Mbah Sadino mulai mengingat-ingat masa kecilnya kembali.
Tahun 1961, Mbah Sadino saat itu masih berusia 14 tahun. Dia adalah anak kelaki yang cukup aktif dan suka berkeliaran ke dalam hutan belantara di sekitar desanya.
6 tahun sudah desa buatan itu dihuni oleh orang-orang Jawa yang mengikuti program Transmigrasi ke pulau Sumatra. Tapi semakin hari warga desa Air Teluh yang terletak di perbatasan antara wilayah transmigrasi dan wilayah penduduk lokal terus saja berseteru.
"Le, jangan main ke daerah perbatasan! Soalnya banyak warga yang tawuran di sana!" kata kakak perempuan Ibunda Sadino pagi itu.
Sadino yang saat itu masih kecil dan tak tau menahu apa pun, hanya bisa mengganguk patuh. Meski di hati kecilnya dia penasaran, karena tawuran antar warga itu juga menjadi topik pembicaraan hangat di SDNnya.
Kala itu Sadino masih tinggal di desa itu ikut budenya. Karena ibunya Sadino di Desa Sumber Agung sedang melahirkan, agar tak terlalu kerepotan Sadino dibawa oleh budenya dan di sekolahkan di Desa Air Keruh.
Sadino dan beberapa kawannya berjalan kaki menuju sekolah mereka pagi itu, tapi mereka tampak mencari sosok gadis kecil. Gadis kecil yang baru masuk sekolah dasar tahun ini namanya Yosi Amelia.
"Mungkin dia sakit!" kata Mbak Jumiem yang kala itu sudah sekolah di bangku kelas 3 SMU.
Di tahun itu, letak sekolah SD, SMP ,dan SMU terletak di satu tanah. Dengan bangunan papan ala kadarnya.
Bahkan di SD dua kelas dijadikan satu ruangan. Sementara bangunan sekolah SMP hanya ada tiga ruangan, setiap kelas di isi oleh seangkatan siswa yang jumlahnya tak banyak, begitu juga ruang belajar di SMU tak beda jauh dengan ruangan kelas di SMP.
Dengan jumlah guru yang seadanya dan peralatan sekolah yang sama sekali belum memenuhi setandart. Tapi kerukunan dan ke uletan siswa-siswa jaman itu patut diacungi empat jempol. Karena mereka mampu merampungkan pendidikan meraka dikeadaan yang memprihatinkan seperti itu.
"Semalam rumah Yosi di datangi tetua dan Mbah Sodik, Mbak!" ujar Painah.
Gadis berkulit sangat gelap dengan rambut lurus yang selalu dikucir dua itu, memberikan informasi pada semua anak-anak yang bebarengan berjalan menuju area sekolahan mereka.
Setatus sebagai tetangga paling dekat dengan Yosi, membuat Painah tau apa yang terjadi di rumah Yosi yang letaknya tepat di sebelah rumahnya itu.
"Tetua? Sama Mbah Sodik?! Ada apa yaaa?" tanya Jumiem.
Tapi para adik-adik kelasnya tak ada yang bisa menjawabnya.
Siang harinya Sadino yang tengah asik meringkuk di atas tubuh Bagio yang saat itu masih kelas satu SD. Mereka sedang gelut, masalahnya hanya sebutir kelereng. Tapi kedua anak beda usia itu tampaknya tak sayang nyawa, demi sebutir benda bening itu.
Kepalan tangan Sadino yang sudah dipenuhi kekuatan tenaga kebencian itu melayang keras ke area wajah Bagio. Tapi bocah ingusan yang masih bau ketuban itu dengan cepat mengeser kepalanya. Akibatnya bogeman Sadino itu melayang ke atas tanah dan menghamburkan debu di atasnya.
"Bocah, melawan kau yaaaa!" teriak Siswa kelas enam SD itu.
"Tak bilangin bapakku, disantet kamu!" ujar Bagio, dia adalah anak dari Mbah Sodik si dukun santet.
Ancaman Bagio yang saat itu masih bocil itu ternyata mempan. Sadino segera melepaskan bocil laknat itu dari rengkuhan emosi hatinya.
Karena Bagio membahas bapaknya, Sadino jadi ingat tentang Mbah Sodik ayah Bagio yang pergi ke rumah Yosi tadi malam.
"Kudengar bapakmu semalam pergi ke rumah Yosi!" kata Sadino.
"Mana aku tau, itu urusan bapakku!" ujar bocil sedeng itu.
Dari kecil sifat mau menang sendiri dan tak mau kalah sudah membuat Bagio dibenci oleh semua temannya. Tapi siapa yang berani melawan Bagio si anak dukun santet itu.
