Kehangatan dalam gedung itu harus terhenti oleh sikap Ruby yang tiba-tiba berdiri dan meninggalkan ruang tamu yayasan sembari mengajak kedua adiknya pergi. Bilal dan Nafisah.
Hal itu tentu saja menyinggung Nadia, tapi gadis itu bisa memaklumi sikapnya.
"Maafkan Ruby, ya. Mungkin dia butuh waktu untuk menerima kehadiran kamu," ucap Ain sembari mengelus punggung tangan Nadia yang berada di pangkuan.
"Tidak apa-apa, Kak jangan terlalu merasa tak enak," sahut Nadia lagi.
Hati laki-laki mana yang tak bahagia? Melihat dua istrinya begitu akrab dan bisa saling menerima satu sama lain.
Semoga tetap seperti ini terus. Ya Allah ridoi dan berkahi rumah tangga kami.
Ikram melangitkan doa dalam hatinya dengan segala harap.
"Mmm ... anak-anak, mulai hari ini Tante Nadia akan tinggal di sini bersama kita. Beliau akan membantu mengurus kalian," sela Ikram di antara riuh rendah suara celoteh anak-anak itu.
"Benarkah? Apa Tante akan tinggal di sini bersama kami?" tanya salah satu yang paling besar di antara mereka. Binar-binar bahagia jelas terlihat di mata mereka.
Nadia mengangguk membenarkan. Senyum di bibirnya tak pudar meladeni semua anak malang itu.
"Tante Nadia akan menjadi Ibu kalian juga, jadi hormati Ibu baru kalian sama seperti kalian menghormati Umi," lanjut Ikram lagi sambil menatapi mereka satu per satu.
"Apa itu artinya, Tante akan tinggal di sini selamanya?" sambar yang lain dengan cepat.
"Tante, boleh kami memanggil Bunda saja? Sama seperti kami meninggal Umi, kami pun ingin memanggil Tante Bunda," usul yang lain dengan mata penuh pengharapan. Disambut suara riuh yang menyetujui usulan itu.
"Boleh, kalau kalian nyaman tidak masalah," jawab Nadia. Mereka bersorak. Ia melirik Ikram dan Ain yang duduk berdampingan, sementara ia duduk di antara anak-anak yang mengelilinginya.
Sungguh ia pun bisa merasakan cemburu. Namun, ia sadar posisinya di antara mereka apa? Jadi, sebisa mungkin Nadia menekan rasa yang membuat panas jantungnya itu. Ia tetap tersenyum saat keduanya melihat ke arahnya.
Lagi-lagi hati Ain merasa ngilu saat Ikram tersenyum semanis itu pada madunya.
"Bunda, apa Bunda akan tinggal di sini selamanya bersama kami?" tanya anak yang duduk di pangkuannya.
"Mmm ... insya Allah. Hanya doakan saja Bunda semoga istiqamah di jalan Allah," jawab Nadia lagi yang disambut kata aamiin dari semua anak juga sepasang suami istri dan pengasuh yayasan.
Ain merasa tak enak karena sejak mereka melaksanakan akad, Ikram dan Nadia belum memiliki waktu berdua untuk berbincang.
"Bi, Umi akan menyusul Ruby. Khawatir ia melakukan hal yang tidak kita inginkan. Abi tidak apa-apa, bukan sendirian mengantar Nadia?" ucap Ain meminta izin suaminya. Ia harus tabah meski perih hatinya berbagi suami dengan wanita lain.
Ikram menoleh, ia menepuk lembut tangan Ain sambil tersenyum.
"Ya, tidak apa-apa. Lagi pula ada anak-anak yang akan ikut mengantar, tapi sebaiknya Umi izin dulu pada Nadia khawatir dia akan tersinggung dan berpikir yang tidak-tidak," sahut Ikram yang diangguki Ain.
"Tentu saja, Abi. Tidak mungkin Umi pergi begitu saja tanpa pamit padanya," katanya seraya beranjak berdiri dan mendekati Nadia.
"Dek, Kakak mau melihat Ruby dulu. Hanya khawatir anak itu akan berbuat nekad. Tidak apa-apa, ya, kamu diantar sama Abi saja?" pamitnya sembari duduk di samping Nadia.
Nadia melirik Ikram, laki-laki itu menganggukkan kepala tanda setuju.
"Iya, Kak tidak apa-apa. Terima kasih sudah menerima saya dengan baik di sini, dan tolong sampaikan maaf saya untuk Ruby," ucap Nadia dengan lembut.
Mata hazelnya memancarkan sedikit kekecewaan karena sikap Ruby yang menolak hadirnya.
"Ya sudah, pelan-pelan Kakak akan menasihatinya. Semoga ia bisa menerima kamu," ucap Ain lagi dengan perasaan yang tak menentu.
Ia pergi meninggalkan yayasan menyusul Ruby ke pondok yang membawa kedua adiknya. Nadia menatap nanar punggung wanita mulia itu. Bukannya ia tak tahu sakit yang dirasakannya. Rasa cemburu yang dia rasakan, tak sepadan dengan rasa cemburu Ain yang suaminya harus dibagi dengannya. Siapa yang ingin berbagi cinta? Terlebih itu berbagi suami.
