*Bab 3

Rama tidak menanggapi apa yang mamanya katakan. Ia malahan melanjutkan lamunannya yang sempat terhenti akibat kedatangan mamanya.

Merasa diabaikan, Sinta melihat Rama dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia mencari sesuatu yang tidak beres dari anaknya ini. Namun, ia tidak menemukan apa yang ia cari.

"Rama, kamu kenapa sih? Ada masalah apa sampai kamu mengabaikan mama?"

"Maaf, Ma. Aku tidak mengabaikan mama kok. Aku hanya sedang memikirkan tingkah Zia yang rasanya agak aneh hari ini."

"Aneh, aneh kenapa?"

"Ziana agak cuek saat bicara dengan ku barusan, Ma. Aku merasa, ada sesuatu yang ia sembunyikan dari aku."

"Aduh, gak usah kamu pikirkan sikap istri pertama kamu itu, Rama. Mungkin, sekarang kamu baru sadar kalau istri pertama kamu itu memang rada aneh."

"Maksud mama apa sih, Ma? Ziana gak aneh, Ma. Cuma aku saja yang mungkin terlalu merindukan dirinya, makanya aku merasa ada yang lain dari Zia."

"Cih, merindukan kamu bilang. Ngapain juga kamu merindukan seorang istri yang tidak bisa memberikan keturunan buat rumah tangga kamu. Mendingan kamu pikirkan Laila, istri kedua kamu itu. Bukankah saat ia dia sedang hamil muda? Dia itu butuh banyak perhatian dari kamu, Ram."

Rama terdiam. Ia memikirkan Ziana saat ini, bukan Laila. Setelah pernikahannya dengan Laila tiga bulan yang lalu, ia dihantui oleh rasa bersalah yang teramat besar pada Ziana. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu dihantui rasa takut. Takut jika Zia mengetahui pengkhianatan yang telah ia lakukan.

Sebenarnya, ia sangat menyesali apa yang telah ia lakukan tiga bulan yang lalu. Saat ia menerima tawaran mamanya untuk menikah dengan Laila, gadis desa yang telah menyelamatkan nyawa mamanya dari kecelakaan.

Sejujurnya, ia tidak terlalu mencintai Laila, istri keduanya. Lebih tepat, istri siri yang ia nikahi tanpa persetujuan Ziana sebagai istri pertama. Pernikahan itu terjadi hanya karena mamanya yang memaksa Rama untuk menikah dengan Laila.

Sinta terus memaksa Rama untuk menikah dengan Laila, dengan alasan, ia ingin Rama membalaskan hutang nyawanya pada Laila. Juga, karena ia ingin seorang cucu dari Rama. Sementara, Ziana sebagai istri sah, tidak bisa melahirkan anak buat melengkapi keutuhan keluarga.

Mau tidak mau, pada akhirnya, Rama setuju juga. Tapi dengan syarat, Sinta tidak boleh mengungkit masalah cucu pada Zia. Ia tidak ingin Ziana merasa sedih karena tidak bisa melahirkan anak untuk keutuhan keluarga mereka.

Selama ini, Rama sudah berusaha keras membuat Zia merasa menjadi bahagia dengan mengatakan kalau dirinya tidak ingin punya anak dulu dari pernikahan mereka. Dengan dalih, mereka saat ini masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Padahal, jauh dari lubuk hati Rama yang paling dalam, ia sangat menginginkan seorang buah hati sebagai pelengkap cinta mereka.

Tapi mau bagaimana lagi, saat ia melihat sebuah surat yang terdapat dalam laci kamar mereka, Rama hancur, sehancur-hancurnya. Namun, ia berusaha tetap kuat dengan berbohong pada Zia. Ia sangat mencintai perempuan itu, sampai dia tidak ingin melihat Ziana bersedih karena tidak bisa memberikan ia seorang anak.

Melihat Rama yang terus terhanyut dalam lamunannya, Sinta menepuk pipi Rama dengan lembut. Sambil memanggil nama Rama dengan nada agak keras.

"Rama!"

"Apa, ma?" tanya Rama tersentak kaget.

"Kamu ini kenapa sih? Melamun lagi, melamun lagi. Gak ada kerjaan lain apa selain melamun?" tanya Sinta kesal.

"Aku sangat mencemaskan Zia, Ma. Aku takut."

"Takut apa sih, Ram? Gak ada yang perlu kamu takutkan," kata Sinta sambil membelai lembut pundak anaknya.