Sorenya, iseng-iseng Sadino dan rombongan teman-temannya menyambangi rumah Yosi yang ternyata sudah kosong.
"Pergi kemana Yosi dan ibunya?" tanya Jumiem.
"Gimana kalau kita tanya sama Mbak Painah aja!" usul Sadino.
Akhirnya rombongan itu mampir ke rumah Painah.
"Nahhhh, Painahhhh!" panggil semua anak-anak belia itu.
"Kenapa kalian rame-rame begini!" tanya Painah yang berlari dari belakang rumahnya.
"Rumah Yosi kosong! Kau tau kemana Ibu dan Yosi pergi kemana?" tanya Juminem pada gadis kelas tiga SMP itu.
"Nggak tau!!!" kata Painah.
Wajah berkulit gelapnya tampak terukir kegundahan yang mendalam. Tampaknya ada yang ingin dia katakan pada semua teman-temannya itu, tapi dia sendiri ragu. Entah tentang apa, tapi Painah sangat ragu dan akhirnya tak berani mengatakan rahasia yang disimpannya.
"Udah yaaa, aku harus bantu ibuku mengambil kayu di hutan!" kata Painah.
Gadis yang biasanya suka bicara dan ngoceh terus itu, malah tampak menghindari teman-temannya.
"Ada yang aneh sama Mbak Painah!" ujar Sadino.
"Bener Dino!" kata Juminem.
.
.
.
.
Malam harinya terjadi hujan angin yang sangat ribut, lampu ublik yang di sanding oleh Sadino untuk menemani tidurnya pun mati karena tiupan angin.
Lampu berdaya minyak tanah itu tak akan bertahan di dalam rumah papan yang sedang ditiup oleh angin dan badai.
Rumah papan, dengan model panggung. Semua keluarga mendapat satu unit secara cuma-cuma dari pemerintah. Mereka juga mendapat jatah bahan pokok pangan setiap bulannya.
Meski mereka sudah bekerja di PT untuk menanam pohon kelapa sawit di ladang-ladang milik mereka yang sudah dikontrak oleh PT. Tapi jatah sembako itu masih didapat oleh mereka sampai sekarang.
Badai malam itu sangat kencang, meski tak memporak-porandakan Desa Air Keruh. Tapi Desa Pilip tempat para warga asli Sumatra tinggal. Telah porak poranda.
Ratusan nyawa suku asli Sumatra melayang saat itu. Semenjak kejadian itu Desa Air Keruh mulai damai, tapi misteri hilangnya Yosi dan ibunya tak pernah terungkap.
Tak ada yang tau kemana kedua perempuan itu pergi, tak ada yang mencari. Bahkan keluarga ibu Yosi juga tampak tak peduli dengan hilangnya mereka.
Dua tahun setelah kejadian Hujan Teluh itu Sadino mencari kayu bakar di hutan. Dia masuk ke terlalu dalam karena hampir semua kebun di pinggiran Desa di tanami pohon sawit.
Di sebuah ladang kelapa sawit, Sadino melihat sebuah gubuk yang reot tapi amat menakutkan.
"Ladang siapa ini Kep?" tanya Dino pada temannya.
Kepa yang agak bodoh dan kurang secara kejiwaan itu hanya mengeleng pelan.
"Hantu Din!" kata Kepa.
Bocah yang dikenal sering berhalusinasi itu malah menunjuk gubuk reot itu.
"Jangan nakutin, tak tampol nyungsep kamu!" ancam Sadino.
"Bude Kinan sama Yosi ndeng!" kata bocah gila itu.
Bocah sableng itu malah pergi setelah mengatakan kalimat konyol itu.
Sadino yang penasaran hanya bisa memandang gubuk reot itu. Dia mulai berpikir dan mencerna pembicaraan Kepa si bocah sableng itu.
Kepa itu seusia Sadino, bocah itu kenal semua warga Desa. Tapi dia tak pernah pergi ke sekolah, karena setiap otaknya disuruh mikir dia pasti kesurupan.
Tapi kenapa Kepa bisa mengatakan kedua nama itu di sini.
Apa yang terjadi di tempat ini?
Apa Yosi dan ibunya ada di sini malam itu.
Semua pertanyaan itu berputar di kepala Dino
"Oyyyyy kepak goblok, tungguni!" teriak Sadino.
Ingin rasanya Dino melihat ke dalam gubuk itu, tapi dia urungkan karena teman mencari kayu bakarnya sudah pergi pulang duluan.
___________BERSAMBUNG_____________
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Deri Ap
apakah itu gubuk yang dimaksud sama Arinda?😱
2021-11-25
0