Sebelum pulang ke rumah Laila, Rama menyempatkan berkunjung ke rumah mamanya. Pikiran Rama yang berkecamuk, memicu perasaan gelisah dalam hati Rama saat ini. Ia berada dalam dilema yang berat, antara memikirkan perubahan Laila, juga perubahan Ziana.
"Mama," ucap Rama saat Sinta membuka pintu.
"Rama. Tumben kamu mampir ke rumah mama. Ada apa?"
"Tidak ada, Ma. Hanya kebetulan lewat, terus mampir," kata Rama berbohong.
"Hm ... tumben banget kamu kebetulan lewat. Ayo masuk!"
Rama mengikuti Sinta yang berjalan masuk ke dalam. Hubungan mereka tidak sama seperti hubungan ibu dan anak pada umumnya. Setelah Rama menikah, ia lebih jarang datang ke rumah mamanya. Kesibukan di rumah, juga di kantor, menjadi penyebab semua itu.
"Mau minum apa kamu, Ram?" tanya Sinta sambil berjalan menuju dapur.
"Gak ada, Ma. Aku gak mau minum apa-apa."
"Kamu kenapa sih? Sepertinya, ada banyak beban yang sedang kamu pikul sekarang," kata Sinta sambil menatap tajam ke arah Rama.
"Ya, Ma. Memang ada banyak sekali beban yang aku pikul saat ini. Terutama, beban rumah tangga ku yang semakin membuat aku tertekan."
"Maksud kamu?" tanya Sinta sambil berjalan mendekat.
"Aku bingung dengan perubahan sikap Laila dan Zia. Mereka berubah sangat jauh sekali. Aku tidak tahu apa penyebabnya," ucap Rama sambil mengusap kasar wajahnya.
"Berubah? Berubah bagaimana? Katakan yang lebih jelas dong, Ram. Jangan buat mama jadi bingung dengan maksud dari perkataan mu itu."
Rama menceritakan apa yang terjadi akhir-akhir ini pada Laila dan Zia. Sedangkan Sinta, ia mendengarkan secara seksama apa yang anaknya katakan.
"Ram, kalau perubahan yang Laila tunjukkan, mama rasa itu perubahan yang sangat wajar. Soalnya, perempuan hamil itu memang selalu bersikap berbeda dari biasanya. Tapi, kalau istri pertamamu itu, mungkin, ini kamu baru menyadari sikap aslinya. Sikap sesungguhnya yang Ziana miliki selama ini."
"Tapi, Ma."
"Sudah-sudah, jangan terlalu kamu pikirkan apa yang terjadi. Kamu itu harus fokus pada Laila. Kamu lupa apa? Laila itu sedang hamil anak kamu, Ram. Sedangkan Zia, apa yang harus kamu cemaskan dari dia, hem?"
Belum sempat Rama menjawab apa yang Sinta katakan, ponselnya berbunyi. Perhatian Rama kini teralihkan. Ia dengan cepat mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Di sana tertera nama Laila. Ia melihat Sinta sebelum menjawab panggilan itu.
"Siapa?" tanya Sinta penasaran.
"Laila."
"Cepat angkat. Mungkin ada sesuatu yang penting yang ingin Laila katakan!"
"Ya, Ma."
Rama melakukan apa yang Sinta katakan. Ia dengan cepat mengangkat panggilan dari Laila.
"Halo, La."
"Mas, kamu di mana? Gak lupakan, sama janji kamu?
"Janji?" tanya Rama sambil mengingat janji apa yang telah ia buat pada Laila.
"Mas. Kamu lupa kalau kamu janji mau temani aku ke dokter siang ini?"
"Oh, aku gak lupa kok kalau janji yang itu, La. Ini, aku udah mau berangkat ke rumah kamu sekarang."
"Beneran, Mas?" tanya Laila bahagia.
"Iya. Bentar lagi aku datang. Kamu tunggu aja di rumah ya."
"Ya, Mas. Jangan lama-lama ya," kata Laila bicara dengan nada manja.
"Ya."
Rama memutuskan sambungan panggilan dari Laila. Ia melepas napas berat setelah menutup panggilan tersebut.
"Ada apa lagi, Ram?" tanya Sinta semakin bingung.
"Tidak ada, Ma. Aku harus pergi sekarang. Laila sedang menungguku di rumah."
"Oh, mama pikir ada masalah apa sama kamu. Harusnya kamu bahagia punya istri seperti Laila. Dia cantik, baik, juga sangat pengertian sama suaminya. Dia sangat menyayangi kamu."
