Lastri masuk kedalam rumahnya mengunakan kartu akses khusus. Dosen Hukum dan putrinya itu tinggal di sebuah unit apartemen yang cukup mewah.
Apartemen yang terletak di dekat kampus dimana Lastri mengajar, serta dekat pula dengan wilayah sekolahan Melinda.
Saat pintu apartemen itu dibuka oleh Lastri, mata ibu satu anak itu seketika terbelak melebar.
Dia kaget bukan kepalang, Bu Ningsih. Perempuan paruh baya yang bekerja untuk membantu membersihkan rumahnya. Telah tergeletak, tubuhnya terbujur terlentang di lantai depan pintu masuk.
Kepalanya berdarah, dan ada luka cakaran dangkal di salah satu lengan Bu Ningsih.
Lastri langsung berjongkok ke arah tubuh ibu-ibu tambun itu. Lastri harus memeriksa denyut nadi dan helaan nafas Bu Ningsih. Dosen itu harus memastikan korban serangan putrinya masih hidup.
Meski lemah Bu Ningsih masih bernafas, dan denyut nadinya masih ada. Lastri bisa bernafas lega, tapi dia harus segera menghubungi Tim Medis untuk menyelamatkan nyawa Ibu Ningsih.
"Hallo, UGD Rumah sakit Mutiara. Tolong datang kesini, di rumah saya ada seseorang yang terluka!" kata Lastri dengan nada lirih dan gugup.
"..."
"Alamatnya, apartemen Permai nomor 145. Tolong cepat datang ke sini!" kata Lastri kini suaranya agak tinggi tapi masih lirih.
"..."
Sembari menelfon Lastri berkeliling ke dalam rumahnya. Dia juga harus melihat kondisi Melinda anaknya.
Meski kakinya gemetar dan ketakutan, Lastri terus memaksa untuk melangkah.
Telinganya menangkap suara pergerakan yang aneh di dapurnya, saat wanita paruh baya itu melintas di ruang tamunya.
Suara dengusan aneh yang menjijikan sekaligus menyeramkan itu, menggema memenuhi ruanga dapur yang tak begitu luas itu.
Lastri memberanikan dirinya untuk melangkah maju, mendekati area itu.
Dirinya semakin terkejut, dia yakin sosok itu adalah Melinda. Tapi penampilannya sangat berbeda, rambutnya kusut acak-acakan. Dan suara dengusan seperti harimau yang sedang makan itu, berasal dari sosok itu.
Melinda tengah mengunyah daging mentah yang disimpan oleh ibunya di lemari es.
"Melin!" teriak Lastri akhirnya.
Dengan penuh kasih, tanpa rasa takut Lastri berjongkok di depan Melinda anaknya. Putrinya itu sedang duduk santai lesehan di lantai dapur. Dengan daging-daging mentah yang masih berlumuran darah di kedua tangan gadis belia itu.
"Apa yang kau lakukan!" teriak Lastri.
Sontak Melinda mendongak ke arah ibunya, dengan tatapan mata yang amat tajam.
Lastri segera berdiri, karena melihat sesuatu yang tak semestinya ia lihat. Kedua tangan Melinda berbulu dan ditumbuhi kuku panjang menghitam. Tato yang biasanya muncul berwarna hitam itu, kini muncul dengan warna merah menyala seperti bara api.
Dan yang paling aneh wajah Melinda, wajahnya pucat pasi. Area matanya menghitam, bibirnya berlumuran darah daging mentah. Kornea mata menjadi merah bak batu delima yang bersinar.
"Siapa kamu!" tanya Melinda, dengan suara serak berat khas lelaki.
"Aku bukan siapa-siapa!" kata Lastri dia pun mundur, untuk menghindari putrinya yang mulai berdiri.
Wajah imut Melinda seketika berubah garang, matanya yang merah menatap tajam ke arah Lastri.
"Jangan ganggu pengantinku!" kata Melinda masih dengan suara serak yang berat.
"Nggakkkkkk!" jawab Lastri.
Keringat dingin sudah mengalir membasahi sekujur tubuh Lastri.
Tapi tampaknya arwah yang merasuki Melinda tak mau melepaskan Lastri. Kaki telanjang Melinda yang awalnya putih mulus, kini juga berbulu menghitam.
Melinda yang kerasukan berjalan perlahan ke arah Lastri. Sementara Lstri sudah tak punya tempat untuk kabur, karena tubuhnya mentok di dinding.
Bu Dosen itu hanya bisa pasrah saat ini, dia tak mungkin menyerang anak gadisnya sendiri. Sampai...tangan kanan Melinda yang masih menghitam berbulu dan berkuku panjang itu, meraih leher ibunya.
