Lastri atau pun Adrian sama-sama diam membisu, mana mungkin mereka tega mengatakan syarat ritual itu.
Syarat pertamanya adalah Melin harus disetubuhi oleh tiga pria dengan aliran tenaga dalam yang kuat.
Kedua Melin harus menjalani ritual penguguran kandungan itu dengan cara kuno yang sangat menyakitkan.
Setelah itu Melin akan mendapatkan dua tanda lingkaran yang terkunci di tangannya. Artinya jiwa iblis tak bisa masuk ke dalam raga Melin lagi.
Tapi mana mungkin hal semacam itu bisa dijelaskan pada seorang gadis belia yang masih suci, tanpa menyinggung perasaan lebutnya.
"Apa ritualnya sangat mengerikan sekali?" tanya Melin.
Mereka berdua masih diam, Melin yang sudah tak sabar pun juga tak bisa mengatakan apa pun.
Meski gadis itu tau sedikit syaratnya tapi dia juga ingin mendengar penjelasan dari mulut mereka secara langsung.
"Aku bosan di rumah, aku akan pergi jalan-jalan!" kata Melin.
Adrian dan Lastri tak bisa mencegah kemauan Melin, bagaimana pun juga gadis manis itu adalah manusia juga. Punya rasa bosan, bimbang dan penasaran.
Lastri sadar jika semua yang dia lakukan mungkin akan sia-sia saja. Jadi ibunda Melin itu membiarkan anaknya menikmati hidupnya.
Tapi Adrian bertindak lain, adik kandung ayah Melin itu mengikuti langkah kaki keponakannya.
Adrian sangat faham, Desa ini sedang dalam bahaya. Pasti akan sangat bahaya jika Melin berkeliaran sendiri.
Tapi saat Adrian keluar dari rumahnya, dia tak mendapati Melin. Padahal jarak mereka keluar tak lebih dari lima menit. Tapi kenapa Melin sudah musnah dari pandangannya.
.
.
.
.
"Jalan terus, jangan berhenti!" ujar Melin.
Ternyata gadis manis itu sudah nangkring di atas motor. Melin juga tak tau dia nangkring di motor siapa, tapi dia harus pergi dari Desa ini.
"Siapa kamu?" tanya suara pria yang menyetir motor besar itu.
Suaranya serak berat, seketika Melin melepas pelukan tangannya dan sedikit menjauhkan tubuhnya dari pria yang memboncengnya.
"Saya numpang sampai pasar!" kata Melin tanpa rasa bersalah.
"Kau bukan warga Desa Air Keruh!" tanya pria yang membonceng Melin.
"Emang kenapa jika gue bukan warga Desa ini?" desah Melin kesal.
"Tolonglah sekali ini saja!" mohon Melin.
Lelaki itu tiba-tiba menghentikan laju motornya, dan segera menoleh ke belakang.
Meski pandangannya ditutupi oleh kaca helm yang hitam, mata itu berbinar saat melihat kecantikan wajah Melin.
"Siapa kamu?" tanya pria itu lagi.
"Kau masih SMU?" tanya Melin.
Gadis manis itu mengira dia membonceng orang dewasa, tapi dia melihat seragam di balik jaket hitam lelaki itu.
"Kau yang kemarin, berdiri di depan rumah Mas Adrian--kan?" tanya lelaki itu.
"Bisakah elu jalanin motornya?" tanya Melin.
"Ok, tapi...," kata lelaki itu.
"Udah jalan dulu, jangan bawel!" Melin sudah mulai cerewet.
Dia tak boleh ketahuan kabur, Melin yakin saat ini Adrian pasti sudah OTW nyariin dia. Jadi berhenti di tengah jalan seperti ini akan membawa dampak 'ketahuan atau tertangkap basah'.
Lelaki itu segera memuntir cengkeraman tangan kanannya, dan motor Honda CBR 225 itu sekarang melaju kencang di jalanan Desa yang masih cor-coran.
Melin merasakan hembusan angin menerpa wajahnya dan mengibarkan rambut lurusnya. Gadis itu merasakan sebuah kebebasan untuk pertama kalinya.
Dia yang bahkan tak diperbolehkan keluar dari rumah tanpa didampingi oleh ibunya. Kini menghirup udara pagi yang segar, tanpa dikawal dan tanpa mata-mata.
Tapi arah motor yang dikendarainya membuat Melin bingung.
"Antar gue ke pasar dulu!" pinta Melin tapi dengan nada membentak.
Lelaki itu membuka Helmnya dan menaruhnya di atas tangki bengsin didepannya.
"Aku sudah telat, aku akan antar kamu ke pasar saat istirahat siang!" kata lelaki itu.
Melin pun turun dan menoleh kesana-kemari kayak orang bego.
"Kamu bisa nongkrong di warung itu!" kata lelaki itu sambil menunjuk bangunan dari papan.
