Laki-laki itu ingin mencatat nomor Zia menggunakan ponselnya, karena ia lupa kalau ponselnya sidah rusak dan tidak bisa ia gunakan lagi. Setelah ia melihat layar ponsel tersebut, ia baru ingat kalau ia tidak punya ponsel untuk mencatat nomor Zia.
"Aduh, bagaimana bisa aku catat nomor kamu. Ponsel ini tidak bisa aku gunakan. Lalu di man aku harus mencacat nomor kamu?" tanya laki-laki itu kebingungan.
"Oh iya ya. Aku juga lupa kalau ponselmu sedang tidak bagus. Bagaimana ya?" tanya Zia ikut berpikir apa yang harus mereka lakukan.
"Oh, gini saja. Kamu ambil aja kartu nama aku. Kebetulan, aku bawa kartu nama sekarang," ucap Zia sambil membuka dompetnya.
Ziana mengeluarkan kartu nama dari dalam dompet yang sedari tadi ia pegang. Lalu, ia mengulurkan kartu nama tersebut pada laki-laki itu. Laki-laki itu menerima kartu nama yang Zia berikan. Ia melihat kartu itu dengan seksama.
"Jadi, nama kamu Ziana Aprilia? Kamu juga pemimpin perusahaan Zaza Grup?" tanya laki-laki itu sambil menyipitkan matanya sedikit. Ia menatap Zia dengan tatapan tak percaya.
"Iya." Zia menjawab singkat.
"Kenapa? Ada yang salah? Atau ada sesuatu yang mengganjal?" tanya Zia lagi.
"Tidak-tidak ada." Laki-laki berusaha memperlihatkan sebuah senyum di bibirnya.
"Kamu tahu perusahaan Zaza grup?" tanya Zia penasaran.
"Tidak. Kamu yang benar saja. Mana mungkin aku tahu soal perusahan-perusahaan. Aku ini seorang sopir. Mana tahu soal urusan kantor-kantoran."
"Oh ya, aku lupa memperkenalkan namaku padamu ibuk Ziana. Namaku Zein Ma .... "
'Tidak. Aku tidak mungkin menyebutkan nama lengkap ku pada Zia. Aku yakin, dia pasti tahu siapa aku yang sebenarnya jika aku sebut nama lengkap ku,' kata Zein dalam hati.
"Zein Ma apa? Kok kamu menggantungkan nama kamu?" tanya Zia penasaran.
"Oh maaf. Namaku Zein Mardani. Kamu bisa panggil aku dengan nama singkat saja. Yaitu, Zein."
"Oh, salam kenal Zein. Kamu juga bisa panggil aku dengan nama singkat. Yaitu, Zia. Tanpa harus kamu tambah dengan embel-embel ibuk di depannya. Karena aku merasa sangat amat tua jika kamu panggil aku dengan panggilan ibuk."
"Oh, baiklah, Zia. Salam kenal."
Ziana dan Zein saling mengulur tangan untuk bersalaman. Entah apa yang menarik Zia untuk berkenalan dengan laki-kaki asing seperti Zein. Selama ini, ia selalu menjaga jarak juga menutup diri jika ada laki-laki lain yang ingin berkenalan dengannya. Tapi dengan Zein, ia benar-benar tidak bisa menahan diri.
Mungkin, pemicu semua ini tidak lain adalah, sakit hati yang Rama timbulkan pada hatinya.
Sehingga ia merasa, ia harus membalas perlakuan Rama dengan pengkhianatan yang sama.
Setelah berkenalan dengan Zia, Zein pamit untuk menemui bosnya. sebenarnya, itu hanya alasan yang Zein buat. Ia pamit bukan untuk bertemu bos melainkan untuk bertemu teman lamanya di apartemen ini.
Zein datang dari luar negeri hanya untuk bertemu dengan sahabatnya. Sahabat masa kecil yang ia tinggalkan di kota ini karena mama papanya punya pekerjaan yang lebih bagus di luar negeri sana.
Sepeninggalan Zein, Restu terus menatap Zia. Ia merasa kalau Zia sedikit berubah sekarang. Zia lebih terbuka untuk mengenali laki-laki lain. Padahal, sebelumnya, ia anti untuk berkenalan dengan laki-laki asing.
"Mbak, apa mbak baik-baik saja?" tanya Restu sambil menatap tajam Zia.
"Seperti yang kami lihat, Res. Mbak baik-baik saja."
"Mbak yakin?" tanya Restu tak percaya.
"Sangat yakin."
