Hari yang dinanti Ain telah tiba. Pagi buta ia telah terbangun menyiapkan segala keperluan untuk kepergiannya bersama Ikram ke kota Tasikmalaya. Hanya Nafisah yang akan dibawanya, anak bungsunya yang baru memasuki dua tahun usia.
Ia bahkan menyiapkan makanan untuk semua orang sebelum adzan subuh berkumandang. Semua telah siap, Bilal ia bangunkan dan mandikan sebelum pergi ke masjid bersama Ikram.
"Umi, tumben pagi sekali semuanya sudah siap? Umi jadi pergi sama Abi?" tanya Ruby usai bersiap dan menemui Ain di meja makan. Wanita itu tengah menyuapi si bungsu di atas keretanya.
"Iya, sayang. Kakak jaga Adik di rumah, ya. Nanti sama Bunda saja dulu, 'kan, lagi sekolah," pinta Ain yang sudah menjadi kewajiban Ruby sebagai anak sulung menjaga adiknya saat kedua orang tua mereka pergi melaksanakan panggilan tugas.
"Siap, Umi! Kakak pasti jaga Adik," sahut Ruby sembari meletakan tangan kanannya di dahi tanda hormat.
Ain terkekeh melihat putri sulungnya. Ia memang selalu bisa diandalkan.
"Kamu memang anak Umi yang hebat, selalu bisa diandalkan," puji Ain bersungguh-sungguh.
"Ah ... Umi, bisa saja." Wajah gadis kecil itu bersemu, antara senang dan malu dipuji.
"Assalamu'alaikum!" Suara Ikram bersambut Bilal datang menyapa. Mengenakan sarung dan koko juga peci sepulang dari masjid.
"Wa'alaikumussalaam!" sambut Ain dan Ruby bersamaan juga si bungsu yang baru mulai belajar berbicara.
Ketiganya menyalami mereka berdua seraya duduk di meja makan bersiap dengan makanan yang dihidangkan Ain pagi ini.
"Hmm ... enak nih, sarapannya," celetuk Ikram saat melihat makanan di atas meja yang menggugah selera.
"Perjalanan kita jauh, Bi, jadi harus makan yang agak banyak biar kuat," sahut Ain yang diangguki kepala Ikram. Secangkir kopi hitam cap kupu-kupu khas kota Rangkasbitung pun telah terhidang dengan asap yang mengepulkan aroma khas dari kopi tersebut.
"Mmm ... nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan, Ikram!" celetuk Ikram sembari menyeruput kopi panas itu dan menikmati aromanya.
Ain tersenyum, kehangatan pagi yang ia rindukan. Tiada Nadia yang selalu datang berkunjung meski kehadirannya memang sedikit membantu kesibukannya di pagi hari.
"Assalamu'alaikum!" Baru saja hati kecil Ain bergumam, gadis itu sudah muncul. Salahnya yang dulu meminta Nadia untuk datang membantu menyiapkan keperluan anak-anaknya.
"Wa'alaikumussalaam!" sambut semua orang di meja makan.
"Wah ... tumben ini sudah pada rapi? Mau pada ke mana?" tanya Nadia. Riak bingung nampak jelas di wajahnya. Begitu pun dengan Ain, apa madunya itu tak tahu kalau hari ini mereka akan pergi.
"Kamu tidak tahu hari ini kami akan pergi? Ah ... tidak! Kakak dan suami kita saja bersama si bungsu," tanya Ain. Ikram terdiam sedikit merasa bersalah pada Nadia karena ia belum sempat membicarakan kepergian rutinnya kepada istri mudanya itu.
"Pergi? Aku tidak tahu kalau Kakak dan Mas Ikram akan pergi hari ini? Ada acara apa?" tanya Nadia, dahi wanita itu berlipat dalam. Ia melirik Ikram yang masih bungkam dengan kedua tangan saling bertaut di atas meja.
"Abi, apa Abi tidak mengatakannya pada Nadia?" selidik Ain sama-sama bingungnya. Namun, sedikit merasa menang saat gurat kecewa sedikit nampak di wajah cantik itu.
"Ah ... Ya, Abi lupa." Ikram menatap Ain malu lalu melirik Nadia menyesal, "Mas lupa mengatakannya sama kamu kalau hari ini ada pengajian rutin di luar kota. Mas biasa pergi bersama Umi anak-anak juga si bungsu, sedangkan Ruby dan Bilal akan tetap di sini," lanjut Ikram menjelaskan pada Nadia.
Desiran darah tak mengenakan mengena pada otak Nadia. Membuatnya sedikit berdenyut saat mendengar penuturan Ikram. Apakah dia dilupakan?
Nadia mengukir senyum terpaksa, mungkin Ikram benar lupa karena kesibukannya yang akhir-akhir ini sering mendapatkan undangan ceramah dari masyarakat setempat bahkan dari luar daerah.
