Malam itu, malam di mana seharusnya Ikram menginap di rumah Nadia, ia justru kembali ke rumah istri pertamanya. Ain yang baru saja terlelap bersama ketiga anaknya dalam satu kamar harus terjaga saat mendengar suara ketukan di pintu.
Dengan malas Ain beranjak keluar kamar, ia menyambar kerudung instan yang tersampir di atas sandaran kursi riasnya. Mengenakannya sebelum membuka pintu.
"Abi, kenapa pulang?" Mata wanita itu membulat sempurna saat ia mendapati sosok suaminya di depan rumah. Ia tak mengira Ikram akan pulang karena dia sudah meminta izin Ain untuk menginap di rumah Nadia.
"Iya, Mi. Boleh Abi masuk?" pinta Ikram dengan nada lelah yang tak terkira.
Ain bergeming di pintu, belum membukakan pintu rumahnya dan membiarkan Ikram berada di luar.
"Maaf, Bi, tapi seharusnya Abi menginap di sana malam ini bukannya malah pulang. Bagaimana dengan perasaan Nadia saat dia ditinggalkan sendiri? Ini malam pertama kalian," sahut Ain meluruskan hal yang menurutnya tidak benar.
Ikram memaku tatapan pada netra Ain yang sama sekali tak terdapat kebohongan di dalamnya. Pandangan yang selalu lembut dan meneduhkan masih dimiliki wanita itu.
"Abi tahu, tapi bisakah Abi masuk dulu? Baru setelah itu Abi akan menceritakannya pada Umi," sahut Ikram lagi memohon dan memelas pada istri pertamanya itu.
Ain terpaksa membukakan pintu dan membiarkan Ikram masuk ke rumahnya. Mereka berdua menuju sofa untuk berbincang, Ain pergi ke dapur mengambilkan minum untuk Ikram yang terlihat lelah. Laki-laki itu menjatuhkan kepala pada sandaran sofa dan memejamkan mata lelah.
Tubuhnya lunglai tak bertenaga, perdebatannya dengan Nadia melemahkan urat syaraf di tubuhnya. Kata-kata Nadia terus mengiang di telinga.
"Diminum dulu, Bi!" ucap Ain seraya memberikan segelas air dingin kepada suaminya.
Ikram membuka matanya, ia menjauhkan tubuh dari sandaran sofa dan meraih gelas air. Menenggaknya hingga tersisa hanya setengah, cukup menghilangkan rasa panas yang bergolak di dada.
Ain memperhatikan gelagat suaminya dengan saksama, apa yang sudah terjadi antara suami dan madunya?
"Sekarang, bisa Abi ceritakan ada masalah apa sampai Abi pulang ke rumah?" tanya Ain setelah melihat Ikram yang sedikit mulai tenang.
Ikram menundukkan wajah, menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Lama ia lakukan itu untuk menguatkan hatinya membicarakan soal syarat Ain sebelum menikah.
Ain menunggu dengan sabar, tak ada sikap atau pun kata mendesak yang ia lakukan. Hanya menunggu dalam diam sampai Ikram benar-benar siap untuk menceritakannya.
Ikram mengangkat pandangan, netra keduanya bertemu dalam balutan rasa yang lain. Ain mendadak bingung mendapati Ikram yang tidak seperti biasanya.
"Umi, jika datang seekor kucing kepada Umi dengan harapan ia akan mendapatkan sisa tulang dari ikan yang Umi makan, tapi justru tulang itu Umi buang ke tempat di mana kucing tersebut tak dapat menjangkaunya. Kira-kira apakah kucing itu akan merasa kecewa?" ucap Ikram memandang wajah teduh yang sudah sepuluh tahun itu menemani hidupnya.
Ain berkerut dahi mendengar perumpaan yang diutarakan Ikram. Beberapa saat ia berpikir, detik kemudian ia mengerti ke mana arah pembicaraan Ikram.
"Apa Nadia tidak bisa menerima syarat dari Umi? Lalu, dia kecewa sehingga meminta Abi untuk pulang ke rumah? Apakah seperti itu?" timpal Ain. Ia memang cerdas dan Ikram selalu mengagumi sosoknya.
"Menurut Umi bagaimana?" Ikram membalikkan pertanyaan kepada Ain.
Wanita tiga anak itu berpaling ke arah lain. Tarikan napasnya lebih berat dari biasanya.
"Jika kucing itu menginginkan sisa tulang, seharusnya dia tidak datang pada orang yang telah memiliki kucing lain. Bukan begitu, Abi?" sindir Ain kembali menatap Ikram yang diam mendengarkan.
