Nadia mematut diri di depan cermin, ia baru saja pulang dari rumah Ain membantu Ruby membereskannya dibantu Bilal yang bersemangat sambil bercanda tertawa bersama. Makanan di meja makan rumah itu pun telah tersaji dengan sempurna.
Nadia tersenyum, ia tidak boleh terlihat lemah di depan suami dan juga kakak madunya atau bahkan anak-anak panti sekali pun.
"Sepertinya sudah tidak terlalu pucat," gumamnya menelisik riasan di wajah yang sengaja ia buat untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat pasih.
Bibir yang tak pernah dipoles, malam itu Nadia harus sedikit memolesnya menggunakan pewarna bibir yang soft. Tidak menonjol memang, tapi cukup kontras dengan kulit wajah Nadia yang seputih porselen.
"Sudah cukup!" katanya seraya beranjak sembari membenarkan gamis yang dikenakannya. Sekali lagi memutar tubuh ke kiri dan kanan memastikan tampilannya sempurna untuk menyambut kedatangan suami dan kakak madunya.
Ia bergegas keluar, waktu isya sudah lama berlalu. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam, Nadia datang ke rumah Ikram. Menunggu kedatangan mereka bersama Ruby dan Bilal. Belajar apa saja yang ingin dipelajari oleh dua anak itu.
Deruman mobil menghentikan kegiatan mereka. Ruby dan Bilal berhamburan keluar rumah menyambut kedatangan orang tua mereka. Nadia menyusul perlahan di belakang dengan senyum yang terulas.
"Abi! Umi! Nafisah!" teriak keduanya sembari memeluk satu per satu dari mereka. Ain berdiri di teras menunggu kedatangan mereka.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalaam! Bagaimana perjalanan kalian? Pasti lelah, aku akan buatkan minum!" sapa Nadia dengan sopan. Ia menyalami keduanya sebelum ikut memasuki rumah.
"Alhamdulillah, lumayan jauh dan lelah," sahut Ikram yang memilih berjalan bersama Nadia. Ingin rasanya Nadia melingkarkan tangan di lengan itu, tapi apalah daya ia tak memiliki keberanian.
"Kamu duduk saja, Nad! Sepertinya kamu terlihat lelah, biar Kakak yang buatkan minum untuk Abi," sergah Ain saat melihat Nadia yang hendak menuju dapur.
"Tidak apa, Kak. Justru Kakak yang baru saja datang pasti merasa lelah," sahut Nadia lagi dengan tulus. Namun, Ain tetap tidak mengizinkannya untuk membuat minuman.
"Tidak apa-apa, kamu di sana saja. Biar Kakak yang buatkan," ucap Ain memaksa. Teringat akan pesan Sarah, Nadia akhirnya mengalah. Ia melirik Ain dengan pandangan sendu, sikap Ain seolah tak mengizinkannya melayani Ikram.
Nadia kembali ke kursi di mana Ikram terduduk lemas. Melihat suaminya yang begitu lelah. Nadia memilih untuk pulang.
"Mas, sebaiknya aku pulang saja. Sepertinya Mas lelah sekali, istirahat, ya." Nadia menyalami Ikram yang tak ditanggapi sama sekali oleh laki-laki itu.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalaam!"
Ikram melirik Nadia yang perlahan keluar rumah, pandang mereka bertemu saat Nadia menoleh sekilas sebelum akhirnya benar-benar keluar dari rumah itu. Air matanya mengalir begitu saja, sikap Ikram dan Ain berubah. Ada apa dengan mereka?
"Astaghfirullah! Ya Allah ... ampuni hamba!" gumamnya saat sadar ia tidak boleh berburuk sangka pada orang lain saat tak tahu alasan dibalik perubahan sikap mereka. Namun, tetap saja hatinya merasa sakit. Tiga hari ditinggalkan tanpa kabar, datang-datang bersikap tak acuh dan seolah tak peduli padanya.
Nadia yang kondisinya belum pulih pun, langsung terlelap begitu ia merebahkan diri di ranjang.
Sang fajar datang menyingsing melengserkan kegelapan secara perlahan. Nadia masih duduk di atas sajadah, tubuhnya yang lemah membuatnya tak dapat melakukan apa pun.
Tasbih diputarnya dengan pelan, bibirnya berbisik lirih menggumamkan kalimat-kalimat thoyyibah. Setitik air jatuh saat mengingat sikap Ikram semalam, ia luruh di lantai. Menjatuhkan kepala di atas sajadah, dengan tangan tetap memegangi tasbih.
"Mbak! Mbak Nadia!" Suara Ibu pengasuh yayasan yang datang tak mampu disahutinya karena kondisi tubuhnya yang semakin melemah.
"Ya Allah, Mbak! Kenapa Mbak Nadia ini?" pekiknya saat melihat ke arah kamar Nadia yang pintunya terbuka dan mendapati orang yang dicarinya lunglai di lantai.
"Ibu!" panggil Nadia lirih. Wanita paruh baya itu membantu Nadia untuk beranjak ke atas ranjang. Membaringkannya setelah membuka mukena yang ia kenakan.
