perlu sendiri, Mas. Aku butuh waktu untuk dapat menerima semua yang tejadi malam ini. Biarkan aku sendiri hingga hatiku ikhlas menerimanya," ungkap Nadia lagi sembari melepas genggaman tangan Ikram.
"Apa kamu marah sama Mas?" tanya Ikram menatap Nadia dengan penuh penyesalan.
"Aku tidak marah, Mas. Hanya kecewa atas apa yang Mas lakukan malam ini," jawab Nadia lagi.
"Baiklah, kalau memang kamu butuh waktu untuk dapat menerimanya. Mas akan memberikan tenggat waktu kepada kamu. Mas akan membicarakan ini dengan Ain, Mas harap kamu dapat bersabar sampai Mas berhasil memberi pengertian kepadanya. Kamu bisa melakukannya, bukan?" harap Ikram dengan hati yang penuh.
Nadia hanya mengangguk tanpa menyahut dengan kata. Jadilah, ia kembali sendiri. Malam pertama yang diimpikannya akan bahagia, harus berakhir dengan tangis kekecewaan karena perbuat suaminya. Ia tak pernah menduga, Ikram yang dianggapnya lebih mengerti soal agama itu justru melakukan hal yang bertentangan dengan syariat. Tanpa sadar malam itu Ikram telah menyakiti kedua hati istrinya.
"Aku hanya kecewa, ya Allah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
Novita Dwi Je
enak nya ngomong nad😤
2023-01-01
1
miray mir
sepatutnya kau pun sedar kau tu merebut suami orang
2022-10-17
1
Cinta Rendy'ana
gk tau mau berpihak kemana aq
2022-06-26
1