"Tidak apa-apa, memangnya berapa hari perginya? Aku lihat satu koper besar di depan sana," tanya Nadia saat mengingat satu buah koper besar teronggok di ruang tengah rumah bersama satu koper kecil.
"Itu hanya berbagai keperluan untuk selama tiga hari saja di sana," jawab Ain. Nadia mengangguk-anggukan kepalanya mengerti meski hatinya merasakan perih. Tak ada apa pun yang akan dia lakukan, ia menunggu Bilal selesai makan dan akan membantu menyiapkannya.
"Ayo, sekalian sarapan!" ajak Nadia ramah.
"Tidak, Kak. Aku sudah sarapan, kalian saja. Aku akan menunggu di ruang depan," katanya seraya berbalik meninggalkan ruang makan.
Lupa? Kenapa Mas Ikram bisa sampai lupa? Bukankah tiga malam ini dia selalu menginap di rumah, tapi tak ada pembicaraan apa pun mengenai kepergiannya ini. Hah~
Hembusan napas panjang ia lakukan sembari mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Rasanya ada sesuatu yang mencubit hatinya, sakit dan perih terasa. Jangankan diajak pergi, diberitahu saja tidak.
Kehangatan gelak tawa yang ia dengar dari arah ruang makan mengantarkannya pada rasa bersalah karena telah berani masuk ke dalamnya sekaligus rasa iri dalam hati. Ia pun ingin memiliki keluarga hangat seperti itu.
Nadia ikut beranjak saat melihat Ikram dan yang lainnya datang. Ia ikut mengantar ke depan. Rupanya bukan hanya Ikram dan Ain yang akan pergi, tapi ada beberapa santri juga yang ikut pergi bersama mereka.
"Umi sama Abi pamit, ya. Yang baik di rumah, jangan menyusahkan siapa pun," ucap Ain saat kedua anaknya menyalami secara bergantian.
"Iya, Mi. Umi sama Abi tenang saja, kami akan bersikap baik selama tidak ada kalian di sini," sahut Ruby dengan pasti. Ain tersenyum mendengarnya. Ia mengangkat pandangan menatap Nadia yang berdiri di belakang Ruby.
"Kakak titip anak-anak, ya. Maaf kalau mereka nantinya merepotkan," ucap Ain tak enak pada Nadia.
Nadia tersenyum tabah, hati kecilnya sangat ingin pergi bersama Ikram. Setidaknya, ia diajak pergi bersama tidak ditinggal di rumah seperti ini.
"Iya, Kak. Kakak tenang saja, aku pasti menjaga mereka," ucap Nadia lagi menekan rasa cemburu yang tiba-tiba membuncah saat membayangkan keduanya berada dalam satu bus di perjalanan sambil menikmati pemandangan alam. Ia cemburu.
"Ya sudah, kami pamit. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalaam!"
Ikram tak mengatakan apa pun kepada Nadia bahkan saat wanita itu mencium punggung tangannya, Ikram hanya mengelus punggungnya saja dengan lembut. Ia melambaikan tangan meski hati perih melepas kepergian mereka berdua. Tak apa, mungkin untuk saat ini tidak. Semoga lain waktu ia yang pergi. Harapnya dalam hati.
"Abi ... Abi ingat waktu kita belum memiliki anak dan pengajian diadakan di kota Padang sana?" tanya Ain sesaat mobil telah meninggalkan kawasan pesantren dan mulai memasuki kota.
"Mmm ... ingat. Kenapa? Umi mau ke Padang lagi?" sahut Ikram setelah mengawang jauh mengingat hal yang dikatakan oleh Ain tadi.
"Umi kangen masa-masa berdua dengan Abi, masa-masa menantikan si buah hati dengan segala harap kita gantungkan pada langit. Abi sama kangennya seperti Umi?" ungkap Ain sembari menyenderkan kepala di bahu Ikram. Jemarinya ia takutkan pada jemari Ikram, hangat masih sama seperti dulu.
"Umi benar, rasanya akhir-akhir ini kita terlalu sibuk hingga tidak memiliki waktu untuk berdua," timpal Ikram mengeratkan genggaman jarinya.
"Bukan kita, tapi Abi yang akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan istri muda Abi hingga hampir melupakan Umi."
Deg!
Jantung Ikram tiba-tiba memacu, ia ingat sudah tiga hari ini selalu menginap di rumah Nadia. Apakah dia sudah tidak berbuat adil?
"Maafkan Abi, Mi." Ikram mengangkat tangan mereka dan mencium punggung tangan Ain.
"Umi punya permintaan untuk Abi," ungkap Ain sembari melirik Ikram.
"Yah, apa pun itu untuk menebus kesalahan Abi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
Hera
emang susah ya yg namanya terbagi suliitt banget ngejalaninnya
2022-12-08
0
mithos
si nadia pelakor tapi g nyadar...😈😈😈
2021-12-21
1
Sofia
maaf aja terus pak ustadz
2021-12-15
1