Langkah kaki kurus itu terus berjalan tanpa alas kaki, tapaknya menyentuh aspal yang dingin dan basah.
Sosok itu mengenakan tudung merah yang aneh dan terus berjalan di belakang Pak Kades dan Jendral.
Jendral merasa seseorang telah mengikuti mereka, dan anak itu segera berbalik dan mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Ada apa Ndral?" tanya Pak Kades.
"Nggak papa kok, Pak!" jawab Jendral, tapi manik matanya masih berusaha menelisik.
Dia yakin ada seseorang yang mengikuti mereka tadi, tapi kenapa langsung tak ada. Apa ini hanya khayalan Jendral saja.
"Ayo, Nak Jendral!" Pak Kades kembali memanggil Jendral.
"Iya Pak!" Jendral pun segera berjalan lagi ke arah pos ronda.
Bayangan hitam bertudung merah itu pun menampakkan dirinya dari balik pohon. Tudung merahnya mengarah ke dua lelaki yang berjalan di tengah hujan itu.
Tapi langkah kaki telanjang itu tak mengikuti kedua pria tadi. Langkah kaki itu menuju rumah papan yang belum lama dikunjungi oleh Pak Kades dan Jendral.
Saat sampai di depan pintu rumah papan itu, si mahluk bertudung itu tampak merapalkan mantra dan semua kunci yang berada di pintu itu terbuka. Bahkan pintu itu terbuka sendiri untuk menyambutnya.
Langkah kaki dengan tetesan air hujan di jubah merahnya itu menuju ke dapur Mbah Jumiem.
Jemari tangan yang penuh luka bakar menghitam dan kotor itu muncul dari balik lengan tudung merah. Sebilah pisau dapur diraih jemari itu.
Manik mata Mbah Jumiem kembali berpijar saat telinganya mendengar sesuatu yang aneh. Sebuah pergerakan di lantai rumanya, dentuman ringan dari langkah kaki yang kasar.
Mata Mbah Jumiem terbelalak, dia meringkuk dalam tidurnya. Raut takut sudah menguasai parasnya, tapi dia tak mau kabur atau menghindar.
Entah apa yang wanita tua itu pikirkan, dia sepertinya pasrah dan sudah tau. Jika malam ini ajalnya akan datang. Tentu saja buka Malaikat Jibril yang mengabarinya sebelumnya.
Derap langkah itu semakin mendekat dan mengecam setiap sel di tubuh renta Mbah Jumiem.
"Aku sudah bilang, kembalikan anakku!" kata suara lirih dari balik pintu kamar.
"Aku tak tau dimana anakmu, kenapa kau bisa bebas?!" tanya Mbah Jumiem, dia memberanikan dirinya untuk bangun dari posisi berbaringnya.
"Aku bangun karena kobaran cinta kami kembali memercik, aku akan mecari pasanganku dan juga anak kami!" kata makhluk bertudung itu.
"Kinan, jika kau mengulang masa lalu. Maka masa lalu itu akan terulang kembali.
"Masa lalu akan sama, tak ada yang bisa kau lakukan wahai iblis jahanam!" teriak Mbah Jumiem.
Teriakan wanita tua itu disambut oleh petir yang mengelegar dan juga robohnya pintu kayu kamarnya.
Sosok bertudung itu sudah ada di depannya, mata merah dibingkai kulit mengelupas menerah dan darah yang mengental.
"Hujan Teluh itu telah kembali, tak ada yang bisa menghindariku!" pekik suara perempuan yang serak dan berat itu.
Mbah Jumiem tampak tak kaget dengan penampilan mahluk di depannya, dia malah mendekat ke arah mahluk menakutkan itu.
"Maafkan aku Kinan, jika nyawaku bisa meredakan amarahmu. Maka ambillah sekarang!
"Tapi jangan bunuh, orang-orang yang tak bersalah lagi!
"Aku mohon!!!" kata Mbah Jumiem.
Dengan tubuh yang bergetar hebat, dan langkah kaki yang bergetar. Mbah Jumiem maju dan memeluk sosok menakutkan itu.
Pisau di tangan sosok bertudung itu pun melayang ke arah punggung Mbah Jumiem. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali.
.
.
.
.
Pagi itu semua orang berkerumun, di sekitar rumah Mbah Jumiem, semua orang tampak memasang ekspresi ngeri dan bergidik.
"Yaaaa ampun apa yang terjadi pada Desa kita yaaa?" Mas Paijo bertanya pada istrinya yang berdiri di sebelahnya.
"Mas, gimana kalau kita pulang ke rumah orang tuamu saja. Takut aku Mas!" kata Sopiah, istri Paijo.
