Saat kau memutuskan rela diduakan cinta, maka kau sudah mempersiapkan hati untuk menghadapi semua. Kemungkinan-kemungkinan yang muncul tak terduga bagai luka yang ditabur garam. Perih tak terperi. Berbagi cinta bukanlah hal mudah dilakukan. Butuh keteguhan hati untuk dapat menjalani dengan tabah.
Di malam itu, dua wanita Ikram sama-sama sedang berjuang. Nadia sedang berjuang antara hidup dan mati melawan penyakitnya. Sedangkan Ain sedang berjuang untuk tetap terlihat sempurna di mata suaminya. Keduanya sama-sama membutuhkan kekuatan besar untuk dapat melaluinya.
Ikram dan Ain saling berpandangan dengan jemari tangan yang bertaut, kedua hati manusia itu tak ada yang tahu. Mengelana entah ke mana, dan sampai mana tujuannya.
"Bagaimana kalau Abi berbuat adil?" tanya Ikram sembari memperdalam tatapan pada manik coklat milik wanita di hadapannya.
Ain beriak, sedikit kerutan muncul di dahi. Sekelumit rasa bingung datang menghampiri setelah mendengar kalimat ambigu yang dilontarkan Ikram barusan.
"Maksud Abi adil yang bagaimana? Adil yang seperti apa?" selidik Ain sambil terus membiarkan Ikram menggenggam jemarinya.
Ikram mengulas senyum, bentuk itu mencurigakan di mata Ain. Kali ini apa lagi yang diminta Ikram untuk membuatnya merasa tersisih. Ain menunggu dengan segala rencana yang ia pikirkan jika sesuatu yang tak terduga kembali datang.
"Maksud Abi, kita sudah menikmati waktu kita selama tiga hari di sini tanpa gangguan. Bersama mengaji seperti saat pertama kali kita mengikuti waktu pengantin baru dulu. Bagaimana kalau Abi melakukan hal yang sama pada Nadia? Memberikan hak yang sama padanya seperti pada Umi? Bukankah Abi harus berbuat adil untuk kemaslahatan kita bersama," ungkap Ikram masih dengan senyum seperti tadi.
Ain termangu, sebelah hatinya tak rela Ikram memberikan hak yang sama sepertinya pada Nadia. Namun, sebelah hatinya yang lain membenarkan apa yang dikatakan Ikram. Suami harus bisa berlaku adil terhadap kedua istrinya.
Ain terdiam, menimbang rasa yang tiba-tiba menyengit dalam dada. Ia menarik tangannya dan mengepalkannya di balik hijab yang ia kenakan.
Mengumpulkan kekesalan ke dalam kepalan tangan dan membukanya untuk mengurai semua.
"Abi memang benar, Nadia berhak mendapatkan hal yang sama seperti yang Abi lakukan pada Umi. Kalau dilihat Nadia sepertinya baik-baik saja, apa mungkin karena dia istri kedua dan tidak pernah tahu bagaimana sakitnya menjadi yang pertama? Umi sadar, sekuat apa pun keinginan Umi menolak itu semua, tetap saja Umi tidak bisa melarang Abi memenuhi kewajiban Abi sebagai seorang suami yang beristri dua."
Ain kembali menghentikan pandangan pada manik Ikram. Laki-laki itu sedikit terkejut mendengar penurunan Ain, tapi ia mencoba untuk menyikapinya dengan bijak.
"Umi akan memberikan waktu untuk Abi bersama Nadia selama tiga hari tanpa gangguan. Asal Abi dapat memenuhi syarat lainnya dari Umi," tegas Ain memaku pandangan pada wajah Ikram yang beriak mendengarnya.
"Kenapa harus selalu seperti ini, Mi? Apa tidak bisa semua dilakukan tanpa syarat? Bukankah Abi hanya menunaikan kewajiban bukan diluar kewajiban Abi sebagai suami," sergah Ikram dengan lembut.
Dibelainya kepala Ain yang seketika membuang pandangan darinya. Dicubitnya dengan gemas pipi wanita itu untuk menggodanya.
"Ayo kita saling menerima, Mi. Abi pun bukannya senang melihat Umi yang selalu merasa tersakiti, Nadia pun bukannya ingin merebut Abi dari Umi. Dan Abi menikahinya bukan karena terpaksa, melainkan murni karena keinginan Abi sendiri," tutur Ikram lagi kembali meraih tangan Ain dan mencium punggungnya berkali-kali.
Helaan napas Ain terasa begitu berat, ia masih enggan bertatapan dengan Ikram.
"Umi akan tetap pada pendirian Umi. Dari semua ini yang paling tersakiti adalah umi. Mungkin rasanya tidak akan sesakit ini jika saja keadaan Umi yang memiliki cacat secara fisik. Entah itu tidak dapat memiliki keturunan atau pun tak mampu memenuhi kebutuhan biologis Abi, tapi kasus Umi lain. Umi tidak memiliki cacat apa pun sebagai alasan Abi menikahi wanita lain," papar Ain sembari berpaling dan bertatapan dengan Ikram.
