Bersabarlah ... kelak sabarmu akan berbuah manis
Bersabarlah ... pahit memang, tapi imbalannya bahkan lebih manis dari madu
Bersabarlah ... karena sesuatu pasti akan ada hikmah yang terkandung
Bersabarlah ... sesabar mentari menerangi bumi walau terkadang dicemooh
Bersabarlah ... sekuat hujan yang turun walau terkadang terhalang cacian
Bersabarlah ... setabah tanah yang meski diinjak ia tetap memberi pijakan
Bersabarlah ... setegar karang walau tak henti diterjang ombak ia tetap berdiri kokoh
Bersabarlah ... setenang air mengalir meski banyak hambatan ia tetap melaju dan berjuang
******
Sore itu, ia datang membawa bahagia untuk hati yang rapuh sekaligus menghantarkan luka yang telah ditorehkan padanya. Nadia masih tersenyum meski kepahitan telah ia rasakan dari jeda ucapan Ikram yang menimbulkan keresahan hatinya.
"Katakan saja, Mas! Aku akan dengarkan!" ucapnya masih mempertahankan senyum di bibir meski hati perih terasa.
Ikram menundukkan pandangan, ia-nya pun tak tega menatap gadis yang ia cintai terluka. Namun, apalah daya dirinya! Kehadirannya membuat luka pada hati yang lain. Kedatangan Nadia mengubah alur cerita dalam hidupnya.
Ikram menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan, menguatkan hatinya untuk membicarakan hal yang memang seharusnya dibicarakan itu. Nadia menunggu.
"Nadia, maafkan Mas karena belum bisa menjadi suami sempurna untuk kamu. Mas masih banyak kekurangan-"
"Maksud Mas apa?" tukas Nadia dengan cepat sebelum Ikram mengakhiri ucapannya. Pikiran-pikiran buruk segera datang memenuhi hatinya. Tidak! Nadia menolak.
"Apa kamu tidak ingin bertanya kenapa satu bulan ini Mas tidak mengunjungi kamu?" tanya Ikram ingin tahu karena biasanya seorang wanita akan menanyakan hal itu, tapi Nadia tidak.
"Kenapa aku harus ingin tahu sementara Mas sendiri tidak ingin menjelaskannya. Kalau Mas ingin menjelaskannya, maka aku akan dengarkan," sahutnya dengan tabah.
Sungguh demi apa pun! Nadia sangat berbeda dari wanita kebanyakan. Raut wajahnya tetap lembut dengan senyum yang menyiratkan ketabahan hatinya.
"Apa kamu juga tidak ingin bertanya tentang Mas yang tidak ada menghubungi kamu selama tiga hari di sana?" lanjut Ikram memancing perasaan sesungguhnya dari Nadia.
Lagi-lagi bibir manisnya membentuk senyuman.
"Kalau Mas ingin menjelaskannya aku akan dengarkan, tapi kalau tidak maka jangan pernah dibahas. Yang penting bagiku, Mas sudah pulang dengan selamat," ucapnya lagi semakin membuat hati Ikram tercabik.
Ya Allah ... apakah aku harus mengatakannya? Melihat sikapnya yang seperti ini aku merasa berdosa ya Allah.
"Mas!" Panggilan lembut dengan sapuan di tangan menyentak kesadaran Ikram yang memandangi wajah Nadia tanpa berkedip.
"Nadia ... maafkan Mas karena selama di sana memang Mas tidak sempat menghubungi kamu. Jangan salah faham," ucapnya. Tidak mungkin ia akan mengatakan kalau itu semua adalah permintaan Ain.
"Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti," sahutnya.
"Bagaimana kalau kita pergi berlibur selama tiga hari sebagai tebusan kesalahan Mas?" ajak Ikram penuh harap.
Nadia bukannya tak ingin pergi, tapi bagaimana dengan Ain seandainya ia tetap pergi bersama Ikram. Sakit di hatinya akan bertambah.
"Tidak perlu, Mas karena memang tidak perlu ada yang ditebus. Mas tidak melakukan kesalahan, jangan menabur garam di atas luka, Mas. Hati Kak Ain sudah sakit dengan Mas menikahi aku, aku tidak ingin menambah luka di hatinya dengan membuatnya cemburu pula. Jangan pernah merasa bersalah, Mas," ungkap Nadia dengan nada lemah.