"Ziana juga tidak kalah baik, sopan, cantik, juga pengertian. Dia punya semuanya, Ma. Dia .... "
"Cukup. Apa kamu lupa kalau istri pertama mu itu tidak bisa memberikan kamu keturunan?"
"Cukup, Ma! Jangan pernah mengatakan hal itu lagi," ucap Rama sambil bangun dari duduknya.
"Aku gak suka mama jelek-jelekin Zia. Bagi aku, Ziana gak pernah kurang dari siapapun," kata Rama sambil meninggalkan Sinta dengan wajah kesal.
"Cih, gak pernah kurang dari siapapun kamu bilang. Kita lihat saja nanti, Rama, sampai kapan kamu akan menganggap dia yang paling baik dalam hidup kamu," kata Sinta pada dirinya sendiri sambil menatap punggung Rama yang berjalan semakin menjauh.
"Tapi sepertinya, Laila sudah mulai bertindak. Bagus deh kalo gitu," ucap Sinta lagi sambil tersenyum manis, karena memikirkan keberhasilannya.
Di sisi lain, Zia sedang bicara dengan Restu. Mereka sedang berada di depan rumah Ziana saat ini.
"Mbak yakin ingin pulang dan berpura-pura seolah-olah mbak tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Restu masih cemas.
"Ya Res, mbak yakin banget," ucap Zia sambil tersenyum.
"Apa tidak sebaiknya, mbak langsung serang saja mas Rama dengan istri sirinya itu, Mbak? Maaf jika aku lancang. Tapi rasanya, aku terlalu kesal jika mengingat apa yang suami mbak lakukan pada mbak Zia. Kurang apa coba kamu mbak? Sampai-sampai mas Rama bisa berkhianat padamu," ucap Restu kesal. Ia lebih mirip mak-mak dari pada seorang laki-laki.
Ziana hanya menanggapi dengan senyum apa yang Restu katakan. Hal itu membuat Restu merasa semakin bingung sekaligus kagum dengan sikap tenang yang Zia tunjukkan.
"Ya sudah mbak, aku harus kembali ke kantor dulu. Aku yakin mbak Zia tahu apa yang mbak lakukan. Jika ada perlu, mbak langsung hubungi aku."
"Ya Res, hati-hati."
"Baik mbak."
Setelah kepergian Restu, Zia langsung mengetuk pintu rumahnya. Bik Imah yang berada di ruang tamu, segera membuka pintu saat mendengarkan ketukan tersebut.
"Cari siapa ya?" tanya bik Imah sambil membuka pintu tersebut.
Mendengar pertanyaan itu, Zia yang membelakangi pintu segera memutar tubuh.
Melihat Ziana, bik Imah sedikit kaget.
"Nyonya."
"Ya, ini aku bik. Apa bibi sudah melupakan aku sebagai si pemilik rumah?" tanya Zia sambil tersenyum.
"Ti--tidak nyonya. Sama sekali tidak. Ayo masuk nyonya!" kata bik Imah dengan gugup.
"Saya bantu bawa kopernya, Nya," kata bik Imah sambil merebut koper yang ada di tangan Zia.
"Gak usah bik. Gak perlu. Saya bawa sendiri aja. Oh ya, di mana mas Rama?"
"Tu--tuan ... tuan Rama di kantor, Nya."
"Oh." Zia menjawab singkat.
"Apa nyonya gak kasi tau tuan kalau nyonya sudah pulang?"
"Tidak, bik. Saya sengaja gak ngasi tau mas Rama. Soalnya, mau bikin kejutan buat mas Rama. Pasti mas Rama senang, deh." Zia tersenyum manis seakan tidak pernah merasakan sedikitpun rasa sakit hati dan kecewa.
"Oh ya bik, masakin masakan yang enak-enak ya. Aku udah lama gak makan berdua sama mas Rama."
"Ya, nyonya," ucap bik Imah sambil melihat Zia dengan tatapan aneh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
ar💞
bikin mertua nya lumpuh thor terus sih lailatul kagak mau ngurusin biar tau rasa itu nenek sihir 😑
2021-11-17
1
🪴Thalia💚
Cmn gegara kturunan... Sewot... LAHHH ponakanku blm dkasih anak sdh Nikah 7thn lebih lamanya... Masih brtahan dgn prnikahannya. Ikhtiyar sgla macem udagh mpe ke jepang Sana pngobatan.. Tpi ya gmn Lg klo tuhan blm ngasi. Heh he eh eh kok mlh curhat hihi... Baper
2021-11-16
1
Suria Syahputra
eng...ing....eeeeeeng......duaaaar
2021-11-15
0