Mendengar itu, hati Ikram meringis. Hatinya seperti dicengkeram dan diremas-remas. Sakit mendengarnya, juga melihat mata itu yang berkaca-kaca.
"Baiklah, kalau syarat yang Umi ajukan itu akan meringankan sakit Umi, Abi akan menerimanya dengan lapang dada. Semoga Allah mengampuni segala dosa Abi di dunia dan akhirat nanti," sahut Ikram tak tega melihat Ain yang hampir menangis di depannya.
Ia kembali tersenyum, mengusap-usap tangan Ain dengan lembut menyalurkan kasih sayangnya yang besar pada wanita itu.
"Hanya katakan pada Abi, apa yang harus Abi lakukan untuk membuat sakit hati Umi sedikit terobati," ucap Ikram yang perlahan menenangkan hati Ain dan memberikan rasa damai padanya. Ain tersenyum mendengar itu, ia pun setuju Ikram menghabiskan waktu bersama Nadia tanpa gangguan dengan syarat yang ia ajukan.
Pagi kembali menyapa dunia, memberikan kehangatan pada seluruh umat manusia. Di dalam ruangan yang berbau khas obat-obatan, Nadia terbaring setelah hampir semalaman ia ditangani dokter karena kondisinya yang tiba-tiba melemah.
Nadia menggeliat, melenguh pendek sebelum membuka kelopak matanya. Lampu berwarna putih segera menyambut kornea matanya begitu ia membuka bingkainya.
"Mah!" panggilnya lemah. Suaranya parau tercekat di tenggorokan, "Mah, Nadia haus!" ucapnya lagi tanpa tahu apakah di dalam ruangan itu ada seseorang yang dicarinya.
"Sayang?" Sarah yang baru saja membuka pintu segera berhambur begitu melihat Nadia yang mencoba untuk bangun. Ia membantu Nadia untuk duduk dan mengambilkannya air.
"Nadia harus pulang, Mah. Mas Ikram hari ini kembali dan Nadia tidak boleh ada di sini, Nadia ingin menyambut kepulangannya, Mah," ungkap Nadia masih dengan nada yang lemah memilukan.
Sarah termangu tak percaya.
"Tapi, sayang kondisi kamu masih lemah seperti ini. Dokter juga pasti tidak akan mengizinkan kamu untuk pulang. Lihat, wajah kamu saja masih pucat seperti ini," ucap Sarah sembari menyentuh pipi putrinya dan melihat dengan saksama bibir pucat pasih bagai mayat itu.
"Mah, tolong Mamah bicara dengan dokter, Nadia harus pulang bagaimana pun kondisinya. Nadia berjanji saat di rumah akan beristirahat dengan baik untuk memulihkan kondisi tubuh Nadia. Tolong, Mah! Nadia tidak akan bisa mengelak kalau sampai Mas Ikram pulang tidak ada Nadia di sana," mohon wanita itu dengan sangat.
Hati Sarah merasa teriris mendengar keinginan putrinya. Dalam kondisi seperti ini pun ia masih memikirkan Ikram. Sungguh besar dan tulus cintanya pada laki-laki itu.
"Nadia takut Mas Ikram akan salah faham karena ketidakhadiran Nadia di rumah. Tolong, Mah, bicarakan dengan dokter Nadia harus pulang," pintanya sekali lagi.
Sarah menepuk tangan hangat anaknya yang memegangi tangannya. Mengelusnya dengan lembut sambil memaksa bibirnya untuk tersenyum.
"Hah~" Ia menghela napas berat, "baiklah, Mamah akan berbicara dengan dokter. Semoga saja dokter mau mengizinkan kamu untuk pulang," lanjutnya lagi.
Pada akhirnya, setelah sedikit memaksa dokter yang menangani Nadia, wanita itu diperbolehkan pulang dengan segudang syarat dan ketentuan yang harus ia patuhi saat di rumah nanti.
Sarah membawanya pulang ke rumah di yayasan, membantunya beristirahat di atas ranjang sebelum menyambut kedatangan Ikram sore nanti. Satu per satu anak-anak yayasan datang menjenguk termasuk di dalamnya Ruby dan Bilal yang sejak subuh tadi mencari keberadaannya.
"Anak-anak! Ingat, ya, jangan melakukan hal yang bisa mengganggu waktu istirahat Bunda kalian. Bermainlah dengan baik di sini dan temani Bunda kalian karena Nenek harus pergi," ingat Sarah pada anak-anak yang mengerubungi Nadia di kamarnya.
"Iya, Nek!" sahut mereka.
Dengan paksaan dari Nadia, Sarah kembali ke rumah meskipun hatinya begitu mencemaskan keadaan putrinya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
senja
daripada kebanyakan syaratnya mending kamu yg tegas wahai pak ustad.....gemes gw
2022-10-10
0
senja
syaratnya apa lagi inii
2022-10-10
0
Sananda
Setiap ada kemauan dari Abi utk adil selalu ain bersyarat...
coba dari pertama berkeras tidak mau dimadu..
2022-06-29
1