"Aku takut Zia tahu apa yang telah aku lakukan, Ma," kata Rama sambil menatap lurus ke depan.

"Ngapain kamu harus takut sih, Rama. Jika Zia tahu, ya udah, biarkan saja. Orang kamu itu pemimpinnya. Banyak kok di luar sana, perempuan yang berbagi suami dengan perempuan lain. Mereka bisa hidup bahagia bersama-sama. Kamu gak usah banyak mikir soal ketakutan mu itu," ucap Sinta dengan santai.

"Mama enak ngomongnya. Bagaimana jika Zia tidak bisa terima kalau dirinya telah aku khianati? Bagaimana kalau dirinya tidak bisa terima kalau aku poligami, Ma?"

"Ya sudah, tinggal kamu ceraikan saja dia. Gampang kan?"

"Mama ngomong apa sih, Ma! Bukankah mama tahu aku sangat mencintai Zia. Aku menuruti permintaan mama juga karena Zia. Jika bukan karena Ziana, aku tidak akan pernah mau menikah dengan Laila. Mama mengerti!" kata Rama bicara dengan nada tinggi.

Setelah bicara seperti itu, Rama langsung meninggalkan Sinta sendirian. Ia tidak ingin mendengarkan apapun lagi yang Sinta katakan. Baginya, semakin hari, mamanya bukan semakin menenangkan, malahan, semakin membuat perasaannya bertambah kacau saja.

"Rama!"

"Rama, kamu kok gitu sih sama mama!"

"Rama."

"Ih, dasar anak gak tau sopan santun kamu, Rama. Masa ninggalin orang tua saat ngomong begitu saja," kata Sinta sangat kesal melihat Rama mengabaikan dirinya begitu saja.

"Ih, kesal banget rasanya. Ini semua karena Zia. Zia lagi, Zia lagi. Rama berani mengabaikan aku hanya karena membela Ziana itu. Ah, ternyata benar apa yang orang katakan, buah gak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ibu sama anak, sama-sama saja. Sama-sama menyebalkan dan membuat sakit hatiku," kata Sinta sambil memukul bantal sofa berkali-kali.

Di sisi lain, Zia sedang bicara dengan Restu di cafe tak jauh dari apartemennya. Karena merasa tidak enak untuk menerima Restu masuk ke dalam apartemen. Zia memilih membawa Restu ngobrol di salah satu cafe yang ada di sekitar apartemennya.

Meskipun matanya terlihat bengkak akibat menangis, Zia tidak peduli. Ia tetap keluar dari apartemennya. Dengan penampilan sedikit berantakan ia mengajak Restu duduk di salah satu kursi yang ada di cafe tersebut.

"Mbak, apakah mbak baik-baik saja?" tanya Restu merasa cemas.

"Aku baik-baik saja. Seperti yang kamu lihat saat ini."

"Aku tidak melihat mbak Zia sedang baik-baik saja sekarang, Mbak. Aku malahan melihat mbak Zia sebaliknya. Katakan mbak, ada masalah apa," kata Restu penuh perhatian.

"Tidak ada apa-apa, Restu. Aku hanya sedang kecapean saja. Kamu kan tahu aku baru saja kembali dari luar negeri. Jadi wajar kalau aku terlihat seperti ini."

"Mbak, aku tahu siapa mbak Zia. Mbak itu bukan sekali berangkat keluar negerinya, mbak. Sudah berkali-kali mbak."

Ziana terdiam. Niatnya bertemu Restu di sini memang untuk meminta bantuan dari Restu untuk menyelidiki suaminya. Tapi, ia tidak mungkin bicara pada Restu soal rumah tangga dan pengkhianatan sang suami pada orang lain.

"Restu, mbak tidak apa-apa. Jika pun ada masalah, ini mengenai kehidupan pribadi mbak. Maaf, mbak gak bisa cerita sama kamu."

Terpopuler

Comments

ilis Nurjanah10

ilis Nurjanah10

hadeuhh dasar mertua lucknut..😑

2022-09-11

0

Yadi

Yadi

Alaaaah dasar munafik si Rama, jika emang benar-benar cinta sama Zia, seharusnya tidak menuruti apa kata Sinta, walaupun seorang anak wajib mentaati ibunya. Tetapi jika ada menyakiti hati orang lain, gue rasa "kutukan" sang ibu tidak berlaku.

2022-08-19

0

Sulati Cus

Sulati Cus

kyknya yg nukar dan naruh surat si mama

2022-07-11

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!