Dada Ikram bergemuruh, bogem besi seolah menghantam hatinya membuatnya porak poranda. Nadia bahkan tidak memikirkan kebahagiannya, melainkan sangat menjaga perasaan Ain sebagai orang yang paling tersakiti karena kehadirannya. Allahu!
"Kamu yakin tidak ingin pergi? Ain sudah memberikan izinnya," ucap Ikram lagi meyakinkan.
Nadia menggeleng senyum itu tak pudar dari bibirnya, "Aku yakin, Mas. Bukankah lisan dapat dengan mudah mengatakan apa pun? Kita tidak tahu seperti apa hati Kak Ain, Mas. Lisannya bisa saja mengatakan iya, tapi hatinya ... sudah diizinkan menjadi istrimu saja, aku sudah bersyukur, Mas. Tidak ingin serakah dengan lebih memberikan kesakitan pada hatinya," tutur Nadia dengan ketulusan hati yang tak dapat Ikram temukan dari wanita lain.
"Kamu memang luar biasa, Nadia," puji Ikram dengan hatinya yang perih.
"Tidak, Mas. Seharusnya Mas berikan pujian itu untuk Kak Ain, bukan untukku! Aku belum tentu setabah hatinya saat harus menerima suamiku menikah lagi," katanya lagi.
"Astaghfirullah! Nadia ... apa kamu ingin tahu kenapa Mas sebulan tak datang berkunjung?" Kembali lagi pada inti pembicaraan.
"Memangnya ada apa, Mas?" Nadia akhirnya bertanya. Ia pikir ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan Ikram.
"Maafkan Mas sekali lagi ... Mas tidak bisa sering-sering mengunjungi kamu. Ain cemburu dan meminta Mas untuk tidak mendatangi kamu lebih dari tiga hari selama satu bulan. Mas tidak tahu harus apa, tapi Ain mengungkapkan sakit hatinya pada Mas kemarin. Nadia ...."
Demi apa pun! Nadia merasa dunia ini sudah tidak adil untuknya. Senyum di bibirnya memudar, berganti kebingungan dan kekecewaan di hatinya. Nadia menarik tangan yang digenggam Ikram dan mengepalkannya. Menahan perih di hati atas apa yang baru saja didengarnya.
Ia menunduk dan menghindari tatapan Ikram. Sekuat tenaga menahan agar air mata tidak tumpah dari pelupuknya.
"Kalau memang itu kemauan Kak Ain, aku akan menerimanya, Mas. Seandainya itu bisa mengobati sedikit luka hatinya, aku akan mencoba untuk menerima semua dengan ikhlas." Nadia kembali berpaling menatap Ikram. Pandangan sendu tersirat kekecewaan di dalamnya.
Ia kembali mengulas senyum, "Mas jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Hanya katakan saja pada Kak Ain, aku ingin berbicara berdua dengannya," lanjut Nadia menahan segala rasa yang menyengit dalam dada.
Ikram kali ini menunduk, tak kuasa melihat senyum di wajah terluka istri keduanya itu. Ia tahu hati Nadia pasti terluka atas permintaan Ain ini.
Malam harinya, Nadia memutuskan menemui Ain usai pengajian rutinitas di serambi masjid. Keduanya duduk berdampingan sembari mendekap alat shalat masing-masing.
Hening. Belum ada yang memulai pembicaraan dari salah satunya. Ain menelisik Nadia, ia memang nampak lebih kurus dari semenjak kedatangannya ke pondok.
"Kenapa? Apa Mas Ikram sudah mengatakannya sama kamu?" tanya Ain tetap bernada lembut seperti biasa.
Nadia tersenyum, menatap hamparan gelap yang ditaburkan malam.
"Sudah," katanya sembari berpaling menatap Ain.
"Lalu, kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Ain lagi mengusap punggung Nadia dengan sapuan lembut.
Nadia menggeleng, "Tidak. Aku hanya ingin bertanya pada Kakak. Kenapa Kakak melakukan itu?" tanya Nadia tak tersirat kebencian di maniknya yang berwarna hazel. Salah satu bagian tubuh Nadia yang membuat Ain merasa iri.
Ain menghela napas, ia palingkan wajah menghadap hamparan bintang di langit.
