"Jaga dirimu baik-baik, sayang. Ingat selalu pesan Mamah, jangan bertengkar. Jika kamu menemukan selisih faham, maka lebih baiknya kamu mengalah saja demi keharmonisan hubungan kalian," ucap Sarah saat melepas kepergian putrinya ke rumah baru.
"Iya, Mamah. Terima kasih selalu mendukung Nadia selama ini. Jaga diri Mamah baik-baik, Nadia pergi!" pamitnya seraya melepas pelukan.
"Kami pergi, assalamu'alaikum!" ucap Ikram dan Ain bersamaan usai bergantian menyalami tangan Sarah.
Ketiganya berjalan menuju mobil Ikram bersama si anak sulung mereka yang tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak kedatangannya ke rumah Nadia.
Ain dan Ikram duduk di kursi depan, sedangkan Nadia duduk di kursi belakang bersama Ruby anak sulung mereka.
Perlahan mobil meninggalkan kediaman Nadia, rumah yang selama ini selalu memberikan ketenangan pada hatinya. Rumah yang menyimpan semua rahasianya. Rasa haru akan perpisahan bersama Sarah dirasakannya saat tangan wanita paruh baya itu melambai melepas kepergiannya.
Sekilas ia melihat Sarah menyeka sudut matanya. Dia juga melipat bibir menahan haru yang membuat sebak di dada. Ini kali pertama mereka berpisah. Sarah hanya berdoa semoga Ikram memperlakukan putrinya dengan baik.
"Dek, nanti bantu-bantu Kakak, ya, ngurus santri kecil. Soalnya suka kewalahan lagi pula kamu, 'kan, sudah kenal mereka. Jadi, mudah saja berbaur dengan mereka," pinta Ain memecah kesunyian di dalam mobil.
Nada hangat dan bersahabat membuat Nadia merasa diterima meskipun sebagai orang ketiga dalam rumah tangga mereka.
"Insya Allah, Kak. Saya akan bantu-bantu mengurus mereka, kebetulan saya senang bermain dengan anak-anak," sahut Nadia melirik Ruby yang duduk di sampingnya dengan mengunci mulutnya rapat-rapat.
Ain tersenyum, begitu pun dengan Ikram. Ia tak menyangka istri pertamanya akan mengakrabkan diri dengan Nadia.
"Mmm ... siapa nama kamu? Tante boleh kenalan tidak?" sapa Nadia berbasa-basi pada Ruby sambil tersenyum dan mengulurkan tangan.
"Ruby." Jawaban singkat darinya juga wajah yang berpaling membuat hati Nadia harus bersabar menghadapinya.
"Ruby ... Nak! Kamu tidak boleh begitu, sayang. Mulai hari ini Tante Nadia juga Ibu kamu, sama seperti kamu yang menghormati Umi, kamu juga harus menghormati Tante Nadia," ujar Ikram saat melirik Ruby yang membuang wajah ke jendela.
Anak sembilan tahun itu mendengus sambil memutar bola mata jengah mendengar perkataan Ikram.
"Iya, Nak. Kamu, 'kan, sering belajar tentang menghormati orang tua. Bagaimana sebaiknya kamu bersikap," timpal Ain yang tak enak pada Nadia. Ia tersenyum malu saat bertatapan dengan manik milik gadis itu.
"Tidak apa, Kak, Mas. Jangan terlalu memaksa, mungkin Ruby masih terlalu syok untuk semua ini," ucap Nadia penuh pengertian.
Ikram dan Ain sama-sama menghela napas dan hening kembali membawa kehampaan pada keempat orang di dalam mobil tersebut.
Gerbang besar pesantren terpampang dengan jelas di hadapan mereka.
Pesantren Al-Masthur, adalah salah satu pondok pesantren terbesar di kota kecil tersebut. Pondok yang berbasis modern itu memiliki banyak santri. Di bagian lain, ada yayasan khusus anak yatim-piatu dan anak-anak terlantar.
Nadia tersenyum rasa hangat kekeluargaan telah ia rasakan meskipun baru saja mobil mereka memasuki gerbangnya.
"Anak-anak di sana merindukan kamu, katanya sudah lama sekali Tante Nadia tidak datang menjenguk. Mereka pasti senang melihat kamu, terlebih sekarang kamu datang sebagai Ibu mereka juga," ucap Ain memberitahu keadaan anak-anak malang itu pada Nadia.
Senyum hangat itu terus terukir di bibirnya yang tipis. Dengan tahi lalat di atas bibirnya, ia terlihat manis.
"Benarkah? Aku juga rindu pada anak-anak itu," sahut Nadia ikut tersenyum senang mendengarnya.