"Ya Allah, Mbak! Sebenarnya Mbak Nadia sakit apa? Kenapa bisa sampe kaya gini. Biar Ibu panggilkan Abi, ya biar dibawa ke Rumah Sakit," katanya yang sudah hampir beranjak dari ranjang Nadia.
"Tunggu, Bu!" Cekalan tangan Nadia menghentikannya. Ia duduk kembali dengan gelisah.
"Kenapa, Mbak? Abi harus tahu kalau Mbak Nadia sedang sakit," katanya lengkap dengan mimik wajah yang mencemaskan keadaan Nadia.
"Tidak usah, biar saja. Mas Ikram masih harus istirahat karena baru pulang, biarkan saja, Bu. Jangan mengatakan apa pun soal kondisiku pada siapa pun, Bu," pintanya dengan nada lemah dan wajah yang pucat.
Hati wanita paruh baya itu meringis sedih melihat kondisi Nadia, tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Dalam hatinya bertanya sakit apa sebenarnya Nadia.
"Makan dulu, Mbak. Biar Ibu suapi," katanya. Nadia mengangguk, ia beranjak duduk menunggu Ibu pengasuh mengambil makanan yang ia bawa. Seandainya tidak ada wanita itu, entah apa jadinya Nadia seorang diri.
Hingga satu bulan lamanya, Ikram tidak ada berkunjung ke rumahnya. Dan dikarenakan kondisi tubuhnya yang belum stabil, Nadia tak dapat melakukan pekerjaan yang terlalu berat. Ia hanya berdiam diri di rumah dan sesekali akan pergi ke yayasan membantu Ibu pengasuh.
Hampir satu bulan ini, ia tak datang ke rumah Ain. Rasa tak diinginkan memenuhi relung hatinya, Nadia melepaskannya dengan berkumpul bersama anak-anak. Tertawa meski hatinya perih, bercanda walau luka kian menganga.
Hanya itu yang ia lakukan sampai suatu sore saat ia sedang duduk bertadarus Ikram datang berkunjung.
"Assalamu'alaikum!"
Mendengar suara laki-laki yang ia tunggu kedatangannya, Nadia menghentikan tadarusnya. Ia mendongak menatap Ikram yang telah berada di ambang pintu kamarnya.
"Wa'alaikumussalaam!" Nadia beranjak mendekat dan menyalami Ikram. Pucat masih tersisa di wajahnya yang cantik jelita.
"Mas, bagaimana kabar, Mas? Apa Mas baik-baik saja?" cecar Nadia dengan rasa cemas yang tak ditutup-tutupi.
Ikram menelisik wajah Nadia, ia mengusap pipi lembut istri keduanya itu. Hatinya meringis ngilu.
"Mas dengar kamu sakit, kenapa tidak mengabari Mas? Kamu lebih kurus, apa makan kamu kurang? Maafkan Mas," ucap Ikram masih menelusuri setiap inci wajah Nadia dengan tangannya.
Wanita itu tersenyum, senyum yang menyiratkan ketabahan juga keteguhan hatinya.
"Cuma sakit biasa, Mas. Masuk angin saja, maafkan aku karena hampir sebulan ini tidak datang ke rumah. Ibu yayasan membutuhkan bantuan," jawab Nadia terdengar lirih di telinga Ikram.
Ia tidak terlihat baik-baik saja meskipun bibirnya mengukir senyum. Matanya sayu dan sembab, bibirnya pucat bagai tak dialiri darah.
Ikram yang merasa bersalah memeluk tubuh Nadia. Ia sampai menangis, tapi langsung dihapusnya dengan cepat. Nadia yang sangat merindukan Ikram, ikut membalas pelukannya. Membenamkan wajah di dada bidang suaminya, sambil turut menangis karena bahagia.
"Maaf! Maafkan Mas, Nadia!" cicit Ikram dengan segudang rasa bersalah yang bersarang di hatinya.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja!" sahut Nadia dengan pelan.
Ikram menggiring Nadia masuk ke dalam kamar. Mendudukkan istrinya itu bersamanya yang ikut duduk. Ia genggam jemari Nadia sembari menatap dalam kejora indah di hadapannya.
"Mas ingin berbicara sama kamu," katanya.
"Kalau Mas ingin mengatakan alasan Mas karena tak datang, aku sudah tidak ingin membahasnya. Aku juga tidak akan menanyakannya pada Mas," tukas Nadia dengan nada tulus.
Ia tak perlu tahu alasannya, yang penting Ikram sudah datang.
"Bukan begitu, Mas pikir kamu perlu tahu karena ini menyangkut dirimu," lanjut Ikram masih menatap lekat pada wajah Nadia yang beriak.
"Hmm ... ya sudah, katakan saja! Aku dengarkan."
"Nadia, sebenarnya ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
HENI Ariyanti
salah yg masuk sebagai org ke 3,..laki2nya jg dg dalih poligami di bolehkan tp sbnrnya hanya sahwat aja..kesel bngt
2023-04-12
0
Alna Vaha
semua ini salahnya Sarah. kenapa Sarah membiarkan Nadia bahagia dengan menyakiti hati wanita lain. ini karma bagi Nadia. sakit fisik belum cukup di banding sakit hati!!
2021-11-25
2
Hanipah Fitri
kau jahat ain....
2021-11-14
2