Setelah pembicaranya dengan Ain malam itu, Ikram lebih banyak sendiri mengkaji ilmu dan menyiapkan diri lagi. Ia lebih sering tidur sendiri dan duduk bersama buku yang menjadi teman.
"Di antara hak istri atas suaminya adalah mendapatkan keadilan dalam nafkah dan tempat tinggal, jika suami memiliki lebih dari satu istri karena tuntutan dalam mempergauli istri adalah dengan ma'ruf. Dengan baik dan patut alias layak. Allah Ta'aala berfirman dalam Al-Qur'an yang berbunyi, "Dan bergaullah dengan mereka secara patut ...."
(An-Nisa : 19)
Ikram termenung sembari mendengarkan ceramah lewat ponsel miliknya. Ia tak di rumah Ain juga tidak di tempat Nadia. Ternyata memiliki dua orang istri tidaklah mudah. Yang tua cemburu, yang muda pun iya. Yang tua merajuk, apa lagi yang muda.
"Ya Allah!" Ikram mendesah berat. Ia merebahkan diri di atas karpet bercorak kubah di dalam kantor pondok. Menatap atap yang dihiasi kaligrafi di sekelilingnya.
"Suami harus berlaku adil kepada istri-istrinya saat ia memutuskan untuk berpoligami. Rasulullaah Saw bersabda, "Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri lalu dia lebih condong ke salah satunya, dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan miring"."
(HR Ash-haabus-Sunan)
Ceramah ustadz itu masih berlanjut. Ikram mendengarkan dengan seksama, ia pikir ia harus lebih banyak belajar lagi tantang agama terutamanya tentang poligami. Mental suami memang sangat diperlukan saat ia hendak memutuskan berpoligami.
Ketidakadilan suami terhadap semua istrinya, hal itu dapat menyebabkan salah satu istrinya melakukan tindakan yang tidak seharusnya. Yang menyebabkan suami tenggelam dalam kubangan dosa. Dosa yang dilakukan istri dan juga dosa karena dia tidak berlaku adil kepada semua istrinya.
"Assalamu'alaikum!" Suara Ruby yang datang membuyarkan lamunan Ikram.
"Afwan, ada Abi di dalam?" tanya Ruby pada orang yang bertugas di kantor.
"Abi di dalam," sahutnya. Ikram beranjak duduk menunggu kedatangan putri sulungnya.
"Assalamu'alaikum, Abi!"
"Wa'alaikumussalaam!"
Ruby melangkah masuk dan duduk berhadapan dengan abinya. Ia menyalami Ikram dengan takzim. Baginya Ikram adalah sosok idola.
"Kenapa mencari Abi?" tanya Ikram membuka obrolan.
"Umi mencari Abi, Bunda juga. Ada jamuan di aula pesantren semua tamu telah hadir. Kita semua menunggu Abi," ucap Ruby memberitahu Ikram.
"Astaghfirullah al-'adhiim, Abi lupa. Ya sudah, ayo kita langsung ke sana," ajaknya seraya beranjak berdiri dan pergi bersama Ruby.
Acara makan bersama dengan seluruh santri di pondok dan yayasan, memang terkadang diadakan saat ada orang yang ingin bersedekah dan meminta doa dari anak-anak di yayasan. Acara berjalan lancar dengan sikap Nadia yang berbeda hari ini. Juga Ain yang terlihat lebih bahagia.
"Nadia, tunggu!" cegah Ikram usai acara dibubarkan. Nadia masih belum ingin berbicara dengannya. Ia terus berjalan meninggalkan aula tanpa mengindahkan panggilan dari Ikram.
"Nadia! Nadia! Tunggu!" panggil Ikram lagi seraya berlari mengejar Nadia yang hampir sampai di rumahnya.
Ikram menarik tangan Nadia yang hendak menggapai pegangan pintu.
"Lepas, Mas! Aku masih mau sendiri," ucap Nadia tanpa ingin melihat wajah Ikram di hadapannya.
"Tidak, Nad. Kita harus bicara," ucap Ikram.
Ia membuka pintu dan mengajak Nadia masuk ke dalamnya. Mereka duduk di sofa berdampingan. Ikram menggenggam tangan Nadia dengan lembut.
"Masalah malam itu, bisa tidak kamu menerimanya untuk sementara waktu? Mas pasti bisa meyakinkan Ain untuk membatalkan syarat itu. Percaya pada Mas, Nadia. Mas juga sangat ingin punya anak dari kamu, tapi Mas sudah terlanjur menyanggupi syarat yang diajukan Ain. Waktu itu Mas pikir, Mas harus setuju saja dulu agar bisa menikahi kamu. Selanjutnya, Mas juga sudah berencana untuk membicarakan itu kembali dengan Ain. Tolong, percaya sama Mas," ungkap Ikram dengan sungguh-sungguh.
