Sebagaimana cermin ... hati yang sudah hancur berkeping-keping tak akan bisa kembali utuh.
Manusia itu seperti buih di lautan, terombang-ambing gelombang kehidupan. Ke sana ke mari mencari pegangan, untuk tetap bertahan dalam dunia yang dipenuhi penderitaan.
Satu bus mini melaju meninggalkan yayasan di mana Nadia tinggal. Ia tak pernah tahu jika Ikram dan keluarganya pun tengah pergi berlibur. Suara nyanyian anak-anak terdengar nyaring dan ceria mengisi mobil tersebut.
Nadia sangat terhibur dengan gelak tawa dari anak-anak, selama ini ia hanya sering datang berkunjung menyerahkan sumbangan tanpa dapat bercengkerama lama-lama bersama mereka.
Namun kini, ia begitu dekat. Kekeluargaan jelas terasa hangat untuknya, tak apa Ikram jarang berkunjung. Ia sudah merasa terhibur oleh anak-anak tersebut. Senyum dan canda tawa mereka berhasil menepis kekosongan dalam hatinya.
"Bu, siapa yang selama ini membantu Ibu mengurus anak-anak?" tanya Nadia pada Ibu pengasuh yang duduk di sampingnya. Ia melirik pada anak-anak yang masih saling bercanda dan tertawa.
"Dulu ada teman Ibu dia gadis, tapi sekarang sudah menikah ikut suaminya. Lalu dibantu Umi mengurus anak-anak. Yah ... walaupun beliau disibukkan dengan keluarga, tapi beliau selalu menyempatkan diri dan waktu untuk membantu mengurus anak-anak ini," jawab Ibu pengasuh apa adanya. Nadia mengangguk-anggukan kepala mengerti. Betapa ia memuji Ain dalam hati dan mengangumi sosoknya.
"Boleh saya bertanya?" Ibu pengasuh mengangguk sambil menatap Nadia, "seperti apa sosok Kak Ain itu?" tanya Nadia ingin tahu. Tak ada niatan buruk dalam hatinya, ia hanya ingin tahu saja.
"Umi itu orangnya baik, sederhana, tidak banyak menuntut. Beliau juga penyayang, sangat menyayangi anak-anak. Umi tidak pernah mengeluhkan apa pun meskipun terlihat lelah, tapi Umi selalu bilang baik-baik saja. Itu setahu Ibu, selebihnya Ibu tidak tahu apa pun," katanya dengan jujur.
Nadia mengangguk-anggukan kepala lagi semakin mengagumi sosok kakak madunya itu. Tak ada cacat memang dari sosoknya, pantas jika Ikram begitu mencintainya hingga menuruti apa saja yang dia minta. Tidak seperti dirinya, wanita penyakitan dan sebentar lagi mungkin ajal akan datang menjemput.
Mungkin Nadia akan memilih mundur saja.
"Rasuluullah saw. bersabda, "Istri siapa pun yang meminta suaminya menceraikannya tanpa alasan yang benar, maka diharamkan wangi surga untuknya."
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Terngiang akan ceramah Ikram tentang seorang istri yang meminta cerai dari suaminya. Hal itu mengembalikan kesadaran Nadia yang sempat berbelok arah. Ia tak ingin diharamkan wangi surga untuknya. Na'uudzubillahi min dzaalik.
"Astaghfirullah al-'adhiim ... astaghfirullah al-'adhiim!" gumamnya pelan sembari mengusap dada.
Perjalanan dari Rangkasbitung menuju kota Serang ditempuh dalam dua jam perjalanan. Kini mereka berada di parkiran sebuah gedung di kota tersebut.
"Wah ... apa kita ada di puncak?"
"Ini tinggi sekali!"
"Lihat mobil-mobil dan motor di sana, kecil-kecil dari sini!"
"Bunda ini apa namanya?" tanya seorang anak pada Nadia.
"Ini mall, sayang," jawabnya sembari ikut berjongkok bersama anak-anak menatap hamparan kendaraan yang berada di bawahnya.
"Mall? Apa di Rangkas tidak ada?" tanyanya lagi jelas ingin tahu. Nadia tersenyum.
"Ada, sayang. Hanya saja di Rangkas masih skala kecil, jadi Bunda lebih memilih ke sini. Kalau untuk keluarga saja tidak masalah," sahutnya seraya mengajak anak-anak memasuki mall tersebut.
Antuasiasme anak-anak begitu tinggi terutama saat Nadia membawa mereka ke TimeZone dengan berbagai macam permainan.
"Bunda, kami boleh main itu?" Nadia mengangguk. Ia duduk menunggu bersama Ibu pengasuh. Memainkan ponsel memotret anak-anak yang asik bermain. Mengunggahnya di media sosial miliknya. Dengan caption, "Anakku sudah sebanyak ini, ternyata aku sudah tua."