"Jika dia ingin masuk ke dalam rumah tangga orang lain, maka dia harus siap menerima segala resiko yang akan dihadapinya. Apa pun itu karena bagaimana pun kehadirannya sungguh mengusik ketenangan keluarga mereka. Dia harus tahu segala konsekwensinya. Wanita mana pun tidak akan mudah menerima wanita lain untuk menjadi madunya, Bi-"
"Lisan bisa saja berkata iya, tapi hati siapa yang tahu? Apa lagi rumah tangga kita selama ini tidak pernah ada masalah apa pun. Keturunan? Abi sudah memiliki tiga dari Umi. Mengangkat derajat? Nadia itu wanita bebas dan terhormat. Umi juga masih mampu memenuhi kebutuhan biologis Abi. Umi hanya meminta satu hal itu saja, tidak yang lain," papar Ain pada akhirnya meluapkan segala apa yang dipendamnya dalam hati.
Ikram bungkam. Ia sungguh tak menyangka Ain menyimpan rasa sakit yang begitu dalam dari pernikahan keduanya itu. Ikram menilik biji manik Ain yang berkaca. Hatinya merasakan perih seketika melihat gurat sedih sekaligus kecewa yang dipancarkan mata itu.
"Abi kira Umi benar-benar menerima pernikahan Abi dengan Nadia. Tidak ada yang mengganjal dalam hati Umi apa pun itu. Maafkan Abi, Mi. Abi belum bisa menjadi imam yang baik untuk Umi, dan Ayah yang baik untuk anak-anak. Abi masih tergoda ***** hingga tidak melihat kesedihan di wajah Umi, tapi semua ini telah terjadi. Mau tidak mau kita harus menerima dan menjalani takdir yang digariskan Allah untuk kita ini-"
"Jangan sampai syetan menguasai nurani kita dan membutakannya. Dia akan merasa menang dan bergembira saat iman kita lemah dan hanyut dalam kesedihan dari nasib yang tak semestinya kita ratapi. Mari benahi diri kita masing-masing, muhasabah diri itu penting agar kita tidak selalu berburuk sangka pada takdir Allah. Bisa kita mulai semuanya dari awal bersama Nadia?" pinta Ikram.
Ia pun bukannya tak sakit melihat Ain yang menahan sebak di dada akibat pernikahan keduanya. Namun, semua itu telah terjadi dan Ain sendiri yang menyetujuinya juga mengantarkannya saat pernikahan.
"Maafkan Abi!"
Ikram meraih tangan Ain dan menempelkannya di dahi. Ain melipat bibir menahan sesak yang merebak di dada. Benar, semua ini telah terjadi dan ia harus menerimanya dengan lapang dada.
"Maafkan Umi, Bi. Tidak seharusnya Umi melakukan ini, maafkan Umi."
Ain menjatuhkan wajahnya di atas kepala Ikram. Keduanya larut dalam kesalahan masing-masing dan mencoba untuk menerima takdir dengan kehadiran Nadia di antara mereka.
Jadilah, malam itu Ain menumpahkan segala rasa yang ada dalam hatinya pada Ikram. Puas dan lega rasanya setelah ia melakukannya. Tak ada lagi beban yang ditanggungnya sendiri.
Akan tetapi, keesokan harinya saat ia melihat Nadia yang mendiamkan Ikram, diam-diam bibirnya membentuk senyuman hatinya bergumam senang. Buru-buru ia beristighfar memohon ampun kepada Allah.
Ia tak menampik, ketidakbahagiaan Nadia menjadikan hatinya sedikit merasa bahagia. Nadia yang selalu ramah padanya pun selalu menundukkan wajah saat berpapasan dengannya. Ia tak berani menatap Ain entah karena kesal atau karena enggan. Hanya dia yang tahu.
"Nadia, bisa minta tolong mandikan Nafisah? Kakak sedang sibuk dengan Bilal," pinta Ain pagi itu sengaja memancing Nadia.
"Baik, Kak!" Jawaban singkat Nadia dengan berlalunya dirinya membuat Ain sedikit merasa kesal karena pancingannya tidak berhasil. Nadia tetap diam dan melakukan tugas yang diberikan Ain padanya.
Begitulah setiap harinya, Nadia masih tidak berbicara dengan Ikram dan Ain terkadang merasa senang akan hal itu meskipun setiap kali seperti itu ia akan selalu mengucapkan istighfar. Memohon ampun pada Tuhan atas khilafnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
Maizaton Othman
jangan menghukum sesuatu yg tidak terlihat oleh mata kita dan tidak kita ketahui...
2024-11-04
0
ain mungkin salah dan berdosa, tapi suaminya dan orang ketiga lebih berdosa lagi karna menyebabkan ain sakit hati dan memendam kecewa
2022-01-30
5
Lia Eka Pratama
bkb khilaf tp disengaja dasar manusia ...siapa sih yg mau berbagi suami
2021-12-27
2