Terbayang senyummu terbayang bibir manismu
Terkenang indahmu terkenang masa berdua denganmu
Baru kali aku menginginkan gulita cepat datang
Ingin kunikmati malam syahdu penuh cinta dan kasih sayang.
Coretan di sebuah kertas dilakukan Ikram tanpa sadar. Sembari mengukir senyum manis, sesekali akan tertawa kecil sendiri. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Ia duduk menunggu waktu tiba, di kantor sekretariat pondok miliknya.
"Sedang apa dia di sana?" gumamnya. Diraihnya ponsel dan menekan tombol panggilan. Tersambung. Tak dapat berbicara.
"Apa Nadia sedang sibuk, tidak tahukah dia kalau aku sedang rindu padanya," gumamnya lagi memandangi nomor telepon dengan nama Humairah di ponselnya.
[Maaf, Mas. Aku masih sibuk mengurusi pesanan. Setelah selesai nanti, aku akan hubungi Mas.]
Sebuah pesan masuk lengkap disertai foto yang menunjukkan keadaan pabrik.
[Ya sudah, Mas tunggu ba'da Dzuhur, ya. Sekarang Mas mau isi pengajian dulu.] balas Ikram masih dengan senyum bahagia yang jelas di bibirnya.
Ia beranjak karena waktunya mengisi pengajian telah tiba. Jamaah Ibu-ibu rumah tangga yang diadakan rutin setiap satu Minggu sekali di hari yang sama. Ain akan memimpin shalawat dan tawassul kepada Rasul sebelum kajian dimulai.
Usai dzikir dan mengaji, barulah Ikram akan datang untuk mengisi pengajian. Ilmu fiqih dan tasawuf yang dikajinya bersama kaum hawa pecinta ilmu tersebut.
"Bi, soal pengajian rutin ke kota lain bagaimana?" tanya Ain setelah jamaah membubarkan diri dan mereka juga kembali.
"Yah ... seperti biasa saja, Mi. Mau bagaimana lagi? Kan memang sudah rutinitas kita setiap beberapa bulan sekali," sahut Ikram menyandarkan punggung pada sandaran sofa.
"Anak-anak kita tinggal lagi?" Tak rela hatinya saat mengingat pengajian di luar kota akan memakan waktu paling sebentar tiga hari.
"'Kan sekarang ada Nadia yang bisa menjaga anak-anak. Umi tidak perlu risau lagi saat meninggalkannya, lagi pula anak-anak sepertinya juga nyaman bersama bundanya," jawab Ikram lugas.
Ada yang berdesir di hati Ain ketika Ikram menyebut kata Bunda. Sesaat Ain lupa bahwa ia saat ini memiliki madu. Ia tersenyum dengan hati yang terbalut luka.
"Abi benar. Mau Umi buatkan kopi?" tawar Ain mengalihkan percakapan untuk mengusir perih yang mendera. Ikram menganggukkan kepalanya.
"Taruh saja di meja, Abi mau ke kamar mandi dulu," sahut Ikram seraya pergi ke kamar mandi untuk menunaikan hajatnya.
Ain hanya mengangguk dan pergi ke dapur untuk membuatkan kopi. Secangkir kopi panas kini telah terhidang di atas meja. Iseng Ain membuka ponsel melihat-lihat akun media sosial.
Tiba-tiba ponsel Ikram bergetar, diliriknya nama yang tertera di atas layarnya.
"Humairah?" gumam Ain dengan dahi yang berkerut. Ditiliknya foto si penelpon seketika hatinya merasa ngilu.
"Mesra sekali panggilan yang Abi berikan untuknya," ucap Ain menahan perih yang datang melanda hatinya. Panas rasa matanya, berkedut pelupuknya menahan air yang siap turun kapan saja.
Ia membuka ponsel milik Ikram setelah nada panggilan itu berhenti. Melihat-lihat isi pesan mereka, membacanya dengan saksama. Ia cari nama dirinya di ponsel yang sama.
"Umi?" keluhnya saat ia mencoba melakukan panggilan nama 'Umi' yang muncul, "kenapa Abi memberikan panggilan mesra untuknya sedangkan untukku tidak?" lirihnya lagi semakin perih rasa hati Ain. Baru pagi tadi yang merasa Ikram hanya miliknya seorang, tapi kini dia tahu Hati Ikram telah benar-benar terbagi.
Ia tersenyum getir, menertawakan nasib dirinya yang telah diduakan cinta. Bukan hanya cinta, tapi juga harus berbagi suami.
Ain buru-buru meletakan ponsel Ikram ke tempatnya saat pintu kamar mandi terdengar terbuka.
"Mi?" tegur Ikram saat mendapati Ain yang duduk melamun di sofa, "kenapa? Kok, murung begitu?" tanyanya seraya duduk di tempatnya dan menyeruput kopi yang disediakan Ain.