"Bunda!" tegur Ruby yang tak sengaja melihat Nadia duduk di pinggir tempat bermain.
"Ruby? Kamu sendirian? Kenapa pergi sendiri, sayang?" tanya Nadia dengan riak khawatir saat mendapati Ruby yang berdiri seorang diri. Ia memegangi kedua lengan atas Nadia.
"Tidak, Bun. Ada Umi sama Abi juga adik-adik," jawabnya.
Nadia mendesah lega mendengarnya, ia tak ingin jika Ain dan Ikram tahu bahwa dia sedang berada di mall yang sama dengannya.
"Mmm ... Ruby ... Bunda minta tolong, ya. Tolong jangan bilang sama Abi dan Umi kalau Bunda ada di sini," pinta Nadia sembari menatap lekat manik anak sembilan tahun itu.
"Tapi kenapa, Bun? Bukannya kita bisa jalan sama-sama?" tanya Ruby sedikit kecewa.
"Tidak apa-apa, sayang. Bunda hanya tidak enak saja. Tolong, ya," pintanya sekali lagi. Ruby terpaksa mengangguk. Ia dan keluarganya sedang berada di bagian lain duduk di meja makan.
"Ya sudah, pergi ke Abi dan Umi nanti kalau kelamaan bisa-bisa mereka mencari kamu," ucap Nadia. Ruby berlari ke arah keluarganya di bawah tatapan Nadia.
Semoga anak itu tidak mengatakan apa pun pada mereka.
Puas bermain-main, Nadia mengajak mereka berbelanja.
"Satu mainan untuk masing-masing dan satu barang yang paling kalian butuhkan," ucap Nadia seraya melepas anak-anak memilih sendiri segala keperluan mereka.
Bersama Ibu pengasuh mereka memilih dan memilah barang apa yang mereka butuhkan. Nadia duduk menunggu di dekat meja kasir, tiba-tiba perutnya berdenyut nyeri. Beruntung ia membawa serta obat miliknya. Beristirahat sejenak sampai rasa sakitnya hilang.
Puas bermain dan berbelanja, mereka kembali di sore hari. Niat hati ingin mengajak menonton bioskop juga, tapi waktu tak mengizinkan. Mereka tiba di yayasan sebelum Maghrib datang, sedangkan Ikram belum terlihat mobilnya di depan rumah.
Hari berganti malam, malam bertukar fajar. Usai shalat subuh dan tadarus, Nadia bergegas mendatangi rumah Ikram.
"Kamu harus menyiapkan semua keperluan anak-anak saat subuh dan harus pulang sebelum Abi mereka kembali dari masjid."
Permintaan Ain kemarin kembali mengiang di telinga Nadia. Mungkin Ikram dan keluarganya pulang larut, lampu rumah mereka bahkan belum dinyalakan. Nadia menyiapkan segala keperluan anak-anak di rumah itu.
Ia melakukannya dengan sepenuh hati, mencoba untuk ikhlas, mencoba untuk tidak mengeluh. Terkadang ia cembnuru pada Ain karena ia memiliki banyak waktu bersama Ikram.
"Astaghfirullah al-'adhiim!" Lagi-lagi ia tersadar siapa dirinya itu? Hanya orang ketiga yang kedatangannya sungguh mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka.
Ia menyiapkan keperluan Ruby, dan membangunkannya. Juga Bilal. Tak lupa si kecil Nafisah. Nadia menyiapkan air panas untuknya mandi. Ia juga memasak sarapan seadanya dengan bahan-bahan yang ditemukannya di dalam kulkas.
Usai mengerjakan tugasnya, ia bergegas pulang sebelum Ikram kembali dari masjid bahkan Ain masih sibuk di atas sajadahnya.
Keringat kasar bermunculan di sekitar wajah Nadia, ia memegangi perutnya yang tiba-tiba berdenyut lagi.
"Ya Allah! Kenapa sering terasa sakit saja?" keluhnya terbata-bata. Ia memegang tiang pintu dengan cepat saat kakinya tak mampu menopang tubuh. Nadia membuka cepat pintu rumahnya dan bergegas masuk. Mencari orang dan langsung menenggaknya. Ia terbanting di kasur setelah meminum air, terbaring di kasur dalam keadaan tak sadarkan diri dan tak ada siapa pun yang tahu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
Anas
astangfirallah halazimmmm ain ani hatimu kok tega banget ya???
2023-02-12
1
Hera
kasian sama nadia yg berusaha baik namun susah buat terbalas baik jg oleh ain karena posisi nadia sebgai orang ke3 kerasa deh sedihnya
2022-12-08
1
senja
gilaaaa itu lagi syaratnya....mengurus anak anak tanpa ketauan ikram...ohhhhh hhahahahhah....buruk sekali hatimu ain....
2022-10-10
1