Dengan kasar dan sekuat tenaga arwah ditubuh Melinda membuat tubuh Ibu Dosen itu melayang di udara. Posisi tercekik itu membuat Laras susah bernafas.
Bu Dosen itu hanya memandang ke manik merah itu, dia sangat berharap putrinya sadar sebelum membunuhnya.
Lstri ingin memanggil Melinda anaknya, tapi tengorokannya sudah menyempit karena terkaman tangan anaknya itu semakin kuat saja.
Tak ada tanda-tanda Melinda akan sadar, di situ Lastri panik. Jika Melinda membunuhnya, maka Melinda akan masuk penjara. Dan Lastri tak punya kesempatan untuk mengobati kelainan yang di idap oleh putrinya itu.
Akhirnya dengan tenaga terakhirnya, Lastri dapat meraih sebuah panci tebal di rak dapur atas kompornya.
Tanpa ragu, dan Lastri melupakan rasa sayangnya pada Melinda. Dia hantamkan panci presto itu ke kepala Melinda.
Seketika cekikan putrinya yang dirasuki arwah aneh itu, terlepas dari leher Lastri.
Wanita paruh baya itu terduduk di lantai dan batuk-batuk karena tengorokannya terasa terbelah. Dia mengatur nafasnya lagi dan mengisi cadangan oksigen di paru-parunya. Lastri meraup oksigen sebanyak yang ia bisa.
Tapi dia segera terdiam dan menangis saat melihat kondisi pitrinya.
Kepala putrinya berdarah karena pukulan panci presto darinya. Tubuh kurus yang munggil itu tergeletak tanpa kesadaran di lantai dapurnya.
"Melin maafin bunda yaaa, Nakkkk. Bunda nggak punya pilihan lain!" kata Lastri.
Bu Dosen itu hanya bisa mengatakan hal itu, serta memandangi wajah dan tubuh putrinya sudah kembali normal sekarang.
Suara bel pintu berbunyi, Lastri segera merangkak pelan ke arah pintu. Karena sangat terasa tubuhnya sudah tak punya tenaga lagi.
.
.
.
.
Sebuah alasan yang membuat Lastri yakin, yakin bahwa putrinya benar-benar terkena kutukan.
Alasan-alasan yang dulu pernah muncul, selalu dia tolak. Dia selalu yakin jika Melinda putrinya sakit kejiwaan. Lastri tak pernah membayangkan jika Melinda ternyata terkena kutukan.
Dan menurut penuturan dari mertuanya, hanya cara ini--lah yang bisa membuat Melinda terbebas dari kutukan mengerikan itu.
Meski tak ingin percaya, tapi begitu--lah kenyataanya.
.
.
.
.
Tanpa sepengetahun kedua orang dewasa itu, Melinda mendengar apa yang dikatakan oleh Omnya dan ibunya.
Melinda berusaha untuk tetap tenang, dia harus setenang mungkin. Meski dia akan dikurung di sebuah tempat yang tak jelas. Gadis itu harus tenang dan mencari cara untuk kabur.
Jadi dia berusaha membuat gesture yang sealami mungkin.
Melinda kembali ke arah kamar mandi dan dia membanting pelan dan mulai mengerutu.
"Bunda, kenapa tak ada air panas?!
"Apa aku harus mandi air es setiap hari?!" Melinda berusaha terlihat amat kesal.
Hari ini dia harus merajuk dan dia tak boleh sampai dibawa oleh siapa pun dari tempat ini.
Dan saat ibunya tertidur dia harus pergi dari Desa ini. Melinda harus berusaha untuk kabur dari tempat mengerikan ini.
Mana mungkin dia mau menjalani ritual aneh, dia berfikir ibunya sudah gila dan menuduhnya kerasukan.
Melinda yakin dia tak kerasukan, dia memang merasa sesuatu tumbuh di dalam dirinya. Tapi sesuatu itu tampaknya tak menyakiti orang lain. Melinda ingat benar, bagaimana kronologi sampai dia bisa menyelakai pembantu di apartemennya.
Pembantu itu ketahuan oleh Melinda, wanita setengah baya bernama Ningsih itu hendak mencuri perhiasan ibundanya.
Jadi Melinda dengan sekuat tenaga menghentikan wanita itu, tapi entah kenapa pembantu itu malah menuduh Melinda kerasukan dan menyerangnya.
Melinda ingat, dia di dorong, di tendang dan dipukul oleh ibu itu. Dia bahkan bisa merasakan tubuhnya hampir sekarat kala itu.
___________BERSAMBUNG_____________
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Deri Ap
Melinda Kah Monsternya🙄
2021-11-24
0