Adzan Dzuhur berkumandang di masjid milik pondok. Ikram membubarkan anak-anak itu untuk pergi ke masjid menunaikan shalat berjamaah, sementara dirinya mengajak Nadia ke rumah baru yang akan ditempatinya.
Mereka berjalan berdampingan, terlihat canggung dan gugup. Terutama Nadia yang merasakan kehangatan menjalar ke sekujur tubuhnya saat Ikram tanpa segan menautkan jemarinya.
"Ini rumah yang akan kamu tempati. Memang tidak besar seperti rumah yang kamu tinggali dulu, tapi di sinilah kita akan memulai kehidupan baru dalam berumah tangga," ucap Ikram seraya membukakan pintu rumah sederhana itu dan mengajak Nadia untuk masuk ke dalamnya.
"Rumahnya nyaman, kok, bersih dan rapi. Aku suka," ucap Nadia sembari mengedarkan pandangan ke segala penjurunya.
"Syukurlah, kalau kamu suka. Kita duduk dulu, Mas ingin bicara," ajak Ikram menuntun Nadia untuk duduk di sofa ruang tamu.
"Mas, apa tidak sebaiknya kita shalat dulu? Baru setelah itu, kita bisa bicara," ingat Nadia saat mengingat baru saja adzan menggema.
"Astaghfirullah! Kamu benar, kita jamaah di sini saja, ya," pekik Ikram. Nadia mengangguk malu-malu.
Mereka beranjak ke kamar, menunaikan empat rakaat secara berjamaah untuk pertama kalinya. Kebahagiaan yang dirasakan Nadia berlipat ganda saat mereka sama-sama mengangkat tangan melakukan takbiratul ihram, rukuk, dan sujud sebagai suami istri.
"Nadia, maafkan Mas karena sepertinya kita harus menunda malam pertama kita. Mas akan menenangkan Ruby terlebih dahulu. Mas hanya takut, anak itu akan memberontak jika saja Mas bermalam di sini. Kamu tidak apa-apa, bukan?" ungkap Ikram dengan perasaannya yang bercampur aduk.
Ia genggam jemari lembut Nadia, dan menatap maniknya dengan hangat pula.
Sebagai pengantin baru, tentu saja Nadia ingin merasakan malam pertama meskipun kata orang akan terasa menyakitkan untuk pertama kalinya, tapi semua tetap mendambakan malam ritual itu. Namun, lagi-lagi ia harus ingat posisinya. Batasan-batasan yang tidak boleh dipaksakan.
Bibir seksi menggoda milik Nadia, membentuk garis lengkung ke atas. Menambah aura kecantikan yang memancar dari dirinya.
"Tidak apa-apa, Mas aku mengerti. Lagi pula, menunda malam pertama bukanlah hal buruk untuk dilakukan. Dan yang aku denger hal itu dibolehkan, benar tidak?" Nadia terkekeh. Ia belum begitu faham soal agama dan hukum.
Namun, sering membaca dan mendengarkan Ikram memberikan tausiyah yang sering diperdengarkan lewat siaran radio. Ikram tersenyum, dikecupnya tangan Nadia dengan gemas.
Gelenyar-gelenyar aneh mulai bermunculan dan mengalir di seluruh pembuluh darah milik Nadia. Terus mengalir hingga ke jantung mencipta degupan yang tak beraturan. Serasa ingin melompat dan menerjang Ikram. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.
Ikram tak ingin kehilangan momen itu, jari telunjuknya ia letakkan di dagu Nadia dan mengangkat wajah yang tertunduk itu secara perlahan. Warna merah di kulitnya yang seputih susu nampak kontras dan Ikram menyukainya.
"Humairah!" celetuknya tersenyum lembut, "kamu tidak salah karena Rasulullah saja berkumpul dengan Aisyah setelah dua tahun menikahinya," lanjut Ikram memberitahu Nadia.
Nadia berkedip, bulu-bulu lentik dan lebat alami miliknya sungguh menggoda keimanan Ikram. Tanpa sadar, laki-laki itu mendekatkan wajah dan mencecap bibir ranum milik Nadia. Terhanyut, terbuai, terlena oleh kenikmatan yang mengundang rasa ingin lebih.
"Maaf!" cicit Ikram setelah menyudahi aksinya melahap daging lembut itu.
"Tidak apa-apa, Mas," sahut Nadia bergetar. Ia kembali menunduk malu sambil menggigit bibirnya. Oh ... apa itu tadi? Rasanya sangat aneh.
"Ayo, Mas bantu rapi-rapi." Ikram beranjak membantu Nadia merapikan pakaiannya ke dalam lemari. Di dalam lemari tersebut telah tergantung koko dan jubah milik Ikram. Nadia kembali menghangat, Ikram memang berniat tinggal bergantian dengannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
Novita Dwi Je
😩😩😩mau laki mau bini kedua.. sama aja😞
2023-01-01
1
perempuan munafik, pencuri suami orang!
2022-01-30
5