"Ah ... tidak apa-apa, Bi. Umi hanya merasa capek saja, Umi mau ke kamar dulu sekalian menidurkan Nafisah," ucap Ain tanpa menunggu jawaban Ikram ia beranjak bersama putri bungsunya menuju kamar.
Ikram menatap bingung punggung Ain yang menjauh. Dalam hati bertanya-tanya apa yang terjadi pada istrinya itu? Semua pikiran Ikram terputus saat ponselnya bergetar. Nadia memanggilnya kembali.
Dengan senyum sumringah, Ikram menerima panggilan dan memulai percakapan dengan istri keduanya. Perhatian-perhatian kecil diberikan Ikram, seperti bertanya tentang keadaanya, makan siangnya, dan apa yang dilakukannya.
Ain semakin perih mendengarnya, ia belumlah sampai di kamar saat getar ponsel Ikram tertangkap rungunya.
"Ya Allah ... tabahkan hati hamba, kuatkan hamba!" mohonnya sembari menggigit bibirnya menekan semua sesak yang datang menghimpit.
Tak ingin mendengarkan kemesraan Ikram dan Nadia lewat telepon, ia bergegas ke kamarnya. Membaringkan tubuh bersama Nafisah masih dengan luka hati yang kembali terbuka. Sungguh berat, amat berat menanggung semua rasa yang ada dalam dadanya.
Namun, mau bagaimana lagi? Nadia juga berhak mendapatkan perhatian Ikram karena ia juga wanita yang dinikahi suaminya itu. Ia tidak boleh egois.
"Astaghfirullah al-'adhiim!" Ain melafalkan kalimat itu terus menerus untuk menenangkan hatinya.
Teringat akan pesan-pesan mereka yang dibacanya, pesan mesra yang tak pernah absen dilakukan Ikram setiap pagi dan malam saat ia tak menginap di rumah Nadia.
Ia memejamkan mata, tetesan air turun dari pelupuknya. Pertanda hatinya teramat perih akan kebahagiaan yang sedang mereka rasakan.
"Bagaimana kalau dia menjadi aku? Bagaimana kalau dia ada di posisiku?" keluhnya lagi dengan isak tangis yang pilu.
"Astaghfirullah al-'adhiim ... astaghfirullah al-'adhiim! Kenapa aku terus mengeluh? Ya Allah ... aku sudah membuka celah untuk syaitan masuk menggoda keimanan. Ampuni hamba, ya Allah," lirih Ain saat sadar ia tak boleh mengeluhkan apa pun tentang takdir yang telah digariskan untuknya.
Ain mengusap-usap dada membesarkan hatinya untuk dapat menerima dengan keikhlasan yang sebenarnya. Ia ikut terpejam bersama Nafisah dan terlelap. Sedangkan Ikram masih saja asik berbincang di ruang tengah lewat sambungan telepon.
Malam datang menjelang, Nadia senang dengan yang dikatakan dokter hari ini bahwa keadaanya membaik. Akan tetapi, tetap saja ia memerlukan donor ginjal untuk membuatnya dapat normal kembali.
Ain menatap nanar punggung Ikram yang menjauh dari rumahnya. Di balik tingkap kamarnya ia dapat melihat dengan jelas sosok Ikram yang baru saja keluar masjid dan langsung menuju rumah Nadia yang terhalang gerbang yayasan.
"Astaghfirullah al-'adhiim!" ucapnya sembari mengelus dada dan menutup tirai jendela tersebut. Ia menguatkan hati agar tidak menangis kali ini. Meyakinkan hatinya bahwa Nadia pun memiliki hak yang sama seperti dirinya.
Rasa itu ... cemburukah atau rasa iri? "Aku cemburu, ya Allah!" rintih Ain mengepalkan tangannya di dada. Rasa sebak kian merebak di rongga dadanya. Memberikan rasa sakit dan sesak yang semakin menghimpit hatinya. Sakit rasanya, tapi ia harus rela menahannya.
"Biarlah, saat Abi sedang dimabuk cinta oleh maduku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 231 Episodes
Comments
senja
makanya kalo ga mau harus nya tentang dari awal,karna ini bukannya sehari dua hari...tapi selamanyaaaaaaa....kuat ga...emang sekarang posisi ain sedih ... terluka....tapi kan ain sendiri yang ketok palu.. tok..tok..tok...ok silahkan Abi menikah.... artinya harus siap menerima konsekuensinya....begitu juga Nadia...yg siap jadi madu...hadehhhhhh kalo aku ga sanggup...ya Allah jauhkan akuuu dari situasi itu....aminnnn
2022-10-10
0
Sunnyta Mukherji
dari panggilan aja udah beda, apalagi dari cara memperlakukan keduanya,
ikram kayak abg sering wa sering telponan sama Nadia la sama ain...
2022-06-06
1
Endah Sri Rahayu
rasanya nyesek d posisi ain
2022-05-26
2