"Rumah kamu ada di kawasan itu, sengaja Mas siapkan di sana supaya kamu banyak yang menemani," timpal Ikram pula dengan lembut. Ia tersenyum saat matanya beradu dengan mata Nadia lewat kaca spion tengah.
Sabar hati! Tabahkan hati hamba Ya Allah! Kuatkan!
Ain bergumam dalam hati menahan perih yang datang tak tertahan. Siapa yang tidak cemburu? Meskipun ia telah rela dan menerima pernikahan mereka, tetap saja hatinya merasa sakit saat keduanya beradu pandang dan saling melempar senyum.
Nadia bersemu merah seraya menundukkan kepala dalam-dalam menyembunyikan rasa hangat di wajah yang membuat merona.
Ruby tak acuh mendengar percakapan mereka. Ia tahu siapa Nadia karena ia pun sering menyambut kedatangannya ke yayasan dengan ramah. Ia mengagumi sosok muda itu. Namun, ia tidak menyangka orang baik yang ia kagumi kini menjadi duri dalam keharmonisan orang tuanya. Menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mereka.
Mobil tidak berhenti di pondok, ia terus melaju menuju yayasan di mana Nadia akan tinggal. Sebuah rumah minimalis yang terlihat sederhana sudah disiapkan Ikram untuk Nadia tempati. Dulu, itu adalah kantor dan kini diubah menjadi tempat tinggal untuk istri keduanya itu.
"Biar Mas bawakan," tawar Ikram saat turun dari mobil dan melihat Nadia yang menyeret kopernya dari bagasi.
"Tidak apa-apa, Mas biar saya saja yang bawa," tolak Nadia tak enak. Ia melirik Ain yang sekilas masam.
"Tidak apa-apa. Lihat di sana! Mereka telah menunggu kedatangan kamu karena mendengar kabar kamu mau datang ke yayasan," tunjuk Ikram pada sekelompok anak yang berdiri di depan yayasan dengan senyum merekah mereka.
Nadia sungguh terharu, bukan hanya diterima oleh kakak madunya, tapi juga diterima di keluarga mereka.
"Tente!" Anak-anak itu berhamburan dari yayasan saat melihat Nadia mendekat. Mereka memeluk gadis itu sambil berceloteh tentang segala hal padanya.
Ain dan Ikram tersenyum di kejauhan, dengan adanya Nadia, Ain akan sangat terbantu. Ia akan fokus mengurus santri di pondok, dan Nadia mengurus santri kecil yatim-piatu di yayasan.
"Anak-anak itu terlihat senang. Maafkan Abi. Abi tahu Umi masih cemburu, tapi Abi akan berusaha bersikap adil. Tolong ingatkan Abi saat Abi khilaf," tutur Ikram sembari merengkuh bahu Ain dan membenamkan kepala istri pertamanya itu di bahu.
Ain melingkarkan tangan di pinggang Ikram. Tetap hangat seperti ini, jangan pernah berubah!
"Umi juga tidak tahu, ternyata ikhlas itu berat, ya, Bi. Lisan memang sangat mudah mengatakannya, tapi hati sungguh berat menjalaninya. Abi tenang saja, cemburu Umi masih pada batas wajar dan mungkin akan terbiasa setelah menjalani hari-hari ke depannya," sahut Ain berlapang dada dengan takdir yang harus diterimanya.
Satu kecupan diberikan Ikram pada pucuk kepalanya. Rasa hangatnya masih sama.
"Terima kasih, Umi memang istri Abi yang sholehah. Sungguh tidak salah Abi menikahi Umi, dan Abi merasa menjadi laki-laki beruntung di dunia ini dengan menjadi suami Umi," ucap Ikram pula dengan rasa kagum di hati melihat ketabahan istri pertamanya.
Keduanya masih memandangi Nadia yang dikerubungi anak-anak malang di depan yayasan. Gadis itu berjongkok, meladeni setiap celoteh yang datang dari mereka.
"Anak-anak, sudah dulu lebih baik kita masuk ke dalam karena Tante Nadia harus beristirahat, ya," Ikram datang menyudahi keasikan anak-anak itu.
Mereka semua masuk ke dalam yayasan sebelum ke rumah di mana Nadia akan tinggal. Ikram memperkenalkan Nadia pada pengasuh yayasan juga pada kedua anaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
Sunnyta Mukherji
ga mikir ke mental anaknya ya
2022-06-06
1
Tri Widayanti
Dasar laki laki
2022-04-23
2
auliasiamatir
ihh sumpah, jijik kali sama rayuan lakinya,
jadi kalau gak di izinin nikah gak jadi istri soleheh gitu....
naik darah gw baca nya..
2022-01-05
2