Dari bangunan itu tercium bau semerbak yang sangat mengugah selera makan Melin.
"Ok!" jawab Melin setuju.
Gadis manis itu akhirnya bertemu pandang dengan manik mata lelaki yang memboncengnya.
"Kau harus masuk kelas--kan?" Melin mengingatkan lelaki itu.
Lelaki muda yang membonceng Melin adalah Jendral.
Pertemuan mereka adalah takdir, seberapa jauh salah satu di antara mereka kabur. Pasti pertemuan itu tak bisa dihindari.
.
.
Melin makan di kantin itu, dia tampak sangat suka dengan masakan yang dibuat oleh penjual di kantin itu.
"Pelan-pelan dek, gekkk keselek!" sapa pemilik kantin itu.
"Hehehhe, saking enaknya Pak!" ujar Melin.
Dia terus melanjutkan makannya.
"Adek bukan orang sini apa?" tanya pemilik kanntin itu.
Pria tua dengan kaus partai Gerindra dan celana kolor selutut itu, duduk di depan Melin yang tengah asik makan.
"Bukan Pak!" jawab Melin sopan.
"Lalu adek dari mano?" tanya pemilik kantin itu.
"Mano???" Melin bingung.
"Mana!" jelas bapak itu.
"Ohhhhh, saya dari Jakarta Pak!" ujar Melin.
"Alangkah jauh nyooo, name hal di sikak?...
"Maap, maksutku! Ngapain di sini?" tanya pemilik warung itu.
"Makan Pak," jawab Melin.
"Maksutku, di Linggau sini ngapain?" pemilik kantin itu tampaknya sangat kepo, dan tak mau menyerah.
"Main tempat nenek!" Melin menjawab dengan alasan sederhana.
Dia tak mungkin berkata panjang kali lebar dibagi tinggi lalu di akar kuadrat.
"Ohhhh, jawab gitu lah dari tadi!
"Adek ini saudaraan sama Jendral?" tanya pemilik warung itu lagi.
Berasa di ruang introgasi dahhh Melin.
"Nggak, Pak. Keluarga saya nggak ada yang jadi aparatur negara!" ujar Melin.
Si pemilik warung menunjukkan ekspresi frustasi. Entah karena mengira gadis di depannya ini bodoh atau nggak negerti bahasa yang bapak itu lafalkan.
"Tadi kamu kesini naik motor?" tanya pemilik warung itu.
Melin hanya mengganguk-anguk pelan sebagai ungkapan kata iya.
"Kamu dibonceng anak laki-laki!" pemilik warung itu mencoba bicara bahasa Indonesia tanpa logat Palembang.
"Anak laki-laki itu namanya Jendral!" pungkas si pemilik warung itu.
"Ohhhhh, jadi anak laki-laki yang membonceng saya namanya Jendral!" Melin malah menjabarkannya dengan lebih detail.
"Betol!" kata si pemilik warung itu dengan ekspresi puas.
Seakan dia baru saja mengajari Melin menyelesaikan soal matematika yang sulit.
"Kamu saudaranya Jendral?" si pemilik warung masih bertanya lagi.
Melin mengeleng tanda dia bukan saudara lelaki yang memboncengnya tadi.
"Ceweknya Jendral yaaaaa?!" pertanyaan si pemilik warung mengandung kata ledekan.
Tapi Melin hanya mengeleng santai saja.
"Lalu kamu siapanya Jendral?" tanya si pemilik warung.
"Bukan siapa-siapanya!" ujar Melin masih santai.
"Dia keponakan saya Pak Kodel!" ujar suara maskulin lain.
Suara yang Melin hafal. Belum juga Melin menoleh ke arah datangnya suara itu, gadis manis itu sudah loyo duluan.
"Oyyyyy Adrian, lame ndak singah sikak. La pakam kau yeeee?!" ujar Mang Kodel, si pemilik warung.
Kedua orang itu bergurau sejenak dengan mengunakan bahasa Palembang yang tak dimengerti oleh Melin.
"Harusnya kamu bilang kalau mau makan tekwan!" ujar Adrian.
Pria gagah perkasa itu sudah duduk di samping Melin.
"Aku mau kabur!" kata Melin jujur dan tegas.
"Kenapa, tentang masalah ritual itu?" tanya Adrian dengan nada berbisik.
"Bukankah itu konyol, ini tahun 2021. Eistttttttt!" gerutu Melin.
"Kamu udah selesai makan, kalau udah Om akan ajak kamu ke makam ayahmu!" ujar Adrian.
Melin hanya bisa memandang ke arah manik mata berbinar Adrian yang duduk di sampingnya.
Meski tak terlalu banyak, tapi Melin masih ingat beberapa momen bersama dengan ayahnya.
___________BERSAMBUNG_____________
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Deri Ap
Jendral dan Melin udah ketemu...apa langsung akan ada huru-hara
2021-11-25
0