Nadia bergeming, pandangannya berpijak pada manik coklat milik Ikram. Kedua netra laki-laki itu menyiratkan penyesalan yang dalam. Nampak jelas hingga membuat Nadia berpikir kembali.
Ia meneguk ludah basi, masih memandangi Ikram dengan wajahnya yang sendu.
"Mas yakin, itu yang sebenarnya terjadi? Apa Mas memang benar-benar ingin punya anak dari Nadia?" tanya Nadia dengan ragu.
Ikram mengeratkan genggaman, dikecupnya kedua tangan Nadia dengan lembut. Sesuatu berdesir ke dalam aliran darahnya. Sesuatu yang hangat hingga ke ulu hatinya.
"Percaya sama Mas! Mas mencintai kamu, Nadia. Mas juga ingin memiliki anak dari kamu, tapi untuk saat ini Mas harap kamu bisa bersabar sampai waktu yang tidak bisa Mas janjikan. Semoga saja Ain bisa mengerti dan mengikhlaskan Mas memiliki keturunan dari rahim kamu," sahut Ikram lagi mencoba memberi pengertian kepada istri keduanya.
Tangannya mengusap pipi Nadia sembari tersenyum. Ia pula mendekatkan wajahnya pada wajah Nadia dan memberikan kecupan-kecupan singkat pada bibir Nadia.
"Mas!" Nadia memundurkan kepala ketika Ikram tak henti menciumi wajahnya. Mereka terkekeh geli. Nadia memukul mesra lengan Ikram. Ia tersenyum dengan wajahnya yang bersemu.
"Humairah!" gumam Ikram menatap dalam Nadia yang langsung menundukkan wajahnya malu.
"Apa kamu masih marah sama Mas? Atau masih ingin sendiri?" goda Ikram sembari menggamit dagu Nadia menggunakan telunjuk dan ibu jari. Lalu, mengangkatnya untuk bertatapan.
Nadia menggeleng, "Kalau memang seperti itu, aku percaya sama Mas. Aku akan menerimanya sampai Kak Ain menyetujuinya. Maafkan aku, Mas. Semalam aku lepas kendali, Mas pasti sakit hati mendengar semua ocehanku kemarin," ucap Nadia lagi ikut menyesali atas pertengkaran yang terjadi di antara mereka. .
"Tidak, sayang. Kamu tidak salah, semua yang kamu katakan kemarin memanglah benar adanya. Bantu suamimu ini mendapatkan kembali sifat qawwamah yang kamu sebutkan kemarin. Mungkin kamu benar, Mas terlalu lemah," sahut Ikram menyergah ucapan Nadia.
"Mas janji, jangan ada rahasia lagi di antara kita?" pinta Nadia dengan pandangan dalam.
Ikram menganggukkan kepala sambil tersenyum.
"Mas janji," ucapnya lagi kembali mengumbar janji untuk ke sekian kalinya. Kenapa mudah sekali berjanji, di saat hati merasa berat untuk menunaikannya.
Siang itu, Ikram dan Nadia akhirnya berbaikan. Ikram bahkan berdiam di rumah Nadia hingga sore menjelang. Ditemani anak keduanya Bilal yang menyusulnya ke rumah tersebut.
Mereka bercengkerama, makan bersama bahkan Nadia tak segan-segan menidurkan Bilal di ranjangnya. Menemaninya hingga anak itu terlelap. Kelembutan dan perhatian yang Nadia lakukan membuatnya dekat dan akrab dengan ketiga anak Ikram.
"Sudah tidur?" tanya Ikram mengintip dari ambang pintu.
Nadia beranjak dari tidurnya, ia membenarkan kerudung sebelum meninggalkan kamar.
"Ada Ruby di depan, katanya dia kesulitan mengerjakan pr-nya lagi," beritahu Ikram saat Nadia sudah berdiri di depannya.
"Oh, ya?" Ikram mengangguk lantas memberi jalan pada Nadia untuk menemui Ruby. Ikram menatap punggung istri keduanya itu sembari tersenyum.
"Ada apa, sayang?" tanya Nadia pada Ruby. Senyum Ikram mengembang, Nadia bahkan menganggap ketiga anaknya seperti anak sendiri. Tak ada beda di matanya, semua ia sayangi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
Novita Dwi Je
sebenernya baca nya emozi.. pingin ga dilanjut.. tapi bikin penasaran kak🤣🤣🤣🤣
2023-01-01
1
Mirfa Linda
ain yg ngerti agama mendorong suaminya utk melakukan dosa atas ketidak Adilannya
2022-03-16
1
wahyunifebriani
nadia wanita egois ...
eeemadia loh punya kaca ngk sih dirumah ..isii gedek sekali aku 😡😡😡😡
2022-01-29
1