"Aku tahu mbak bohong, mbak. Mbak pasti sedang mencari cara agar hati mbak yang luka tidak terasa sakit, iyakan?"
"Tolong mbak, jangan lakukan hal aneh yang bisa membuat mbak Zia semakin terluka lagi nantinya. Aku gak mau mbak Zia menyiksa diri seperti tadi."
"Restu, mbak tidak punya cara lain. Mbak hanya ingin melupakan rasa sakit dengan melupakan siapa mbak yang sebenarnya. Sakit ini begitu terasa amat sangat perih, Restu." Zia berucap sambil menjatuhkan buliran bening dari pelupuk matanya.
"Mbak." Restu ikut merasa prihatin dengan nasib yang Zia alami. Tapi sayang, seprihatin apapun dirinya, ia tetap tidak bisa terlalu banyak membantu. Karena ini soal rumah tangga, bukan soal pekerjaan.
"Sudah. Lupakan saja apa yang baru terjadi. Sekarang, mbak ingin dengar apa yang ingin kamu bicarakan pada mbak," ucap Zia sambil menyeka air mata yang melintasi kedua pipinya.
"Oh iya, aku hampir lupa mbak. Aku ingin katakan pada mbak soal mas Rama dan istri sirinya. Menurut laporan dari mata-mata yang aku tugaskan untuk mengikuti Mas Rama, sekarang, mas Rama membawa Laila kembali ke rumah mbak."
"Apa! Mas Rama ajak istri sirinya tinggal di rumah aku?" tanya Zia tak percaya.
"Iya. Mas Rama ajak istri sirinya tinggal di rumah mbak."
"Tidak. Ini tidak benar. Mas Rama tidak bisa seenaknya membawa perempuan lain masuk ke rumah. Apalagi, itu rumah aku, bukan rumah mas Rama."
Zia terlihat syok ketika tahu Rama membawa Laila kembali ke rumah. Ia tidak rela, Rama membawa perempuan lain kembali ke rumahnya. Laila sudah merebut Rama darinya, sekarang, Laila juga ingin merebut tempat tinggal yang ia beli dengan keringatnya sendiri. Tidak. Zia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Zia beranjak dari tempatnya. Ia ingin segera pulang ke rumah. Ia akan melabrak pasangan yang tidak punya ural malu itu agar tahu diri. Namun, langkah kakinya dihentikan oleh Restu.
"Mbak mau ke mana?" tanya Restu sambil memegang tangan Zia.
"Mbak mau pulang sekarang, Res. Mbak akan bikin perhitungan dengan mas Rama juga selingkuhannya itu," kata Zia dengan nada tinggi karena marah.
"Jangan mbak. Mbak tidak bisa datang ke sana sekarang. Mbak tidak bisa pulang dengan membawa emosi."
"Kenapa tidak, Restu? Mbak akan bikin perhitungan dengan sepasangan manusia yang tidak malu itu."
"Aku tahu mbak kesal, mbak marah juga kecewa. Tapi mbak harus berpikir satu hal. Mas Rama sekarang tidak akan berada di pihak mbak. Dia pasti akan membela istri sirinya karena ia merasa sangat bersalah dengan istri sirinya itu. Mbak pasti akan dibuat semakin sakit hati lagi nantinya, jika mbak datang sekarang."
Zia memikirkan apa yang Restu katakan. Benaknya membenarkan perkataan Restu. Perempuan licik itu pasti akan memanfaatkan amarah Zia untuk membuat Rama semakin perhatian padanya.
Perlahan, air mata Zia jatuh kembali. Ia kembali merasa tidak berdaya dengan cobaan yang sedang ia hadapi.
"Res, katakan apa yang harus mbak lakukan sekarang? Mbak bingung," kata Zia sambil menyeka air mata dan menarik napas panjang.
"Mbak tenang dulu, ya. Aku tahu ini tidak mudah buat mbak Zia. Sekarang, sebaiknya mbak Zia istirahat untuk menenangkan pikiran mbak. Besok, kalo mbak sudah tenang, baru mbak pulang ke rumah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
inayah machmud
pengen nabok pasangan lucknut ga tau malu... rama ga modal banget bawa istri muda nya kerumahnya ziana... 🤮🤮🤮
2022-09-15
0
adzrield avrinas allzigra
emang kata orang jodoh ngak akan kemana
2022-01-10
0
Bundanya Kevin
bikin zira kuat thour,, knpa Rama bawa Laila pulang ke rumah zira itukan bukan rumah rama
2021-12-26
1