"Katanya ibuku lebih nakutin dari pada hantu, aku nurut kamu ajak tinggal di sini.
"Kalau kita balik ke rumah orang tuaku, gimana omongan mereka?
"Emang kamu bisa tahan dengernya?!" ujar Paijo.
"Nggak sih, tapi makin hari. Desa ini makin seram!" kata Sopiah.
"Kamu betul Sopi, saya juga pengen pindah. Tapi kalo mau jual rumah kita yang di sini.
"Siapa yang mau beli?" ujar Ajeng tetangga Mbah Juminem.
Tim forensik dan kepolisian masih sibuk mengidentifikasi TKP dan menanyai beberapa saksi.
Pak Kades dan Jendral, selaku manusia terakhir yang melakukan kontak dengan Mbah Jumiem sedang ditanyai di tempat terpisah.
Pak kades dan Jendral memgatakan apa yang mereka lakukan dan rasakan saat itu. Tapi Jendral tak mengatakan jika dia merasa ada seseorang yang membuntuti mereka malam itu.
Dia merasa itu tak penting untuk dikatakan kepada polisi. Dia tak mau introgasi ini berjalan lebih lama karena dia harus berangkat ke sekolah.
"Apa kamu nggak takut Dek Jendral?" tanya Pak Polisi itu.
Jendral terdiam, dia memang tak merasakan apa pun. Bahkan saat melihat lima kepala keluarga Arinda yang tergeletak bersimbah darah. Jendral tak merasakan takut atau ngeri.
"Tidak Pak!" kata Jendral.
"Pak, anak ini mengidap kelainan Sociopath sejak bayi. Dia tak sesensitif itu pada lingkungan!" bela Pak Kades.
Jendral tampak, tak peduli dengan karangan dari Pak Kades itu. Karena dia bahkan tak pernah ke Dokter. Jika sakit yang dia andalkan hanyalah sebutir koin logam dan ibunya.
Kerokan, bisa menyembuhkan segala macam penyakit yang pernah dia derita selama ini. Lalu untuk apa jauh-jauh ke Dokter.
"Ohhhh begitu yaaa, Pak!
"Maaf ya Dek, soalnya kami juga merasa bingung Pak Kades. Pembunuhan terus terjadi di Desa ini.
"Sebagai kepala kepolisian di daerah ini, saya merasa malu. Karena tak dapat menyelesaikan masalah ini dengan cepat!" kata Pak Polisi itu
"Saya faham Pak, ini sulit untuk dijelaskan.
"Saya juga bingung, harus bagaimana. Karena semenjak saya menjabat, kejadian ini beruntun terjadi!" kata Pak Kades dengan nada nelangsa penuh penyesalan.
"Ini bukan salah Pak Jacson,mungkin ini adalah Hujan Teluh!" kata Pak Polisi itu.
"Hujan Teluh?" tanya Jacson bingung.
"Iya Pak, takutnya kejadian 60 tahun silam itu datang lagi dan meneror masyarakat Desa Air Keruh ini!" kata Pak Polisi.
"Pak, emang mitos Hujan Teluh itu ada?" tanya Jacson pada Pak Polisi itu.
"Tentu itu nyata Pak, bahkan kantor kami punya arsip tentang kejadian itu!" kata Pak Polisi.
"Boleh saya melihat arsip itu?" tanya Pak Kades.
"Boleh Pak, besok datang saja ke kantor saya.
"Sebenarnya ini tak boleh diperlihatkan pada masyarakat awam.
"Tapi karena kejadian sudah separah ini, jadi bapak selaku pemimpin Desa ini harus tau dan faham.
"Tentang kejadian 60 tahun lalu, legenda kutukan Hujan Teluh yang mencekam Desa Air Keruh ini!" jelas Pak Polisi.
"Baik Pak, saya akan ke kantor bapak besok!" Pak Kades pun tampak antusias sekali dengan berita baik itu.
Paling tidak dia harus tau alasan orang-orang itu mati. Karena jika kau faham alasannya itu sama halnya dengan kau sudah memecahkan kasus itu setengahnya.
"Pak saya harus ke sekolah!" kata Jendral.
Tanpa sadar kedua pria itu malah bicara ngalor-ngidul, tanpa peduli pada Jendral yang pasti sudah terlambat.
"Sebaiknya saya antar kamu kesekolah, Jendral! Biar gurumu tak menghukummu!" kata Jacson.
___________BERSAMBUNG_____________
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Raditya Fathir
org desa,nama metropolitan.
ga sesuai dg latar
2023-08-09
0
Arra
Malaikat izrail apa ya kak? 🤔
2023-06-11
0
Ning Hari Mulyana
mulai sedikit penasaran.... 🤔🤔🤔
2022-03-06
0