"Coba kamu lihat semua benda di langit sana, dan lihat juga yang satu di sana!" Tangan Ain menunjuk pada bintang-bintang dan rembulan yang menghiasi langit malam itu.
"Jika satu bintang saja yang paling terang di sana sudah sangat menarik perhatian, kenapa harus ada bintang-bintang lainnya yang justru menenggelamkan bintang tersebut."
Ain menurunkan tangan, berpaling kembali pada Nadia.
"Nadia, biasanya seorang laki-laki akan menikah lagi karena satu alasan yang bisa diterima nalar, bukan? Entah itu dia tidak memiliki keturunan, atau pun karena istrinya yang sakit. Atau apalah yang menjadi asbab diharuskannya laki-laki menikah lagi, tapi aku ...,"
Ain kembali menjeda ucapannya. Ia tak lagi memandang Nadia yang secara perlahan menundukkan kepalanya. Nadia meremas alat shalat yang didekapnya.
"Aku wanita yang tidak memiliki cacat apapun. Dari rahimku telah lahir tiga orang anak yang sehat dan sempurna. Di usiaku yang sekarang aku masih bisa memenuhi kebutuhan biologis suamiku. Bagaimana perasaanmu, Nadia? Ketika kamu yang tidak memiliki kekurangan apa pun secara tiba-tiba suamimu meminta izin menikah lagi?" ungkap Ain kembali memandang Nadia yang masih menundukkan kepala.
"Seandainya kamu menjadi aku, apa yang akan kamu lakukan untuk tetap berada di sisinya sementara wanita lain berada di sisi yang satunya?" Pertanyaan itu sekaligus mengakhiri pembicaraan mereka.
Nadia bungkam, ia tak menyahut perkataan Ain yang mana pun. Lebih memilih diam karena bagaimana pun semua masalah yang ia terima berawal dari dirinya yang menikahi suami orang lain.
Ain beranjak berdiri. Merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan ia pamit pulang.
"Istirahatlah, Nadia. Ini sudah larut, Kakak lihat kamu sedang tidak sehat. Tidak baik berada terlalu lama di luar saat keadaan tubuh sedang tidak sehat," ucap Ain sembari menepuk pundak Nadia sebelum meninggalkannya.
"Terima kasih, Kak."
Nadia mengangkat pandangan menatap nanar punggung Ain yang menjauh.
"Seandainya aku wanita sempurna sepertimu, Kak. Aku pun tak ingin melakukannya. Sayangnya, Allah menciptakan aku dengan ujian. Ujian yang harus aku terima. Tidak apa-apa, Kak. Aku akan menerima semuanya kalau itu bisa membuat luka hati Kakak terobati," gumam Nadia masih duduk di serambi masjid menunggu Ikram datang.
Ia bersandar pada pilar masjid, tubuhnya yang rapuh oleh penyakit, kini hatinya pula yang rapuh oleh cinta.
Ikram yang melihat di kejauhan, memandang sendu Nadia yang duduk bersandar menunggunya. Ia merengkuh tubuh rapuh itu dan mengajaknya pulang. Selama tiga hari ini Ikram akan menghabiskan waktu bersama Nadia sebelum satu bulan datang tanpa kebersamaan. Nadia pun, sudah jarang lagi datang ke rumah Ikram.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
guntur 1609
kau memikirkan si ain. dari mana sisi adilmu ijram. kalain berdua sungguh jahat. ain kau tahu agama . knp tetap kau kasih izin suamimu menijaj. dan kau ijtamshahu si ain salah tapi kau tetima sj.
2023-07-31
0
guntur 1609
kasihan nafia. ikram kau org yg tahu agama. secara gak alngsung kau mnzolimiustrimu
2023-07-31
0
Anas
ain terlalu egois terlalu bayak sarat,dan saray yg diajukan juga gk masuk akal coba kalau posisi ain jadi nadia berhubugan bafan juga dikasih sarat berkunjung juga di kadih sarat mana bisa ain satu bulan penuh sedangkan nadia cuma tiga hari,klu ihlas di madu megapa sarat yg di ajukan terlalu menyakitkan nadia pangial nya aja umi ngasih cramah kesemua masarakat tp tidak bisa mencramai dirinya sendiri padahan nadia selalu mengalah kerena tau akan posisi nya,ain terlalu egais,mingat wae nad
2023-02-12
1